Sampah itu berupa
“gangguan” yang sifatnya relatif, tidak sama bentuknya untuk setiap orang,
sampahku beda jenis dengan sampahmu, masalahku lain wujud dengan masalahmu. Semua
persoalan pribadi yang memiliki potensi menjadi penghambat bagi terwujudnya
langkah awal hendaknya segera disingkirkan, rata-rata dari mereka yang belum
atau tidak mampu menyelesaikan persoalan pribadinya akan gagal memahami
mekanisme kerja dalam sebuah kelompok. Masalah pribadi itu berupa, ketidakmampuan
mengatur jadwal diluar kelompok, kegagalan mengenali minat dan kesenangan,
kurang mencermati kebutuhan diri, dan
banyak lagi “sampah-sampah” yang bisa menjadikan laju kelompok terhambat jika
ini dibiarkan.
Di dalam proses
penggarapan kali ini secara terjadwal selalu dihadiri enam orang
“pengangguran”, sebuah capaian jumlah yang fantastis bagi teater Sandilara.
Mengapa demikian? Sepanjang sejarah kelompok ini aktif melakukan kegiatan,
proses kali ini tergolong lancar untuk urusan internal kelompok. Bukan hendak
membandingkan terlebih mengesampingkan peran orang-orang yang pernah terlibat
bersama teater Sandilara pada proses-proses sebelumnya, tapi faktanya memang
demikian, “orang-orang lawas” tidak perlu mengadakan “bimbingan konseling”
untuk kemudian melakukan tindakan preventif maupun represif. Semua berjalan
lancar, menemukan pengalaman-pengalaman baru, tafsiran baru, juga semangat baru
tentunya.
Mementaskan naskah
monolog bukan berarti menganggapnya lebih mudah, lebih praktis, lebih irit
waktu, tenaga, pikiran dan biaya dari pada mementaskan naskah yang bukan
monolog. Bukan hendak pamer “kesaktian” terlebih “militansi”, siapa kami?
Paranormal bukan, prajurit juga bukan. Hanya saja pada proses kali ini
keterlibatan penuh kawan-kawan pada posisinya masing-masing sangat terasa. Diluar
latihan terjadi obrolan-obrolan seputar naskah “cahaya dan sampah” juga
fenomena-fenomena baru tentang kesenian di kota ini. Saya semakin percaya, bahwa
tidak perlu mati-matian mempertahankan nama kelompok atau mengikat setiap
individu untuk menjaga kesetiaan. Biarkan mereka datang dan pergi, kalau perlu
usai pentas ini Teater Sandilara bubar juga tidak masalah, tidak akan
menyebabkan kiamat, kesenian bukan segalanya, paling tidak jejaknya harus
segera ditulis dengan jujur dan sikap kelompok yang jelas, tidak abu-abu.
Tugas Manusia Mengapa Oleh Tuhan Diturunkan Ke Bumi
Naskah “Cahaya dan Sampah” memberi pamahaman
baru bagi kami, tentang eksistensi kita sebagai manusia dimuka bumi, menyadari
keberadaan, tujuan, dan peran mengapa kita hidup. Apakah hanya sekedar
beribadah dan berbuat baik agar mendapat tiket masuk surga? Apakah sebatas
menjauhi larangan tuhan supaya dijauhkan dari api neraka? Jika demikian artinya
dunia ini seperti pasar dimana orang menjual kebaikan untuk membeli tiket ke
surga, atau seperti pabrik dimana kita bagaikan buruh-buruh yang patuh, demi
mendapat jaminan kesejahteraan dan terhindar dari segala macam aturan kerja juga
sanksi yang diberlakukan oleh majikan. Baiklah saya tidak akan bebicara lebih
jauh soal surga dan neraka, terlalu sensitif rasanya persoalan yang satu ini,
lagi pula saya belum pernah berkunjung ke sana.
Jadi kenapa aku rindu kepada sampah? Untuk
apa aku memohon agar ditugasi kembali mengurusi sampah, sedangkan cahaya telah meng-Ada-kanku
dalam Tiada, sedangkan cahaya telah men-Tiada-kanku dalam Ada
Potongan dialaog pada
naskah “Cahaya dan Sampah” memberi gambaran kepada kami bahwa persoalan-persoalan
hidup yang tampak secara lahir adalah “sampah”, persoalan-persoalan yang sering
diperdebatkan dan dipertentangkan yang sebenarnya bukan esensi atau inti dari
sebuah tujuan yang sebenarnya, hanya sebagai sarana atau kendaraan untuk mencapai
suatu tempat yang hendak dituju. Misalnya permasalahan paham-paham yang
berkembang dan diyakini, yang akhirnya saling bertentangan, kekeliruan tafsir
tehadap suatu hal secara berjamaah yang tidak pernah coba diurai dengan kepala
dingin, akhirnya menimbulkan pertengkaran fisik antar kubu yang berseberangan
pandangan, “perbuatan baik” yang dilembagakan yang sering membuat umat terjebak
untuk dimanfaatkan kepentingan golongan tertentu.
Hidup
tidak sekedar menjalani, sebab hidup tidak hanya sebatas “kegiatan” yang
diciptakan untuk menunggu datangnya kematian. Ada perenungan-perenungan tentang
mengapa dan apa maknanya manusia hidup di muka bumi, banyak sumber yang bisa
kita peroleh, dari agama, sekolah, dan guru-guru yang dapat kita temui dimana
saja yang dapat mengurai hakikat hidup dengan cara pandang mereka yang kurang
lebih sama antara satu dan yang lain, atau telaah ulang diri pribadi atas apa
yang sudah kita peroleh tadi. Dalam rangka mencari arti kehidupan, naskah “Cahaya
dan Sampah” bagi diri saya dan kelompok telah memberikan wawasan, bahwa kita
sering salah sangka terhadap ketentuan tuhan yang digariskan sebagai lakon pada
setiap individu manusia.
Kita
sering dibayangi ketakutan-ketakutan akan masalah hidup, tawaran jaman baru
dengan kriteria-kriteria tertentu yang tanpa sadar membuat kita menjadi
terbebani. Beban inilah yang akhirnya membuat kita lupa mencari atau meluangkan
waktu untuk merenungi hakikat hidup. Kita sibuk urusan mengejar kebutuhan
dunia, mencukupi segala tuntutan jaman tadi yang memang sudah mewabah dan
menjadi tolak ukur kesejahteraan. Kita lupa untuk belajar menyadari apa tugas
kita di turunkan ke dunia. Kita tidak mengenalai “sampah-sampah” yang harus
kita urusi, yang masing-masing manusia tentunya memiliki “sampah-sampah” yang
berbeda rupa. Mulai dari menyelesaikan “sampah” dari dalam diri sendiri. Kemudian
“sampah” dilingkungan kelompok. Lalu “sampah” yang ada pada lingkungan
pergaulan yang lebih luas.
Bahagia
dan sengsara memang dua hal yang senantiasa membayangi kita, membuntuti langkah
kita usai menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, mempertimbangkan dengan waktu
cukup lama hingga akhirnya tidak melakukan apa-apa, berpikir terlalu jauh tanpa
segera memulai dari hal yang paling kecil dan ada disekitar kita. Wajar adanya
apabila kita selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidup ini dan sedapat
mungkin menghindari segala bentuk kesengsaraan, tapi bukankah bahagia dan
sengsara datangnya selalu bergantian, tidak dapa kita perkirakan dan mau tidak
mau harus kita lalui dan selesaikan. Sementara tolak ukur kebahagiaan dan
kesengsaraan yang sebenarnya bersifat relatif justru telah terjadi standarisasi
yang entah bagaimana awal mulanya bisa hinggap di kepala kebanyakan orang.
Mahasiswa Sekedar Meneliti atau Mencoba Ikut Mengatasi “Sampah” Di
Masyarakat? Atau Sebatas Memulung Persoalan “Sampah” Sebagai Tugas Akademik?
Sebagai
contoh, kita merasa harus kuliah dengan tujuan meraih gelar sarjana untuk
mendapatkan jaminan sosial di hari depan, memegang senjata cari kerja, bagi
saya kuliah pada kenyataannya bukan sebuah jaminan untuk menggapai atau
melampaui standar-standar tadi, tentang ukuran kesejahteraan, kekayaan,
kehormatan, pemahaman akan materi perkuliahan, manfaat dan tanggungjawab
seorang terpelajar kepada masyarakat luas, bagaimana menjadikan orang yang
duduk di perguruan tinggi semakin paham kedudukannya sebagai orang yang beruntung
dari yang lain, apakah sadar tugas-tugas moralnya kepada kaum-kaum bawah yang
sering dijadikan bahan penelitian, apa yang sudah kita berikan sekecil apapun
kepada mereka, sebelum akhirnya menapaki tangga jabatan, sampai pada puncak
karir yang diimpkan, hingga akhirnya kita akan semakin jauh dari kemungkinan
mendharma-bhaktikan capaian di bangku kuliah.
Seringkali kita lupa usai
mengikuti KKN (kuliah kerja nyata) yang biasanya pada lingkungan masyarakat
dimana kita ditempatkan, pernahkah kita berpikir, bukankah justru mereka yang
memberikan banyak pelajaran dan pengalaman baru kepada kita para mahasiswa? Sementara
itu disisi lain mereka memiliki pandangan kepada kita yang hanya kenal
teori-teori perkuliahan sebagai manusia yang lebih. Segala kegagapan memandang
fenomena lingkungan KKN akan dengan mudah diampuni masyarakat awam. Kita sok-sokan
seperti jagoan, memberikan sesuatu yang terkadang tidak dibutuhkan oleh mereka,
merasa gagah sebagai manusia terpelajar, tapi apa gunanya program-program
tersebut? KKN yang waktunya hanya kurang lebih satu bulan, apa mungkin? untuk
tahap mengenali dan menyelami permasalahan hidup pada suatu lingkungan
masyarakat saja rasanya masih terlalu singkat.
Bagi saya KKN merupakan
sarana belajar sebelum nanti akhirnya lulus, memilih melanjutkan pengalaman
yang sudah diperoleh (jika waktu KKN sadar dan tidak sok pintar) atau melupakan
semua yang sudah didapat, dan sama sekali tidak coba diaplikasikan dilingkungan
sendiri, merasa bahwa ketika KKN artinya sudah melakukan pelunasan “kewajiban
moral” sebagai calon sarjana, dan setelah lulus semakin jauh dari permasalahan
masyarakat sendiri, jangankan ikut terlibat, sekedar mengamati dan memahami
persoalan-persoalan mereka saja rasanya sudah tidak ada waktu, sibuk mengejar
urusan dunia, menjadi budak untuk mencukupi kepentingan pribadi, sebelum kita
sampai membantu menyelesaikan “sampah-sampah” yang bertebaran di lingkungan
kaum bawah yang sering kita jadikan objek penelitian guna merampungkan tanggung
jawab perkuliahan, “sampah-sampah” yang sudah dikaji di lingkungan sekolah, ya
hanya dikaji dan tidak memberi sumbangan apa-apa selain memenuhi rak
perpustakaan atau lenyap usai dana hibah penelitian habis untuk biaya meneliti “sampah”
dan bersenang-senang memenuhi kesejahteraan pribadi maupun golongan.
Silahkan
menganggap tulisan saya ini sebagai opini dari mahasiswa kesiangan, maupun serat dari seorang “pujangga” yang
mendarat pada jaman yang salah. Contoh-contoh kasus tersebut hanya satu gambaran
dari kegagalan kita memahami tujuan untuk apa kita mencari ilmu. Ya, memang
tidak semua harus seperti saya dan teman-teman yang teramat santai diusia
kepala dua, usia dimana orang-orang berlari dan saling sikut dalam persaingan
bursa kerja. Jika ditarik kembali pada pemahaman kami terhadap naskah “Cahaya
dan Sampah”, menurut pendapat saya, mari kita sebagai mahasiswa berpikir ulang,
dan dengan terbuka menyadari untuk apa kita sekolah di perguruan tinggi, kalau
memang cari ijazah tidak perlu sok-sokan berunjuk rasa membela rakyat toh nanti
kalau sudah jadi pejabat, masuk dalam “lingkaran setan” gantian kita yang
didemo oleh mahasiswa di masa depan.
Kalau ternyata lingkungan
pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi terkesan seperti bisnis, itu
tadi yang saya sebut an maksud peluang bisnis dan pemanfaatan golongan tertentu
dari “ketakutan-ketakutan” orang memandang hari depan, tidak lain akibat pikiran mereka telah ditanami segala
macam kriteria kesejahteraan menurut ukuran jaman. Peluang bisnis itu berupa
pembangunan tempat-tempat yang bisa menjadi “solusi” untuk mengatasinya,
tentunya tidak gratis, sekalipun ada beasiswa, itu duit siapa juga? Dari mana? Mikir!!.
Ya, tanpa sadar kita telah terjebak asas untung rugi, salah paham terhadap
hakikat kuliah, menjadikannya jalan ingin sejahtera hidupnya di hari depan, rela
membayar mahal sebatas menunggu waktu masuk dunia kerja. Bukankah kita sekolah
dalam rangka mencukupi kebutuhan akan ilmu pengetahuan? Perkara kesejahteraan
itu nasib orang dikemudian hari, ilmu bisa disalurkan kemana saja, tapi ijasah
sudah pasti ke meja juragan.
Catatan
ini sebagai bentuk berbagi dari kami yang rata-rata juga masih menjadi
mahasiswa, barangkali berguna bagi teman-teman yang lain, yang tidak sepakat
boleh mendebat, tapi saya tidak akan menanggapi, sebab saya orang “bebal” yang
tidak mau berdiskusi dengan orang yang beda pandangan, buang waktu tidak akan
berakhir pada titik temu. Jadi mengapa kami rindu mementaskan kembali “Cahaya
Dan Sampah”, ada yang kami peroleh dan barangkali berguna bagi yang lain, baik
pementasan nantinya maupun tulisan-tulisan yang menyertainya untuk dibawa
pulang sebagai oleh-oleh. Apalah artinya mengadakan pementasan jika pada
internal kelompok saja tidak ada pembahasan terhadap wacana naskah yang sudah
ditiketkan untuk ditawarkan kepada orang banyak (penonton), sekian, salam
antagonis!!
Surakarta, 15 Maret 2018
Joko Pitono
Penggesek rebab di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment