Wednesday, 14 March 2018

JADI KENAPA KAMI RINDU MEMENTASKAN LAGI “CAHAYA DAN SAMPAH”?



Sampah itu berupa “gangguan” yang sifatnya relatif, tidak sama bentuknya untuk setiap orang, sampahku beda jenis dengan sampahmu, masalahku lain wujud dengan masalahmu. Semua persoalan pribadi yang memiliki potensi menjadi penghambat bagi terwujudnya langkah awal hendaknya segera disingkirkan, rata-rata dari mereka yang belum atau tidak mampu menyelesaikan persoalan pribadinya akan gagal memahami mekanisme kerja dalam sebuah kelompok. Masalah pribadi itu berupa, ketidakmampuan mengatur jadwal diluar kelompok, kegagalan mengenali minat dan kesenangan, kurang mencermati  kebutuhan diri, dan banyak lagi “sampah-sampah” yang bisa menjadikan laju kelompok terhambat jika ini dibiarkan.

Di dalam proses penggarapan kali ini secara terjadwal selalu dihadiri enam orang “pengangguran”, sebuah capaian jumlah yang fantastis bagi teater Sandilara. Mengapa demikian? Sepanjang sejarah kelompok ini aktif melakukan kegiatan, proses kali ini tergolong lancar untuk urusan internal kelompok. Bukan hendak membandingkan terlebih mengesampingkan peran orang-orang yang pernah terlibat bersama teater Sandilara pada proses-proses sebelumnya, tapi faktanya memang demikian, “orang-orang lawas” tidak perlu mengadakan “bimbingan konseling” untuk kemudian melakukan tindakan preventif maupun represif. Semua berjalan lancar, menemukan pengalaman-pengalaman baru, tafsiran baru, juga semangat baru tentunya.


Mementaskan naskah monolog bukan berarti menganggapnya lebih mudah, lebih praktis, lebih irit waktu, tenaga, pikiran dan biaya dari pada mementaskan naskah yang bukan monolog. Bukan hendak pamer “kesaktian” terlebih “militansi”, siapa kami? Paranormal bukan, prajurit juga bukan. Hanya saja pada proses kali ini keterlibatan penuh kawan-kawan pada posisinya masing-masing sangat terasa. Diluar latihan terjadi obrolan-obrolan seputar naskah “cahaya dan sampah” juga fenomena-fenomena baru tentang kesenian di kota ini. Saya semakin percaya, bahwa tidak perlu mati-matian mempertahankan nama kelompok atau mengikat setiap individu untuk menjaga kesetiaan. Biarkan mereka datang dan pergi, kalau perlu usai pentas ini Teater Sandilara bubar juga tidak masalah, tidak akan menyebabkan kiamat, kesenian bukan segalanya, paling tidak jejaknya harus segera ditulis dengan jujur dan sikap kelompok yang jelas, tidak abu-abu.


Tugas Manusia Mengapa Oleh Tuhan Diturunkan Ke Bumi

             Naskah “Cahaya dan Sampah” memberi pamahaman baru bagi kami, tentang eksistensi kita sebagai manusia dimuka bumi, menyadari keberadaan, tujuan, dan peran mengapa kita hidup. Apakah hanya sekedar beribadah dan berbuat baik agar mendapat tiket masuk surga? Apakah sebatas menjauhi larangan tuhan supaya dijauhkan dari api neraka? Jika demikian artinya dunia ini seperti pasar dimana orang menjual kebaikan untuk membeli tiket ke surga, atau seperti pabrik dimana kita bagaikan buruh-buruh yang patuh, demi mendapat jaminan kesejahteraan dan terhindar dari segala macam aturan kerja juga sanksi yang diberlakukan oleh majikan. Baiklah saya tidak akan bebicara lebih jauh soal surga dan neraka, terlalu sensitif rasanya persoalan yang satu ini, lagi pula saya belum pernah berkunjung ke sana.

            Jadi kenapa aku rindu kepada sampah? Untuk apa aku memohon agar ditugasi kembali mengurusi sampah, sedangkan cahaya telah meng-Ada-kanku dalam Tiada, sedangkan cahaya telah men-Tiada-kanku dalam Ada

Potongan dialaog pada naskah “Cahaya dan Sampah” memberi gambaran kepada kami bahwa persoalan-persoalan hidup yang tampak secara lahir adalah “sampah”, persoalan-persoalan yang sering diperdebatkan dan dipertentangkan yang sebenarnya bukan esensi atau inti dari sebuah tujuan yang sebenarnya, hanya sebagai sarana atau kendaraan untuk mencapai suatu tempat yang hendak dituju. Misalnya permasalahan paham-paham yang berkembang dan diyakini, yang akhirnya saling bertentangan, kekeliruan tafsir tehadap suatu hal secara berjamaah yang tidak pernah coba diurai dengan kepala dingin, akhirnya menimbulkan pertengkaran fisik antar kubu yang berseberangan pandangan, “perbuatan baik” yang dilembagakan yang sering membuat umat terjebak untuk dimanfaatkan kepentingan golongan tertentu.

            Hidup tidak sekedar menjalani, sebab hidup tidak hanya sebatas “kegiatan” yang diciptakan untuk menunggu datangnya kematian. Ada perenungan-perenungan tentang mengapa dan apa maknanya manusia hidup di muka bumi, banyak sumber yang bisa kita peroleh, dari agama, sekolah, dan guru-guru yang dapat kita temui dimana saja yang dapat mengurai hakikat hidup dengan cara pandang mereka yang kurang lebih sama antara satu dan yang lain, atau telaah ulang diri pribadi atas apa yang sudah kita peroleh tadi. Dalam rangka mencari arti kehidupan, naskah “Cahaya dan Sampah” bagi diri saya dan kelompok telah memberikan wawasan, bahwa kita sering salah sangka terhadap ketentuan tuhan yang digariskan sebagai lakon pada setiap individu manusia.

            Kita sering dibayangi ketakutan-ketakutan akan masalah hidup, tawaran jaman baru dengan kriteria-kriteria tertentu yang tanpa sadar membuat kita menjadi terbebani. Beban inilah yang akhirnya membuat kita lupa mencari atau meluangkan waktu untuk merenungi hakikat hidup. Kita sibuk urusan mengejar kebutuhan dunia, mencukupi segala tuntutan jaman tadi yang memang sudah mewabah dan menjadi tolak ukur kesejahteraan. Kita lupa untuk belajar menyadari apa tugas kita di turunkan ke dunia. Kita tidak mengenalai “sampah-sampah” yang harus kita urusi, yang masing-masing manusia tentunya memiliki “sampah-sampah” yang berbeda rupa. Mulai dari menyelesaikan “sampah” dari dalam diri sendiri. Kemudian “sampah” dilingkungan kelompok. Lalu “sampah” yang ada pada lingkungan pergaulan yang lebih luas.

            Bahagia dan sengsara memang dua hal yang senantiasa membayangi kita, membuntuti langkah kita usai menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, mempertimbangkan dengan waktu cukup lama hingga akhirnya tidak melakukan apa-apa, berpikir terlalu jauh tanpa segera memulai dari hal yang paling kecil dan ada disekitar kita. Wajar adanya apabila kita selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidup ini dan sedapat mungkin menghindari segala bentuk kesengsaraan, tapi bukankah bahagia dan sengsara datangnya selalu bergantian, tidak dapa kita perkirakan dan mau tidak mau harus kita lalui dan selesaikan. Sementara tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan yang sebenarnya bersifat relatif justru telah terjadi standarisasi yang entah bagaimana awal mulanya bisa hinggap di kepala kebanyakan orang.


Mahasiswa Sekedar Meneliti atau Mencoba Ikut Mengatasi “Sampah” Di Masyarakat? Atau Sebatas Memulung Persoalan “Sampah” Sebagai Tugas Akademik?

            Sebagai contoh, kita merasa harus kuliah dengan tujuan meraih gelar sarjana untuk mendapatkan jaminan sosial di hari depan, memegang senjata cari kerja, bagi saya kuliah pada kenyataannya bukan sebuah jaminan untuk menggapai atau melampaui standar-standar tadi, tentang ukuran kesejahteraan, kekayaan, kehormatan, pemahaman akan materi perkuliahan, manfaat dan tanggungjawab seorang terpelajar kepada masyarakat luas, bagaimana menjadikan orang yang duduk di perguruan tinggi semakin paham kedudukannya sebagai orang yang beruntung dari yang lain, apakah sadar tugas-tugas moralnya kepada kaum-kaum bawah yang sering dijadikan bahan penelitian, apa yang sudah kita berikan sekecil apapun kepada mereka, sebelum akhirnya menapaki tangga jabatan, sampai pada puncak karir yang diimpkan, hingga akhirnya kita akan semakin jauh dari kemungkinan mendharma-bhaktikan capaian di bangku kuliah. 

Seringkali kita lupa usai mengikuti KKN (kuliah kerja nyata) yang biasanya pada lingkungan masyarakat dimana kita ditempatkan, pernahkah kita berpikir, bukankah justru mereka yang memberikan banyak pelajaran dan pengalaman baru kepada kita para mahasiswa? Sementara itu disisi lain mereka memiliki pandangan kepada kita yang hanya kenal teori-teori perkuliahan sebagai manusia yang lebih. Segala kegagapan memandang fenomena lingkungan KKN akan dengan mudah diampuni masyarakat awam. Kita sok-sokan seperti jagoan, memberikan sesuatu yang terkadang tidak dibutuhkan oleh mereka, merasa gagah sebagai manusia terpelajar, tapi apa gunanya program-program tersebut? KKN yang waktunya hanya kurang lebih satu bulan, apa mungkin? untuk tahap mengenali dan menyelami permasalahan hidup pada suatu lingkungan masyarakat saja rasanya masih terlalu singkat. 

Bagi saya KKN merupakan sarana belajar sebelum nanti akhirnya lulus, memilih melanjutkan pengalaman yang sudah diperoleh (jika waktu KKN sadar dan tidak sok pintar) atau melupakan semua yang sudah didapat, dan sama sekali tidak coba diaplikasikan dilingkungan sendiri, merasa bahwa ketika KKN artinya sudah melakukan pelunasan “kewajiban moral” sebagai calon sarjana, dan setelah lulus semakin jauh dari permasalahan masyarakat sendiri, jangankan ikut terlibat, sekedar mengamati dan memahami persoalan-persoalan mereka saja rasanya sudah tidak ada waktu, sibuk mengejar urusan dunia, menjadi budak untuk mencukupi kepentingan pribadi, sebelum kita sampai membantu menyelesaikan “sampah-sampah” yang bertebaran di lingkungan kaum bawah yang sering kita jadikan objek penelitian guna merampungkan tanggung jawab perkuliahan, “sampah-sampah” yang sudah dikaji di lingkungan sekolah, ya hanya dikaji dan tidak memberi sumbangan apa-apa selain memenuhi rak perpustakaan atau lenyap usai dana hibah penelitian habis untuk biaya meneliti “sampah” dan bersenang-senang memenuhi kesejahteraan pribadi maupun golongan.

            Silahkan menganggap tulisan saya ini sebagai opini dari mahasiswa kesiangan, maupun ­serat dari seorang “pujangga” yang mendarat pada jaman yang salah. Contoh-contoh kasus tersebut hanya satu gambaran dari kegagalan kita memahami tujuan untuk apa kita mencari ilmu. Ya, memang tidak semua harus seperti saya dan teman-teman yang teramat santai diusia kepala dua, usia dimana orang-orang berlari dan saling sikut dalam persaingan bursa kerja. Jika ditarik kembali pada pemahaman kami terhadap naskah “Cahaya dan Sampah”, menurut pendapat saya, mari kita sebagai mahasiswa berpikir ulang, dan dengan terbuka menyadari untuk apa kita sekolah di perguruan tinggi, kalau memang cari ijazah tidak perlu sok-sokan berunjuk rasa membela rakyat toh nanti kalau sudah jadi pejabat, masuk dalam “lingkaran setan” gantian kita yang didemo oleh mahasiswa di masa depan. 

Kalau ternyata lingkungan pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi terkesan seperti bisnis, itu tadi yang saya sebut an maksud peluang bisnis dan pemanfaatan golongan tertentu dari “ketakutan-ketakutan” orang memandang hari depan, tidak lain  akibat pikiran mereka telah ditanami segala macam kriteria kesejahteraan menurut ukuran jaman. Peluang bisnis itu berupa pembangunan tempat-tempat yang bisa menjadi “solusi” untuk mengatasinya, tentunya tidak gratis, sekalipun ada beasiswa, itu duit siapa juga? Dari mana? Mikir!!. Ya, tanpa sadar kita telah terjebak asas untung rugi, salah paham terhadap hakikat kuliah, menjadikannya jalan ingin sejahtera hidupnya di hari depan, rela membayar mahal sebatas menunggu waktu masuk dunia kerja. Bukankah kita sekolah dalam rangka mencukupi kebutuhan akan ilmu pengetahuan? Perkara kesejahteraan itu nasib orang dikemudian hari, ilmu bisa disalurkan kemana saja, tapi ijasah sudah pasti ke meja juragan.

            Catatan ini sebagai bentuk berbagi dari kami yang rata-rata juga masih menjadi mahasiswa, barangkali berguna bagi teman-teman yang lain, yang tidak sepakat boleh mendebat, tapi saya tidak akan menanggapi, sebab saya orang “bebal” yang tidak mau berdiskusi dengan orang yang beda pandangan, buang waktu tidak akan berakhir pada titik temu. Jadi mengapa kami rindu mementaskan kembali “Cahaya Dan Sampah”, ada yang kami peroleh dan barangkali berguna bagi yang lain, baik pementasan nantinya maupun tulisan-tulisan yang menyertainya untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Apalah artinya mengadakan pementasan jika pada internal kelompok saja tidak ada pembahasan terhadap wacana naskah yang sudah ditiketkan untuk ditawarkan kepada orang banyak (penonton), sekian, salam antagonis!!

Surakarta, 15 Maret 2018



Joko Pitono
Penggesek rebab di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment