Hari
kemerdekaan Bangsa Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, yang di
proklamirkan oleh sang Dwi Tunggal, Sukarno dan, Hata. Yang hingga kini terus
dirayakan oleh para masyarakat Indonesia dalam tiap taunnya, dirayakan dengan
berbagai cara, mulai dari lomba, jalan santai, sepeda santai, dangdutan,
jogetan, mengecat marka jalan, mengecat pagar rumah, mengibarkan bendera di
halaman-halaman tiap rumah, upacara pengibaran bendera, dan Tirakatan.
Tirakatan
yang sebiasanya dilakukan pada malam tanggal 16 Agustus untuk memperingati dan
memaknai kembali arti kemerdekaan yang sudah dinikmati oleh bangsa Indonesia
yang pada tahun 2016 ini sudah menginjak angka 71 tahun. Biasanya para warga
masyrakat melek hingga hari berganti
pada tanggal 17 Agustus, mereka berkumpul disuatu tempat menyusun sebuah acara,
yang dimaksut untuk ikut merayakan kemerdekaan Indonesia. Dan Teater Sandilara
pun tidak ketinggalan dalam tirakat itu, dalam usaha itu, dalam upaya memaknai
kembali arti kata merdeka, mepertanyakan kembali apakah kita telah benar-benar
merdeka 100 prosen, kalau kata Tan Malaka.
15
Agustus, sebagian dari kami (Teater Sandilara) telah sampai di Desa Gedangan,
Salam, Karangpandan, untuk memenuhi sebuah tugas, yaitu berpentas mengisi acara
tirakatan yang diadakan oleh Desa Gedangan. Tidak seperti pentas Mlarat
sebelum-sebelumnya, sehari sebelum di mulainya pementasan kami telah mencoba
hadir di Desa Gedangan, karena memang kami harus menjalankan tugas lain, yaitu
mencoba berkolaborasi dengan anak-anak Desa Gedangan, latihan bersama, untuk
pementasan yang akan diadakan pada tanggal 16 Agustus di hari berikutnya. Kami
terkejut dengan antusiame dari warga Gedangan yang mau latihan Teater untuk
ikut dipentaskan di dalam acara tirakatan esok harinya. Latihan berjalan,
anak-anak senang, tertawa, serius dalam latihan, betapa antusiame tersebut
belum pernah kami dapatkan di Desa yang lain. Selesai latihan, kami leha-leha,
santai, menyruput kopi, merokok, terlibat obrolan dengan warga Desa Gedangan.
Sampai pada malam harinya, kami lebih lagi terkejut, sekelompok warga lain
hadir, di pimpin oleh Bapak RT, mereka ingin juga seperti anak-anak, latian
Teater, ingin juga berpentas, untuk tanggal 16 nya. Antusiasme yang belum biasa
kami dapatkan pada desa-desa sebelumnya. Meski malam telah larut, udara dingin,
dengan gontai kami menyanggupi latihan lagi. Kali ini beberapa dari kami juga
melibatkan diri di panggung, dua dari kami ikut pula berpentas, menyemarakan
pementasan, ikut dalam pementasan. Latihan berjalan, singkat, beberapa jam
saja, dengan cara penuangan dialog, para pemain hanya diberi batasan-batasan
dialog, dan arah dari pementasan, sebelihnya akan dibiarkan saja terjadi diatas
panggung, luwes, tidak di haruskan sama dengan latihan sebelumnya, tapi tetap
dalam batasan. Dan latihanpun usai pada dini hari.
Memang
kami cukup lelah dan kuwalahan menghadapi antusiasme warga Desa Gedangan,
namun, kami bahagia, kami mendapat kejutan yang tidak pernah kami bayangkan
sebelumnya, di tengah malam, para warga masih berniat untuk latihan Teater,
masih mengusakan untuk tidak tidur demi sebuah pertunjukan Teater, apalagi
Bapak RT yang jelas usianya sudah tidak muda lagi, namun masih memiliki
semangat juang yang tinggi, untuk bertahan, menahan kantuk demi sebuah latihan
Teater. Selalu ada saja kejutan yang
hadir yang diberikan Tuhan kepada kami, disetiap Desa yang berbeda, pula akan menghasilkan
peristiwa berbeda, selalu berubah, meski dengan naskah yang sama, tapi dengan
pristiwa yang berbeda.
Malam
hari nya, 16 Agustus. Warga mulai sayuk-sayuk berdatangan, acara di mulai, petama
dengan sambutan, shalawatan dari Ibu-Ibu, dan sampai pada dimulainya
pementasan, yang pertama kali adalah anak-anak Desa Gedangan, dengan satu kali
saja pertemuan latihan, mereka melakonkan pementasan dengan baik, semua
terhibur, anak-anak sendiri senang, mungkin pula orang tua dari anak-anak
mereka pun bangga dengan anak-anaknya yang berpentas. Dan anak-anak tersebut
semoga mulai terpercik, bertanya akan status kemerdekaan yang mereka banggakan,
mulai berfikir, apakah mereka telah benar-benar merdeka pada setiap harinya.
Dan
seterusnya adalah giliran kami mementaskan Mlarat. Pemain pertama muncul,
Marni, yang disambut dengan riuh penonton, belum pula dialog dimulai, warga
sudah riuh dengan kemunculan Marni, tidak seriuh biasanya, kemunculan seorang
pemain perempuan di adengan pertama seperti guyuran air di tengah padang pasir.
