
Namun,
pada pentas ke tiga kami, dengan naskah Mlarat, ada hal yang lebih lagi tidak
pernah kami sangka dan duga sebelum-belumnya, bermimpipun tidak. Pukul, 19.14
hujan turun rintik, kami menanggapinya dengan kewajaran, meski pula sedikit
gugup. Gamelan-gamelan kami tutupi dengan alas sekenanya, agar tidak terkena
hujan, kami berteduh, para pemain sedang asyik dengan make-up nya. Beberapa
yang lain masih santai saja dengan menghisap rokok, penonton mulai berdatangan,
sedikit kagum, hujan turun tapi penonton tetap saja hadir. Kami semakin
terbakar.
“Jam 8
kita pentas” ada suara sedemikian, lantas kami siap-siap pada posisi
masing-masing, pada tanggungjawab masing-masing. Gamelan di pindah, ditempat
yang teduh, penonton bukannya makin surut, tapi makin banyak yang hadir. Hujan
turun, tapi api malah semakin menyala, bau menyan semakin menyengat, menteror
pemain, para awak pementasan pun juga penonton. Para pemain siap pada posisi
masing-masing, sudah macam perdandingan bola, hujan bukan menjadi suatu alasan
untuk gagal merumput pada malam itu.
Gamelan
dipukul, hujan bukan makin surut malah semakin deras, penonton tidak beranjak !
gila ! Pemain memantapkan diri, satu demi satu adegan terlewati, di bagian
tengah, hujan makin deras saja, penonton masih saja tetap tidak beranjak. Ada
yang membawa paying, menggunakan alas untuk duduk yang dijadikan tutup kepala
untuk beramai-ramai, ada pula yang rela ber-basah kuyup untuk mejadi saksi atas
peristiwa kecil kami.
Jangan
ditanya keadaan para pemain, mereka basah kuyup, ada satu yang menggigil akibat
dingin, tapi, penonton tetap diam, menyaksikan, mereka tertawa, saling lempar
omong, bebas. Malam itu sangat romantis khas bocah-bocah kampung, yang suka
merayakan hujan, dengan bermain bola, menari, berlari, berteriak. Dan itu kami
lakukan pada malam itu, bukan hanya kami pun juga penonton, kami semua seperti
kembali ke umur 8 tahun, bebas, tanpa apa saja yang menjadi beban pada pikiran
kami. Kami semua benar-benar seperti bocah, seperti kanak-kanak, yang dalam hal
ini kanak-kanak adalah tidak terlalu dipusingkan akan berbagai macam hal tetek
bengek urusan remeh temeh.

Benar !
kami, Teater Sandilara adalah sekumpulan bocah ingusan, kami adalah
kanak-kanak, setiap hari kami rasai adalah hari bermain, mencoba,mencoba,
berjuang, mencari, terus mencari, sampai kami lelah nanti, sampai tubuh tak
mampu lagi menopang jiwa kanak-kanak kami. Kami, Teter Sandilara menolak untuk
menjadi dewasa, menolak menjadi penakut, pendendam, mudah marah, terlalu banyak
berimbang.
Lihat
itu, lihat anak anak kecil desekitar kalian, mereka belajar naik sepeda, jatuh,
bahkan ada yang berdarah, menangis sebentar, lalu nekat mencoba naik sepeda
lagi, ah gila ! Itu, lihat bocah-bocah itu, mereka berlari berebut layangan,
sampai adu jotos di pematang, tapi besok berebut lagi dengan orang yang sama
lagi, tapi paginya mereka berboncengan naik sepeda lagi, bersama, ke sekolah.
Itu lihat bocah bocah itu, menyukai perempuan, tak dihiraukan, nekat cari perempuan
lain, gila !

Silahkan
saja tuduh kami adalah pelarian-pelarian! Memang, kami tengah lari dari sebuah
kepungan norma yang sakit, kami tengah lari dari zaman yang semakin tidak
beradab, kami tengah lari dari kejaran-kejaran kapitalisme, konsumerisme, adu
domba dalam skala besar, dari ketidaksadaran masal akan nilai leluhur. Kami
memang sedang lari hari ini, tapi kami lari untuk kembali, karena jalan yang
kami pilih adalah jalan yang melingkar, maka kami sedang berlari untuk kembali,
terus seperti itu, kami lari, dan kembali lagi pada masyarakat yang nyata, dan
bukan masyarakat “quickount” !
Dan tak
lupa, kami ucapkan, terimakasih sang pemimpin semesta alam, aku mencintaimu
atas yang mereka kataka petaka malam itu !
No comments:
Post a Comment