Friday, 7 June 2019

POTRET KUSAM KAUM BUANGAN DI KAMPUNG KANDANGAN

            Kusamnya nasib anak manusia memang selalu menarik untuk ditulis dan/atau diangkat ke panggung pertunjukan. Bukan perkara penderitaan manusia adalah komoditas dagang paling laris di negeri ini untuk dikemas dan dipasarkan, relatif berhasil membuat terharu dan memeras rasa iba para pemirsa, sebagaimana yang sering kita temui pada tayangan di layar kaca. Lebih dari itu, sebuah pementasan dari kelompok teater tentunya memiliki maksud dan tujuan khusus, bukan semata menjadikan kemiskinan serta penderitaan manusia sebagai bahan garapan. Jika kita menilik dan menyelami lebih dalam wacana yang terkandang dalam suatu naskah, terlalu remeh kalau hanya memandang kulit luar, seperti bagaimana si miskin nan tertindas sistem harus mempertahankan hidupnya, lontaran-lontaran dialog masing-masing tokoh yang memiliki muatan kritik terhadap jalannya roda kebijakan penguasa, jeritan batin kaum buangan yang dipanggungkan. Semua terlalu umum sekalipun memiliki kesan heroik untuk ditampilkan diatas panggung pertunjukan, soal orang kalah tapi tetap berjuang menghadapi keterbatasan, si miskin yang terseok-seok berjuang meraih nasib baik, wacana kaum visioner terlindas kepentingan penguasa dan pengusaha, golongan pergerakan tersingkir sebab minim dukungan massa. Tidak sesederhana itu fenomena kepahitan hidup, gambaran-gambaran klise tersebut hanyalah beberapa dampak, hal-hal yang menyangkut akar permasalahan atas apa yang menimpa tidak kalah menarik untuk disimak, meski sering luput dari pengamatan, sehingga kebanyakan dari kita membicarakan sebuah pementasan berdasarkan tema semata. Suara protes golongan kalah. Titik. Kalau bukannya  ribut rasan-rasan usai pementasan soal estetika dan teknis pemanggungan yang sifatnya relatif, menurut saya.

            Dom. Naskah karya Bambang Widoyo SP (Teater Gapit) menyorot persoalan kaum pinggiran. Berlatar tempat di kampung Kandangan, bekas lahan yang sebelumnya pernah digunakan untuk pusat peternakan babi. Di kampung ini tinggal dan berkumpul “orang-orang buangan”. Mereka berasal dari latar belakang yang beragam, antara lain : mantan juragan, seniman, preman, dan masih banyak lagi. Persoalan penyebab mereka sampai tersingkir dan bermukim di kampung ini juga beraneka ragam. Para korban keadaan tersebut satu sama lain akhirnya mulai menyadari posisi mereka, perlahan mencoba menerima nasib sebagai orang yang berada pada lapisan sosial paling rendah. Bagaimana tidak, orang-orang buangan yang terdesak oleh kenyataan hidup, di mana mereka tidak lagi memiliki kesempatan untuk berusaha memperbaiki hidup, kembali pada posisi semula, dan memperoleh sedikit saja jalan bagi tercapainya asa yang masih tersisa.




            Sepahit apapun nasib hari ini, hidup akan terus berjalan dan mau tak mau harus tetap dijalani. Setiap kepala yang lahir sebagai anak manusia akan menempuh takdirnya. Teka-teki kejadian di masa depan, menjadi percikan api pembakar semangat mengarungi hidup, sekaligus hantu yang mencekam langkah  dan mematikan niatan untuk tetap berjalan di jalur yang sudah dirancang. Demikian pula peristiwa di masa lalu, trauma konflik, penjegalan, pengkhianatan, pencekalan, dan hal-hal lain yang pernah membuat seseorang mengalami kejatuhan, baik kejadian yang menimpa orang lain, ataupun yang ia alami sendiri, keduanya memberi sumbangan pada cara pandang di hari ini, ketika harus menghadapi persoalan serupa.

            Mengalami nasib sebagai kaum yang tersisih, terbuang dan tertindas oleh keadaan, akhirnya membuat seseorang terpaksa beradaptasi dengan kehidupan baru, bersama orang-orang baru, dilingkungan baru, dan tentunya mencoba membangun harapan baru. Tidak hanya itu, pertanyaan baru juga akan muncul dalam benak para korban keadaan tersebut. Bagaimana bisa mereka sampai pada titik di mana harapan-harapan baik yang sudah ditata, bisa lenyap begitu saja seiring perubahan arus politik negara, kebijakan baru para pemegang kuasa, dan program-program para pengusaha. Mengapa pula mereka pada akhirnya terperangkap permasalahan yang menurut mereka, bukan disebabkan oleh mereka, bukan atas kehendak dan tanpa persetujuan dari mereka, tetapi mengapa mereka harus ikut menanggung rentetan permasalahan tersebut.

            DOM adalah gambaran tentang kumuhnya kenyataan hidup para penduduk kampung Kandangan. Potret kusam kaum buangan yang tersingkir dari persaingan hidup sehari-hari. Guratan takdir hidup para korban kebijakan penguasa dan pengusaha yang tertuang dalam naskah sandiwara berbahasa Jawa. Dongeng masa lalu tentang sebuah bangsa dari kaca mata masyarakat kelas buangan, bagaimana tindakan represif aparatur negara yang mengatasnamakan pembangunan dan stabilitas keamanan mewarnai hari-hari mereka. Dom merupakan gambaran tentang pandangan orang-orang yang tergusur terhadap laju jaman dan suhu politik yang tidak berpihak pada mereka. Bagaimana tiap-tiap tokoh memiliki cara dan pandangan masing-masing dalam menyikapi kenyataan atas jalan hidup yang sudah dipilih.



            *Ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             

           
Surakarta, 7 Juni 2019




Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara




1 comment:

  1. The 12 BEST Casinos in the USA 2021 - Mapyro
    Mapyro is the best place 성남 출장안마 to get directions, reviews and information for The 12 BEST 광주 출장안마 Casinos 양주 출장샵 in 광주광역 출장안마 the USA. See photos, videos and read real customer reviews. 경주 출장샵

    ReplyDelete