“Mlarrrrraaaaaaaaaaaaaaaaaat” Marni mulai dengan dialog pertama, Bagong masuk
ke dalam panggung, adengan berjalan, ada energi yang lain lagi, yang membuat
seluruh tim pementasan merasa disutik oleh kekuatan dari para penonton, para
pemainpun bermain seperti kesurupan, lepas, kedekatan dengan penontonpun semakin
terlihat, improvisasipun terlihat begitu taktis dan mesra, tidak lagi canggung
seperti pementasan sebelumnya. “Pabrik kui asu” , dialog Bagong dilontarkan,
dan para penonton mengiyakan dialog tersebut, mungkin karena mereka pernah
terlibat dalam suasana Pabrik, menjadi pekerja pabrik, kena PHK, pencopotan
buruh-buruh. Dialog tersebut begitu menyatu dengan warga Gedangan, dialog itu begitu
meriah saat di ucap di Gedangan, yang mungkina adalah warga Gedangan akrab dan
terkena imbas negatif atas kegiatan Pabrik-Pabrik ber-idiom kapitalisme. Dan malam itu Mlarat
benar-benar akrab dengan penonton, mlarat merasa nyawiji , jadi satu kesatuan, hadir, menjadi peristiwa, seperti
sebuah proyeksi atas keseharian warga Gedangan. Betapa lebih lagi kami bahagia,
ada beberapa warga yang mondar-mandir kamar mandi, kebelet pipis karena tidak
habis habisnya tertawa, bahagia, katarsis dalam pementasan Mlarat. Pementasan
Mlarat usai, Marni menjadi primadona hari itu, warga jatuh cinta dengan Marni.
Yang
ketiga, dan terakhir adalah pementasan oleh Pak RT dan anak buahnya, Pak RT
yang berperan sebagai Jokiwiw, memakai jas merah, peci hitam, duduk diatas
kursi empuk, dan anak buahnya duduk dibawahnya. Mempertanyakan kemerdekaan,
menayakan siapa diri mereka, siapa sejatinya mereka, apakah benar mereka telah
menjadi bangsa Indonesia seutuhnya, yang merdeka seratus persen. Dan Pak RT
yang menjadi tokoh utamapun, dengan satu kali latihan, sama sekali tidak canggung
dengan panggun, tidak mau kalah pula melakukan improvisasi-improviasi,
pengembangan-pengembangan dialog yang sebelumnya diberikan, meski hampir-hampir
banyak mengulur waktu dan hampir keluar dari koridor yang sebelumnya diberikan,
tetapi dapat dikuasai dan selesai dengan apik, warga senang 3 kali, kami lebih
lagi, berkali-kali.
Tirakat
sendiri dapat dimaknai juga sebuah usaha, sebuah laku , untuk mencapai sebuah tujuan, untuk menuju pada. Dan malam
itu, adalah usaha warga Desa Gedangan untuk memaknai kembali arti kemerdekaan,
kembali lagi mengingatkan bahwa hari itu, bangsa Indonesia telah merdeka selama
71 tahun. Memang, kalau di logika, sama sekali tidak wajar, memperingati dan
memaknai kemerdekaan kok dengan panggung pertunjukan, dengan pementasan-pementasan,
dengan shalawatan, nyanyi-nyanyi, tapi, itulah cara warga Desa Gedangan, dan
ribuan Desa lain dalam merayakan sebuah hari jadi kemerdekaan bangsa mereka,
meski harus lagi dipertanyakan, sudah merdekakah bangsa kita hari ini.
Cara-cara itu adalah untuk tetap menjaga silaturahmi, kerukunan antar manusia
di dalam Desa tersebut, berkumpul, melakukan sebuah kegiatan demi kemaslahatan
bersama, adalah suatu upaya, tirakat untuk mencoba terus merdeka. Dan memang,
itulah cara warga masyrakat kampung untuk nyengkuyung
anak kecil bernama Indonesia. Indonesia terbilang anak kecil kalau di
bandingkan dengan kampung-kampung lebih dahulu lahir daripada Indonesia. Dan
semoga Indonesia sebagai Negara paham akan hal itu, bahwa Negara Indonesia
selayaknya tidak menginjak-injak terhadap kepada yang lebih tua, kepada
desa-desa di Indonesia, yang nantinya bisa kuwalat!
Pula
kami, melakukan sebuah tirakat, sekelompok muda-mudi yang berusaha untuk
membenahi diri, dengan cara yang kami yakini dan senangi, dengan apa saja, yang
mungkin dianggap tidak logis dan wajar. Memperbaiki diri kok dengan berpentas,
berteater, berkelompok yang sama sekali tidak ada keuntungan dari segi uang.
Tapi inilah usaha kami, tirakat kami, menuju pada yang sejati, yang tidak
palsu, yang tidak pernah ingkar janji, yang memberi kami daya setiap hari,
gairah yang tak henti-henti, yang memberi bukti bahwa ada energi yang tidak
akan mampu kami petakan, yang selalu luput dari jangkauan imaji kami. Dan kami
mencoba selalu percaya terhadap apa yang kami kerjakan hari ini, kemarin, esok
dan semoga seterusnya. Bahwa kami yakin, apa yang kami lakukan akan mempunyai
pengaruh terhadap masa yang akan datang, meski tidak logis tidak wajar. Tapi
inilah kami hari ini, kami yang selalu mempunyai pengharapan bahwa kehidupan
akan lebih baik.
Bagoes
12 oktober 2016.