Tuesday, 25 June 2019

PAK LAKON : BENTURAN BATIN AKIBAT PRINSIP DAGANG JAMAN BARU


                 Sebelum menghuni Kampung Kandangan, Pak Lakon adalah juragan daging sapi dan juga seorang jagal yang cukup terkenal. Sedari muda ia menekuni jalan hidup yang dipilihnya. Merintis karir dari titik paling bawah di dunia penjagalan, mulai dari tukang merawat dan mencari pakan sapi, lalu mengalami peningkatan menjadi asisten tukang jagal, hingga akhirnya ia berhasil mencapai puncak kesuksesan, memiliki nama besar sebagai juragan daging sapi. Ia paham betul strategi persaingan dagang, tak-tik bisnis, dan cara mengikat konsumen. Pak Lakon menjunjung tinggi kejujuran dan pentingnya bersikap dermawan. Sebagaimana falsafah dagang orang Jawa, tuna sathak bathi sanak, yang kurang lebih pengertiannya adalah tidak apa-apa sedikit mengalami kerugian laba tetapi memperoleh keuntungan persaudaraan. Pak Lakon memiliki sebilah pisau potong yang bernama Kyai Bencok. Benda ini ia yakini memiliki kekuatan magis, barang keramat yang membantu Pak Lakon menaiki tangga kesuksesan sebagai seorang jagal. Sampai ia pindah ke kampung Kandangan, pisau ini masih ia bawa, sebagai benda kesayangan sekaligus kebanggaan, bukti kejayaan di masa lalu, bagaimana ia pernah mengalami kesuksesan yang sekarang hanya tinggal kenangan.

                Bagi Pak Lakon, hidup tidak sekadar untuk menumpuk keuntungan besar dari usaha dagang. Perputaran uang dan lancarnya kegiatan jual-beli tergantung pada kepercayaan pelanggan, hubungan baik dengan relasi bisnis dan juga tetangga sekitar harus senantiasa dijaga. Menjadi seorang juragan merupakan sebuah berkah yang patut disyukuri dengan segenap kesadaran, bahwa kelebihan rejeki harus diimbangi dengan berbagi kepada sesama. Sebagian hasil jualan daging sapi ia gunakan untuk mengadakan pesta, sebulan sekali atau setiap selapan dina dalam konsep hitungan kalender Jawa, pada hari kelahiran Pak Lakon. Ia percaya tentang kekuatan lain yang turut serta ambil bagian dalam hidupnya, memiliki peran yang tidak kalah penting sebagaimana hal-hal lain yang kasat mata.

                Menggelar pementasan wayang kulit, kadang karawitan atau klenengan, untuk dinikmati bersama rekan-rekan bisnis dan juga tetangga sekitar rumahnya, merupakan salah satu cara Pak Lakon berbagi. Sebuah pertunjukan seperti wayang kulit merupakan pementasan mahal, tidak semua orang mampu membayar untuk menghadirkan rombongan kesenian ini. Pak Lakon sebagai orang yang memiliki harta lebih, ia memiliki kemampuan untuk menanggap wayang kulit yang dapat disaksikan dan dinikmati orang-orang disekitarnya. Pada masa-masa itu, jamak terjadi, seorang saudagar mengadakan acara wetonan, sebulan sekali di hari kelahirannya. Secara fungsi praktis, acara semacam ini merupakan bentuk pencitraan diri sebagai orang sukses, bukti keberhasilan hidup dari sisi finansial yang perlu ditunjukkan kepada orang lain.

                Tetapi di luar fungsi praktis tersebut, acara semacam ini adalah bagian dari kepercayaan orang Jawa untuk menghaturkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Melalui acara ini pula, Pak Lakon mengadakan syukuran sekaligus sebagai wujud sedekah kepada orang lain,  ia juga membagikan makanan dan pakaian kepada orang-orang yang ia rasa membutuhkan, sembari menyuguhkan pementasan wayang kulit dengan menghadirkan dalang-dalang pilihan. Tradisi yang senantiasa dijaga oleh Pak Lakon, akhirnya menjadikan namanya terkenal, baik di lingkungan bisnis daging sapi maupun di mata rakyat jelata yang kebagian sedekah dan mereka yang sering datang jika ia menggelar acara.


Teater Sandilara. Pak Lakon sedang menceritakan masa lalunya,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP


               

Predikat Juragan Terpandang Dan Jagal Kondang Kini Tinggal Kenangan

                Jaman berganti tata nilai sosial, cara pandang, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat mengalami perubahan. Segala aspek mengalami goncangan, dari strata sosial paling atas hingga lapis bawah, lambat laun mulai mengalami dampak dari perubahan tersebut. Ada yang berusaha mempertahankan keyakinan lama, ada yang mencoba beradaptasi dengan keadaan baru, dan ada pula yang segera putar haluan, mengikuti arah angin yang dirasa lebih menguntungkan.  Tidak terkecuali di dunia dagang, ketika “kebebasan” diagungkan demi semakin lancar dan luasnya jangkauan aktifitas jual-beli. Prinsip ekonomi juga mengajarkan, “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”, bahkan pelajaran ini telah ditanamkan sejak sekolah menengah pertama. Hal ini disadari atau tidak, akhirnya membuat sebagian besar pengusaha melakukan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pandangan baru ini juga membuat masing-masing pedagang daging sapi menghalalkan segala cara demi mendapatkan laba besar dengan modal kecil. Banyak pedagang melakukan kecurangan. Sapi betina, sapi sakit, sapi mati, dagingnya dijual bebas di pasar, terkadang ada juga yang mencampur dengan daging babi, yang secara sekilas tidak dapat dibedakan, apalagi bagi mereka yang tidak mengerti detail perbedaan keduanya. Ada juga yang menyuap dinas kesehatan agar tidak perlu memeriksa kelayakan daging yang akan dijualnya.

