Friday, 10 November 2017

TANGGUL BUDAYA SURAKARTA MEMENTASKAN NASKAH “LURUNG KALABENDU”







Pada tahun 1997 Joko Bibit Santoso (Kang Jack) menulis naskah “Lurung Kalabendu” (pada tahun tersebut saya masih TK nol besar, riwayat ini saya dengar dari para saksi hidup yang terlibat pada waktu itu dan kebetulan menceritakan secara gratis kepada saya). Tertera pada halaman terakhir naskah yang ditulis dengan mesin ketik, “Solo, 29 April 1997, pun anggit kangge mengeti pendhak pisanipun kangmas Kenthut Bambang Widoyo S.P”. Konon, naskah ini sebelumnya sudah berkali – kali dipentaskan, tapi bagi saya ini pertamakali menyaksikan dan menyimak proses latihan secara langsung, sebab saya aktif berkesenian dan nonton pentas teater tidak sejak tahun 1997 tapi 2017, dua puluh tahun sesudah naskah ini lahir. Jadi yang saya bicarakan adalah apa yang saya lihat, dengar, temui dan pikirkan tentang naskah tersebut.
Meski saya seorang wartawan (tanpa koran), tapi tulisan ini saya buat tidak untuk bertujuan sebagai kritik seni atau catatan pengantar pementasan, sebab tidak mungkin nantinya saya “mengantar” anda satu per-satu untuk datang di Sanggar Kenthoet – Roedjito, tapi lebih bermaksud untuk “menarik anda” menyaksikan dengan memberi sedikit gambaran yang saya paparkan secara sederhana. Rencananya akan dipentaskan pada tanggal 8 dan 9 Desember 2017. Di sutradarai oleh Mas Helmi Prasetyo (teaer Ruang) dengan para pemain dan semua yang terlibat dari teman – teman Tanggul Budaya Surakarta. Barangkali naskah ini sudah tidak asing lagi bagi generasi terdahulu yang pernah atau sekarang masih aktif meramaikan khasanah perteateran di kota ini. Tapi menurut penuturan para pemain, pemusik, penata cahaya, penata setting, dan lainnya yang saya wawancarai secara terpisah dan terselubung, proses naskah “Lurung Kalabendu” ini adalah hal baru juga pengalaman baru yang belum pernah didapat sebelumnya dan dirasa menarik bagi mereka, naskah berbahasa Jawa.

Tidak semata membicarakan masalah kemiskinan
            Kehidupan kelas bawah sering menjadi bahan untuk dipentaskan. Hidup menderita akibat tekanan ekonomi, kekalahan dalam persaingan hidup sehari – hari, sangat banyak dipotret untuk kemudian diangkat ke panggung pertunjukan sebagai cermin masyarakat, tema persoalan abadi sepanjang sejarah manusia yang hidup di pinggiran kota, hanya muatan – muatan dibalik kemiskinan itu yang berbeda – beda bentuknya. Memang membicarakan masalah kaum pinggiran tidak lepas dari urusan kemiskinan dan ketertindasan, sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan, pendapatan yang dirasa kurang dapat mencukupi kebutuhan sehari – hari, ribut – ribut dalam rumah tangga akibat menganut peribahasa besar pasak daripada tiang, dan banyak lagi permasalahan yang umum dibicarakan dalam setiap naskah yang menyorot kehidupan kaum kelas bawah.
            Naskah “Lurung Kalabendu” tidak hanya membicarakan masalah klise kaum miskin, lebih dari itu, banyak pandangan – pandangan tentang fenomena jaman tertuang dalam setiap dialog para tokoh yang ada, khususnya perihal kebudayaan Jawa, sebagai tanah kelahiran dan lingkungan sosial kita. Benturan pandangan antara orang Jawa yang masih memegang erat dan mengamalkan ajaran leluhur dan orang Jawa yang sudah meyakini peradaban modern dengan segala atributnya dimainkan dalam sebuah adegan. Mbah Sumi, seorang nenek tua yang masih meyakini dan memiliki kebanggan bahwa aksara Jawa merupakan produk leluhur kita sendiri, ia memiliki kekhawatiran atas masuknya bentuk – bentuk tulisan asing yang semakin menggerus rasa kepemilikan orang Jawa terhadap aksara peninggalan leluhur, sementara seorang pemuda bernama Kampret beranggapan bahwa tulisan Jawa sudah ketinggalan jaman, kuno, tidak perlu dipelajari lagi.
            Slamet atau pak Semar, seorang pemain wayang wong Sriwedari, bagaimana dirinya sedapat mungkin menjalani hidup sesuai dengan tokoh yang ia mainkan, yaitu Semar. Segala petuah – petuah bijak di jagad pewayangan sering terlontar dalam dialognya. Pak Semar dan Mbah Sumi dua tokoh yang mencoba menghadapi jaman modern tanpa meninggalkan akar kebudayaan lokal. Juga potongan dialog dari tokoh Wakidin tukang becak “sing ngelingke karo sing dielingke nasibe padha wae, sirna ilang keterak jaman” (yang mengingatkan dan yang diingatkan nasibnya sama saja, musnah terlindas jaman). Sebuah kalimat satir, tapi memang nyata terjadi jika kita mau jujur mengakui, segala keyakinan tentang kebenaran pribadi maupun kelompok, usaha – usaha membagi kesadaran kepada mereka yang hanyut mengikuti arus jaman untuk tidak semakin terseret banjir globalisasi, pada akhirnya juga akan tergilas laju jaman. Tapi sebagaimana Mbah Sumi, meski demikian yang terjadi, mempertahankan keyakinan adalah pilihan terakhir di tengah pandangan modern yang semakin menggusur kearifan lokal, tak peduli menang atau kalah diakhir cerita.

Relevansi dengan fenomena hari ini
            Setiap karya naskah lahir memotret jamannya, tapi tidak semua memiliki relevansi dengan gejolak sosial jaman sesudahnya. Seperti yang saya katakan diawal bahwa kemiskinan adalah tema abadi apabila kita mengangkat masalah kaum pinggiran kota. Tapi tidak semua mengupas persoalan lain, pandangan – pandangan masyarakat terhadap kehidupan dibalik kemiskinan yang melekat pada dirinya, gagasan kebudayaan lokal dimana tempat masyarakat tersebut lahir dan tumbuh.
            Segala hal yang diyakini sebagai bentuk kewarasan, pertahanan diri untuk tidak hanyut oleh jaman edan, usaha mengingatkan kembali generasi muda terhadap kebudayaan lokal pun akhirnya mentah, sebab pengaruh kebudayaan asing sudah menyusup ke berbagai sendi kehidupan. Seperti yang pernah Kang Jack ceritakan saat berbincang di sanggar Teater Ruang pada suatu sore di tahun 2016, “jangankan pada persoalan lahir yang dampak buruknya dapat dilihat mata, bahkan wilayah teritorial spiritual kita sudah di jajah”. Kang Jack mencontohkan fenomena sekarang tentang penebangan pohon tua dengan alasan sumber kemusyrikan oleh golongan agama tertentu. Padahal itu cara orang Jawa menghormati alam, memberi sesaji dan memberitakan bahwa ada penunggunya, sebuah mitos diciptakan agar anak – cucu tetap menjaga lingkungan, sebab kiranya lumayan susah dan rumit jika harus menjelaskan kepada mereka tentang fungsinya sebagai sumber penyimpan cadangan air tanah.
Beberapa cuplikan naskah “Lurung Kalabendu” diatas kiranya merupakan akumulasi dari perbincangan seputar kehidupan sehari – hari masyarakat sekitar yang dipotret oleh Kang Jack menjadi sebuah naskah. Duapuluh tahun berlalu justru semakin relevan, bahkan hari ini tidak hanya aksara Jawa, bahasa Jawa sendiri dengan struktur lapisan yang paling rendah yaitu ngoko sudah jarang kita gunakan. Kosa kata bahasa Jawa sudah tidak banyak kita ketahui, generasi sekarang mengalami kesulitan apabila menjumpai istilah – istilah dengan bahasa Jawa, belum lagi yang berbentuk kalimat – kalimat petuah lokal, biasanya menggunakan padan kata (sinonim) yang semakin asing lagi ditelinga kita, karena satu kata dalam bahasa Jawa bisa memiliki lebih dari dua kata lain yang memiliki arti yang sama. Mereka yang masih memiliki rasa kepemilikan terhadap kebudayaan lokal, khususnya Jawa, senantiasa merawat dan menggunakannya dalam kehidupan sehari – hari, di tengah makin terpinggirkannya posisi mereka di tanah sendiri, atau barangkali ini yang dimaksud “wong Jawa kari separo”, antara orang – orang yang masih memegang Jawa-nya dan yang terlahir sebagai orang Jawa tapi mengingkari segala ajaran – ajaran leluhur, menolak mentah – mentah tanpa mau menelaah, mengambil sisi – sisi baik untuk digunakan di jaman sekarang, sebagai identitas jati diri, bukannya mengekor pada peradaban asing, toh pada akhirnya kita akan selalu merasa ketinggalan.
            Singkat kata dari saya, sebagai penutup catatan pentas “Lurung Kalabendu” oleh Komuntas Tanggul Budaya Surakarta, kiranya berkenan silakan hadir menyaksikan dan memperbincangkan bersama usai pementasan apa yang nanti akan saudara – saudara saksikan, segera memesan tiket sebab saya dengar tempat terbatas. Terimakasih.


Surakarta, 10 November 2017


Sastro Siswo Hadiwinoto Handoyoningrat Tirtokamandanu
(wartawan tanpa koran tanpa kantor tanpa tanda tangan tanpa imbalan jasa tentunya)

No comments:

Post a Comment