Pada tahun 1997 Joko Bibit Santoso (Kang
Jack) menulis naskah “Lurung Kalabendu” (pada tahun tersebut saya masih TK nol
besar, riwayat ini saya dengar dari para saksi hidup yang terlibat pada waktu
itu dan kebetulan menceritakan secara gratis kepada saya). Tertera pada halaman
terakhir naskah yang ditulis dengan mesin ketik, “Solo, 29 April 1997, pun anggit kangge mengeti pendhak pisanipun
kangmas Kenthut Bambang Widoyo S.P”. Konon, naskah ini sebelumnya sudah berkali
– kali dipentaskan, tapi bagi saya ini pertamakali menyaksikan dan menyimak
proses latihan secara langsung, sebab saya aktif berkesenian dan nonton pentas
teater tidak sejak tahun 1997 tapi 2017, dua puluh tahun sesudah naskah ini
lahir. Jadi yang saya bicarakan adalah apa yang saya lihat, dengar, temui dan
pikirkan tentang naskah tersebut.
Meski saya seorang wartawan (tanpa koran),
tapi tulisan ini saya buat tidak untuk bertujuan sebagai kritik seni atau catatan
pengantar pementasan, sebab tidak mungkin nantinya saya “mengantar” anda satu
per-satu untuk datang di Sanggar Kenthoet – Roedjito, tapi lebih bermaksud untuk
“menarik anda” menyaksikan dengan memberi
sedikit gambaran yang saya paparkan secara sederhana. Rencananya akan dipentaskan
pada tanggal 8 dan 9 Desember 2017. Di sutradarai oleh Mas Helmi Prasetyo (teaer
Ruang) dengan para pemain dan semua yang terlibat dari teman – teman Tanggul
Budaya Surakarta. Barangkali naskah ini sudah tidak asing lagi bagi generasi
terdahulu yang pernah atau sekarang masih aktif meramaikan khasanah perteateran
di kota ini. Tapi menurut penuturan para pemain, pemusik, penata cahaya, penata
setting, dan lainnya yang saya wawancarai secara terpisah dan terselubung,
proses naskah “Lurung Kalabendu” ini adalah hal baru juga pengalaman baru yang belum
pernah didapat sebelumnya dan dirasa menarik bagi mereka, naskah berbahasa
Jawa.
Tidak semata
membicarakan masalah kemiskinan
Kehidupan
kelas bawah sering menjadi bahan untuk dipentaskan. Hidup menderita akibat
tekanan ekonomi, kekalahan dalam persaingan hidup sehari – hari, sangat banyak
dipotret untuk kemudian diangkat ke panggung pertunjukan sebagai cermin
masyarakat, tema persoalan abadi sepanjang sejarah manusia yang hidup di pinggiran
kota, hanya muatan – muatan dibalik kemiskinan itu yang berbeda – beda bentuknya.
Memang membicarakan masalah kaum pinggiran tidak lepas dari urusan kemiskinan
dan ketertindasan, sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, pendapatan yang dirasa
kurang dapat mencukupi kebutuhan sehari – hari, ribut – ribut dalam rumah
tangga akibat menganut peribahasa besar pasak daripada tiang, dan banyak lagi
permasalahan yang umum dibicarakan dalam setiap naskah yang menyorot kehidupan kaum
kelas bawah.
Naskah
“Lurung Kalabendu” tidak hanya membicarakan masalah klise kaum miskin, lebih
dari itu, banyak pandangan – pandangan tentang fenomena jaman tertuang dalam setiap
dialog para tokoh yang ada, khususnya perihal kebudayaan Jawa, sebagai tanah
kelahiran dan lingkungan sosial kita. Benturan pandangan antara orang Jawa yang
masih memegang erat dan mengamalkan ajaran leluhur dan orang Jawa yang sudah
meyakini peradaban modern dengan segala atributnya dimainkan dalam sebuah
adegan. Mbah Sumi, seorang nenek tua yang masih meyakini dan memiliki kebanggan
bahwa aksara Jawa merupakan produk leluhur kita sendiri, ia memiliki
kekhawatiran atas masuknya bentuk – bentuk tulisan asing yang semakin menggerus
rasa kepemilikan orang Jawa terhadap aksara peninggalan leluhur, sementara seorang
pemuda bernama Kampret beranggapan bahwa tulisan Jawa sudah ketinggalan jaman,
kuno, tidak perlu dipelajari lagi.
Slamet
atau pak Semar, seorang pemain wayang wong Sriwedari, bagaimana dirinya sedapat
mungkin menjalani hidup sesuai dengan tokoh yang ia mainkan, yaitu Semar. Segala
petuah – petuah bijak di jagad pewayangan sering terlontar dalam dialognya. Pak
Semar dan Mbah Sumi dua tokoh yang mencoba menghadapi jaman modern tanpa
meninggalkan akar kebudayaan lokal. Juga potongan dialog dari tokoh Wakidin
tukang becak “sing ngelingke karo sing
dielingke nasibe padha wae, sirna ilang keterak jaman” (yang mengingatkan dan
yang diingatkan nasibnya sama saja, musnah terlindas jaman). Sebuah kalimat
satir, tapi memang nyata terjadi jika kita mau jujur mengakui, segala keyakinan
tentang kebenaran pribadi maupun kelompok, usaha – usaha membagi kesadaran
kepada mereka yang hanyut mengikuti arus jaman untuk tidak semakin terseret
banjir globalisasi, pada akhirnya juga akan tergilas laju jaman. Tapi sebagaimana
Mbah Sumi, meski demikian yang terjadi, mempertahankan keyakinan adalah pilihan
terakhir di tengah pandangan modern yang semakin menggusur kearifan lokal, tak
peduli menang atau kalah diakhir cerita.
Relevansi
dengan fenomena hari ini
Setiap karya naskah lahir memotret jamannya, tapi tidak semua memiliki
relevansi dengan gejolak sosial jaman sesudahnya. Seperti yang saya katakan
diawal bahwa kemiskinan adalah tema abadi apabila kita mengangkat masalah kaum
pinggiran kota. Tapi tidak semua mengupas persoalan lain, pandangan – pandangan
masyarakat terhadap kehidupan dibalik kemiskinan yang melekat pada dirinya,
gagasan kebudayaan lokal dimana tempat masyarakat tersebut lahir dan tumbuh.
Segala
hal yang diyakini sebagai bentuk kewarasan, pertahanan diri untuk tidak hanyut
oleh jaman edan, usaha mengingatkan kembali generasi muda terhadap kebudayaan
lokal pun akhirnya mentah, sebab pengaruh kebudayaan asing sudah menyusup ke
berbagai sendi kehidupan. Seperti yang pernah Kang Jack ceritakan saat
berbincang di sanggar Teater Ruang pada suatu sore di tahun 2016, “jangankan pada persoalan lahir yang dampak
buruknya dapat dilihat mata, bahkan wilayah teritorial spiritual kita sudah di
jajah”. Kang Jack mencontohkan fenomena sekarang tentang penebangan pohon
tua dengan alasan sumber kemusyrikan oleh golongan agama tertentu. Padahal itu cara
orang Jawa menghormati alam, memberi sesaji dan memberitakan bahwa ada
penunggunya, sebuah mitos diciptakan agar anak – cucu tetap menjaga lingkungan,
sebab kiranya lumayan susah dan rumit jika harus menjelaskan kepada mereka tentang
fungsinya sebagai sumber penyimpan cadangan air tanah.
Beberapa cuplikan naskah “Lurung
Kalabendu” diatas kiranya merupakan akumulasi dari perbincangan seputar kehidupan
sehari – hari masyarakat sekitar yang dipotret oleh Kang Jack menjadi sebuah
naskah. Duapuluh tahun berlalu justru semakin relevan, bahkan hari ini tidak
hanya aksara Jawa, bahasa Jawa sendiri dengan struktur lapisan yang paling
rendah yaitu ngoko sudah jarang kita
gunakan. Kosa kata bahasa Jawa sudah tidak banyak kita ketahui, generasi sekarang
mengalami kesulitan apabila menjumpai istilah – istilah dengan bahasa Jawa,
belum lagi yang berbentuk kalimat – kalimat petuah lokal, biasanya menggunakan padan
kata (sinonim) yang semakin asing lagi ditelinga kita, karena satu kata dalam
bahasa Jawa bisa memiliki lebih dari dua kata lain yang memiliki arti yang sama.
Mereka yang masih memiliki rasa kepemilikan terhadap kebudayaan lokal,
khususnya Jawa, senantiasa merawat dan menggunakannya dalam kehidupan sehari –
hari, di tengah makin terpinggirkannya posisi mereka di tanah sendiri, atau
barangkali ini yang dimaksud “wong Jawa
kari separo”, antara orang – orang yang masih memegang Jawa-nya dan yang terlahir sebagai orang Jawa tapi mengingkari
segala ajaran – ajaran leluhur, menolak mentah – mentah tanpa mau menelaah,
mengambil sisi – sisi baik untuk digunakan di jaman sekarang, sebagai identitas
jati diri, bukannya mengekor pada peradaban asing, toh pada akhirnya kita akan
selalu merasa ketinggalan.
Singkat
kata dari saya, sebagai penutup catatan pentas “Lurung Kalabendu” oleh Komuntas
Tanggul Budaya Surakarta, kiranya berkenan silakan hadir menyaksikan dan
memperbincangkan bersama usai pementasan apa yang nanti akan saudara – saudara saksikan,
segera memesan tiket sebab saya dengar tempat terbatas. Terimakasih.
Surakarta, 10 November 2017
Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyoningrat Tirtokamandanu
(wartawan
tanpa koran tanpa kantor tanpa tanda tangan tanpa imbalan jasa tentunya)
No comments:
Post a Comment