                Pak Lakon yang tetap bertahan dengan caranya, ternyata tidak mampu melawan arus besar yang sedang mengalir. Konflik internal di dalam keluarga terjadi. Anak-anak Pak Lakon memiliki pandangan lain soal tata cara bisnis. Perbedaan inilah yang akhirnya memicu perselisihan antara Pak Lakon dan anak-anaknya. Mereka menuduh bahwa kemunduran usaha daging sapi  disebabkan oleh sikap Pak Lakon yang masih mempertahankan cara lama dalam berdagang. Mereka juga tidak setuju dengan kebiasaan Pak Lakon mengadakan pesta dan berbagi kepada para tetangga yang membutuhkan, hal itu dianggap sebagai pemborosan.  Benturan pandangan inilah yang membuat Pak Lakon memilih untuk mundur dari dunia yang sudah bertahun-tahun dirintis, ia tidak kuasa menyaksikan segala bentuk kecurangan, ia merelakan usaha dagang daging sapi dikelola oleh anak-anaknya yang lebih meyakini cara baru dalam berbisnis,  hingga akhirnya, Pak Lakon menghuni kampung Kandangan, entah menyingkir karena terpaksa dan tidak ingin menyaksikan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, atau sebenarnya disingkirkan oleh anak-anaknya yang ingin menjalankan usaha dagang dengan cara mereka. Masa kejayaan Pak Lakon sudah berakhir, nama besar sebagai juragan terpandang dan jagal kondang sekarang hanya tinggal kenangan. Mau tidak mau harus ia hadapi kenyataan, menjadi salah seorang kaum terbuang yang menghuni kampung Kandangan. Perlahan ia mulai menyadari keadaan baru yang harus diterima dengan lapang dada, baginya lebih baik tersingkir bila memang sistem dagang yang ditawarkan oleh pemikiran moderen ternyata bertentangan dengan keyakinan dirinya.


Sadarkah Kita Kemana Muaranya?

                Pak Lakon merupakan salah satu contoh dari sekian banyak orang yang menjadi korban perubahan. Ya, korban, sebab kebanyakan dari masyarakat kita lebih meyakini tata nilai dan pandangan dari luar, sesuatu yang asing kita beri tempat dengan dalih modernisasi, tidak peduli bagaimana dampak yang akan terjadi, sehingga orang-orang seperti Pak Lakon yang masih memegang prinsip-prinsip kearifan lokal, baik lahir maupun batin, dengan sadar untuk apa itu perlu dijaga dan dijalankan, sering kali akan kita anggap kuno dan tidak mau mengikuti jaman. kita juga tidak peduli pada sebab akibat, mengapa sampai ada masyarakat yang tidak mendapat tempat, tersingkir, bahkan terasing dari mimpinya sendiri.

                Terkadang tanpa sadar kita hanya akan menganggap peristiwa semacam itu adalah seleksi alam, biarlah jadi korban, mereka yang tidak mau tunduk pada perubahan. Kita menyalahkan orang-orang yang masih meyakini pilihan hidupnya dengan memegang teguh ajaran leluhur, terjepit keadaan karena tidak mau mengubah pola pikir mengikuti apa yang jaman baru inginkan. Kita menyangka produk-produk asing, baik itu barang maupun buah pikir sebagai bentuk pembaruan yang harus diikuti, tetapi kita lupa dan tidak sadar, terlebih lagi mencoba berpikir, kemana muara aliran arus besar yang kita kira dan yakini sebagai sebuah pembaruan, yang sudah menelan banyak korban, golongan kecil masyarakat, saudara sebangsa kita sendiri.

                Barangkali negara memang tidak akan pernah melindungi masyarakatnya sendiri, menyerahkan aset serta masyarakatnya untuk dikuasai bangsa asing, atas nama pergaulan antar bangsa, pasar bebas, dan masuknya investor asing yang semakin gencar menanamkan modal, didukung pula dengan pendidik yang mengajarkan rumus-rumus asing soal kehidupan yang belum teruji, apakah pas dengan masyarakat kita, tapi tidak memberikan pendidikan untuk mencintai dan menggali budaya sendiri, sebagai penguat karakter identitas bangsa di setiap etnis yang ada di negara ini, sehingga setiap tahun akan lahir sarjana-sarjana dan murid-murid baru  yang memandang rendah budayanya sendiri, menganggap yang dari luar adalah yang terbaik bagi hari depan, berlari meniru segala sesuatu yang disangka lebih baik dan perlu segera diikuti, tidak peduli jika label mereka nantinya hanyalah budak, jongos penggerak kepentingan dagang pihak asing. Akhirnya, di masa yang akan datang, bisa jadi akan kita saksikan, tidak ada lagi tempat tersisa untuk kita berdiri dan berlindung yang lebih aman dari kampung kandangan.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, RabuPahing 26 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment