Thursday 21 May 2020

BANGSA TERIMAKASIH


Seperti yang sedikit dibicarakan orang, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang semula berdikari, mandiri, tanggap, alias tidak ada ulur tangan dari (yang ngakunya) pemerintah, tidak ada masalah, tidak ada apa-apa alias biasa saja. Saya katakan semula, karena melihat kondisi sekarang yang berbeda, malah kesannya didominasi kaum-kaum peminta. Sedikit-sedikit mengandalkan bantuanlah, inilah, itulah, sampai sulit membedakan antara yang mana pengemis, yang mana peminta, yang mana pengaju proposal atau dana. Toh semua sama saja, sama-sama tidak lagi mampu berdiri di atas kaki, tangan, dan tubunya sendiri. Barangkali orang-orang yang seperti itu perlu ditanyakan mengenai kesehatan raga dan jiwanya. Ya, raga, barangkali dibagian lehernya kaku karena tidak mau melihat sekitar, apalagi ke belakang. Ya, jiwanya, barangkali juga mereka itu memang sedang menderita sakit mental, tapi tidak sadar, tepatnya enggan atau tidak mau.
Bukankah mbah-mbah, pendahulu kita, sudah mengajarkan bagaimana untuk hidup dan berkehidupan. Tidak ada nasi ya makan jagung, ya tela, ya tidak makan, alias puasa, prihatin. Tidak ada daging, ya makan tempe, tahu, masih tidak ada, ya makan daun, masih tidak ada lagi ya puasa, prihatin. Tapi sekarang jaman memang telah berubah. Berubah tidak seperti dulu lagi. Tidak juga berkaca kepada sejarah yang sudah-sudah, dan memilih untuk menjadi manusia baru yang tanpa sebab, tanpa sejarah. Malahan kebanyakan mengatakan, apabila masih saja menengok sejarah, tradisi, dianggap kampungan dan ketinggalan jaman. Toh ya sebenarnya tidak apa-apa dikatakan kampungan, toh di kampung, malahan, kemanusiaan yang sebenar-benarnya kemanusiaan, ada, sekaligus nyata. Tapi itu dulu. Sebelum kampung diinginkan untuk menjadi kota. Kota, yang sulit menemukan manusia, apalagi kemanusiaan.
Kita bukan krisis pangan, kita krisis mental pangan. Kita cenderung berpikir kaku dan stagnan alias bahasa anak mudanya mainstream. Hal itu membuat ranah kekreatifan semakin tertinggalkan dengan buru-buru untuk maju ke depan menjadi terdepan. Ya, kita terlalu bercita-cita untuk maju tanpa sedikitpun meluangkan waktu untuk menengok ke belakang, menengok sejarah. Ya, menengok saja tidak, apalagi menyapa. Menyapa saja tidak, apalagi berjumpa. Berjumpa saja tidak, kok berani-beraninya mengatakan pembaruan, modernitas, kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran. Jadinya ya sistem perngawuran. Bilangnya surealis, tapi ngawur. Bilangnya abstrak, tapi ngawur. Bilangnya model terbaru, nyatanya tak memiliki makna.
Barangkali krisis mental memang sengaja diciptakan. Buktinya apa, setiap ada calon yang jadi, mereka dalam pidatonya selalu berkata perihal kebaruan kinerja. Baru, baru, dan baru sampai mulutnya berbusa dan membiru, legam. Mereka berkata perihal kebaruan tanpa menengok sejarah. Katanya, yang dulu itu sudah ketinggalan jaman. Sudah tidak pas untuk diterapkan di masa yang sekarang, kita harus maju ke depan. Ya, mereka ternyata lupa. Sebenarnya jaman tidak pernah meninggalkan. Malahan yang meninggalkan itu mereka. Mereka berlomba-lomba membuat dan menggiring opini, wacana, dan semacamnya, dengan menyertakan kalimat “demi kemaslahatan bersama”. Ya, bersama siapa dulu, kemaslahatannya siapa dulu. Hal itu perlu untuk kita renungkan, kita rasai, bukan serta merta menerima dan memakannya mentah-mentah dan tergesa-gesa, takut ada yang meminta. Ya, takut ada yang meminta. Di sisi lain ia sendiri adalah peminta-minta. Bagaimana tidak lucu, peminta-minta kok takut diminta.
Ya, krisis itu bentukan. Bentukan dari sebuah kekuasaan yang hidup dalam sebuah wilayah yang orang banyak menyebutnya sebagai Negara. Negara menciptakan krisis agar rakyatnya tunduk dan menjadi peminta pada penguasa. Untuk apa, untuk penguasa melebarkan namanya, agar dalam kaca mata dunia, memandangnya sebagai Negara dengan penguasa yang merakyat, memiliki kemanusiaan, besar rasa toleransi, peduli, dan segala macam sebutan lainnya. Padahal itu kan sudah tugasnya penguasa untuk menjadi pengayom bagi rakyatnya. Tapi sekali lagi, sedikit orang telah mengatakan, meski sampai pada titik penguasa yang tidak peduli kepada rakyatnya, itu tidak apa-apa. Nyatanya masih ada rakyat yang menanam untuk mereka makan. Masih ada sandal-sandal dari ban bekas. Masih ada sate gembus. Masih ada sayur tulang alias tengkleng. Masih ada sega brabok. Masih ada sega tiwul. Masih ada sate kiong. Ya, masih banyak cara menuju kewarasan. Masih banyak jalan menuju hidup yang benar-benar hidup. Soal pemerintah yang tidak peduli pada rakyatnya, itu ya soalnya pemerintah sendiri yang harus ia kerjakan di tempat, bukan malah dijadikan PRD (pekerjaan rumah dinas), apalagi ada yang sampai membayar calo untuk mengerjakannya, memalukan. Pemerintah macam apa itu, meski pada dasarnya pemerintah itu juga tidak memiliki macam atau jenis. Mereka sebenarnya sama. Sama-sama berpekerjaan memerintah tapi kalau dikritik, marah-marah. Sampai saking kelewat batas, ada juga yang tidak hanya marah-marah, seperti memenjarakan, membunuh dengan lain tangan, menghilangkan, dan sederet cara yang lain.
Sekilas cerita, di desa saya memiliki kepala desa atau petinggi yang dendam kepada sebagaian masyarakatnya. Semua jalan di desa diaspal, rapi, bagus, namun tak tahan lama. Terdapat satu daerah yang boleh dikata merupakan daerah yang dicap merah (bukan merah yang itu), oleh kepala desa. Jalannya dibiarkan rusak tanpa penanganan. Jembatannya yang hampir rubuh dibiarkan. Lalu apa respon dari masyarakat cap merah tersebut? Mereka mempergunakan dana kas iuran warga untuk membeli urug (batu halus) dan ditaruhnya di sepanjang jalan genangan itu. Kemudian untuk jembatan, mereka juga bekerja bakti menambalnya dengan kayu-kayu sisa yang dikumpulkan dari masing-masing yang mereka punya. Kepala desa kemana? Entah, mungkin sedang tidur siang atau rekreasi bersama keluarga.
Cerita tersebut bukan fiktif belaka, dan memang terjadi di desa saya—tepatnya desa mbah saya. Masyarakat cap merah menyadari akan hal itu. Mereka menyadari akan ketidakpedulian kepala desa kepada mereka. Tapi toh mereka tidak apa-apa, kadang sedikit misuh, lumrah kan?
Kembali pada persoalan krisis mental yang mewujud kemlaratan mentalitas. Kalau kita mau dan yakin, tidak akan ada yang tidak. Sayangnya kita tidak mau, apalagi untuk yakin. Kita keburu menghamba dan melacurkan diri sebagai sosok yang rasanya paling butuh bantuan dan meyodorkan sejumlah syarat demi pencairan dana bantuan. Masyarakat seperti ini itu lucu. Mereka berlomba menjadi yang terdepan dalam antrean hanya untuk melacurkan dirinya. Mereka bilang itu hak mereka sebagai rakyat. Bukannya hak, itu adalah hak, yang tidak harus diminta-minta nanti juga bakal didapat. Hla wong namana juga hak. Yang lebih lucu lagi itu pemerintah. Mereka dengan bangga menyiapkan dana untuk berbagai penanggulanan bencana dan menyatakan perbuatannya dan perbuatan segenap jajarannya sebagai wujud aksi sosial dan kemanusiaan. Sebetulnya yang dibanggakan mereka itu apa, hla wong memang itu sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka, kok ya dipamer-pamerkan dengan slogan aksi kemanusiaan. Bukankah itu lucu? Ya tidak, kalau bagi para krisiskus mentalitas. Mereka malah menganggapnya fenomena besar. Fenomena yang kelihatannya tidak biasa karena memang tidak biasa alias jarang. Sebenarnya ini yang lucu itu siapa?
Lucu. Ya, berbicara mengenai lucu, toh itu menjadi fenomena dalam Negara kita. Hasilnya, apa-apa harus lucu, jika tidak ya tidak laku, tidak payu. Ya, jadilah Negara yang berbangsa badut penganut paham deminasi demi perut terisi. Ya, demikian dan terima nasi. Kenapa bukan demikian dan terima kasih, karena terima kasih sudah terlalu sering dikatakan dan memang itu yang terjadi dan dijadikan. Kita dicetak menjadi bangsa terima kasih, bukan bangsa sama-sama.

Pati, 20 Mei 2020
/Ang