Kusamnya
nasib anak manusia memang selalu menarik untuk ditulis dan/atau diangkat ke
panggung pertunjukan. Bukan perkara penderitaan manusia adalah komoditas dagang
paling laris di negeri ini untuk dikemas dan dipasarkan, relatif berhasil
membuat terharu dan memeras rasa iba para pemirsa, sebagaimana yang sering kita
temui pada tayangan di layar kaca. Lebih dari itu, sebuah pementasan dari
kelompok teater tentunya memiliki maksud dan tujuan khusus, bukan semata
menjadikan kemiskinan serta penderitaan manusia sebagai bahan garapan. Jika
kita menilik dan menyelami lebih dalam wacana yang terkandang dalam suatu
naskah, terlalu remeh kalau hanya memandang kulit luar, seperti bagaimana si
miskin nan tertindas sistem harus mempertahankan hidupnya, lontaran-lontaran
dialog masing-masing tokoh yang memiliki muatan kritik terhadap jalannya roda
kebijakan penguasa, jeritan batin kaum buangan yang dipanggungkan. Semua
terlalu umum sekalipun memiliki kesan heroik untuk ditampilkan diatas panggung
pertunjukan, soal orang kalah tapi tetap berjuang menghadapi keterbatasan, si
miskin yang terseok-seok berjuang meraih nasib baik, wacana kaum visioner
terlindas kepentingan penguasa dan pengusaha, golongan pergerakan tersingkir
sebab minim dukungan massa. Tidak sesederhana itu fenomena kepahitan hidup,
gambaran-gambaran klise tersebut hanyalah beberapa dampak, hal-hal yang
menyangkut akar permasalahan atas apa yang menimpa tidak kalah menarik untuk
disimak, meski sering luput dari pengamatan, sehingga kebanyakan dari kita
membicarakan sebuah pementasan berdasarkan tema semata. Suara protes golongan
kalah. Titik. Kalau bukannya ribut rasan-rasan usai pementasan soal
estetika dan teknis pemanggungan yang sifatnya relatif, menurut saya.
Dom.
Naskah karya Bambang Widoyo SP (Teater Gapit) menyorot persoalan kaum
pinggiran. Berlatar tempat di kampung Kandangan, bekas lahan yang sebelumnya
pernah digunakan untuk pusat peternakan babi. Di kampung ini tinggal dan
berkumpul “orang-orang buangan”. Mereka berasal dari latar belakang yang beragam,
antara lain : mantan juragan, seniman, preman, dan masih banyak lagi. Persoalan
penyebab mereka sampai tersingkir dan bermukim di kampung ini juga beraneka
ragam. Para korban keadaan tersebut satu sama lain akhirnya mulai menyadari
posisi mereka, perlahan mencoba menerima nasib sebagai orang yang berada pada
lapisan sosial paling rendah. Bagaimana tidak, orang-orang buangan yang
terdesak oleh kenyataan hidup, di mana mereka tidak lagi memiliki kesempatan
untuk berusaha memperbaiki hidup, kembali pada posisi semula, dan memperoleh
sedikit saja jalan bagi tercapainya asa yang masih tersisa.
Sepahit apapun nasib hari ini, hidup
akan terus berjalan dan mau tak mau harus tetap dijalani. Setiap kepala yang
lahir sebagai anak manusia akan menempuh takdirnya. Teka-teki kejadian di masa
depan, menjadi percikan api pembakar semangat mengarungi hidup, sekaligus hantu
yang mencekam langkah dan mematikan
niatan untuk tetap berjalan di jalur yang sudah dirancang. Demikian pula
peristiwa di masa lalu, trauma konflik, penjegalan, pengkhianatan, pencekalan,
dan hal-hal lain yang pernah membuat seseorang mengalami kejatuhan, baik
kejadian yang menimpa orang lain, ataupun yang ia alami sendiri, keduanya memberi
sumbangan pada cara pandang di hari ini, ketika harus menghadapi persoalan
serupa.
Mengalami nasib sebagai kaum yang
tersisih, terbuang dan tertindas oleh keadaan, akhirnya membuat seseorang terpaksa beradaptasi dengan
kehidupan baru, bersama orang-orang baru, dilingkungan baru, dan tentunya
mencoba membangun harapan baru. Tidak hanya itu, pertanyaan baru juga akan
muncul dalam benak para korban keadaan tersebut. Bagaimana bisa mereka sampai
pada titik di mana harapan-harapan baik yang sudah ditata, bisa lenyap begitu
saja seiring perubahan arus politik negara, kebijakan baru para pemegang kuasa,
dan program-program para pengusaha. Mengapa pula mereka pada akhirnya
terperangkap permasalahan yang menurut mereka, bukan disebabkan oleh mereka,
bukan atas kehendak dan tanpa persetujuan dari mereka, tetapi mengapa mereka
harus ikut menanggung rentetan permasalahan tersebut.
DOM adalah gambaran tentang kumuhnya
kenyataan hidup para penduduk kampung Kandangan. Potret kusam kaum buangan yang
tersingkir dari persaingan hidup sehari-hari. Guratan takdir hidup para korban kebijakan
penguasa dan pengusaha yang tertuang dalam naskah sandiwara berbahasa Jawa. Dongeng
masa lalu tentang sebuah bangsa dari kaca mata masyarakat kelas buangan,
bagaimana tindakan represif aparatur negara yang mengatasnamakan pembangunan
dan stabilitas keamanan mewarnai hari-hari mereka. Dom merupakan gambaran
tentang pandangan orang-orang yang tergusur terhadap laju jaman dan suhu
politik yang tidak berpihak pada mereka. Bagaimana tiap-tiap tokoh memiliki
cara dan pandangan masing-masing dalam menyikapi kenyataan atas jalan hidup
yang sudah dipilih.
*Ditulis dalam rangka
pementasan Teater Sandilara yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni
2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, 7 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri
Carik Di Teater Sandilara
The 12 BEST Casinos in the USA 2021 - Mapyro
ReplyDeleteMapyro is the best place 성남 출장안마 to get directions, reviews and information for The 12 BEST 광주 출장안마 Casinos 양주 출장샵 in 광주광역 출장안마 the USA. See photos, videos and read real customer reviews. 경주 출장샵