Tuesday, 13 March 2018

TEATER SANDILARA : AKU BERKELOMPOK MAKA AKU ADA



Pada tulisan ini saya tidak akan membahas sejarah filsafat modern atau macam-macam aliran filsafat, bukan bidang saya, dulu hanya sempat mendengar beberapa macamnya waktu mengikuti mata kuliah filsafat umum, itu pun tidak dengan serius saya menyimak materi perkuliahan tersebut. Kembali pada judul, “aku berkelompok maka aku ada”, menjadi sebuah renungan bersama tentang keberadaan individu di dalam sebuah kelompok atau lingkungan yang memiliki maupun tidak memiliki tujuan khusus. Mengapa seseorang akhirnya memilih dengan siapa saja ia berkegiatan, bersama siapa saja ia akan melakukan segala hal yang menjadi arah cita-cita bersama. Menyadari dimana posisi dan kemana arah pandang kelompok.

Manusia sebagai makhluk sosial akan menjalin hubungan kerja sama dengan orang lain, rasanya sulit atau bahkan tidak mungkin dapat hidup sendiri, senantiasa memerlukan keberadaan orang lain untuk menunjang semua kebutuhan dan apa yang dicita-citakan olehnya. Bagi beberapa orang berkelompok juga bisa tergolong sebagai kebutuhan. Wacana dan gagasan tidak akan mungkin tersalurkan jika hanya mengendap di dalam pikiran sendiri. Minimal harus ada beberapa teman diskusi yang memiliki cara pandang seimbang tidak timpang terlalu jauh, setelah itu baru melakukan langkah-langkah awal sebagai realisasi obrolan cita-cita bersama tadi. Selain itu mengadakan suatu kegiatan secara berkelompok mustahil terwujud apabila individu-individu yang ada didalamnya biarpun satu orang saja belum menyelesaikan urusan-urusan pribadinya.

Pementasan pertama Teater Sandilara, 22 Desember 2013, di Desa Pabrik, Mojolaban, Sukoharjo


            Sebelum melanjutkan tulisan ini saya tidak peduli andai saja dianggap sebagai manusia egois atau hanya “meninggikan” pandangan kelompok sendiri. Tidak peduli dan itu bukan sebuah masalah. Hari ini memang lebih aman menjadi abu-abu, tidak hitam tidak putih, ubyang-ubyung, grudag-grudug, ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, waton manut, golek rai, numpang tampang, dan banyak lagi istilah-istilah sinis yang saya punya. Catatan ini saya tulis ditengah proses pementasan Teater Sandilara dengan naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib, sebagai bentuk rasa rasa syukur mendapati waktu-waktu yang indah, serta kawan-kawan terbaik yang terlibat bersama dalam pementasan kali ini. Di mata saya semua kawan yang terlibat adalah mereka yang sudah menyelesaikan urusan “sampah” di dalam diri mereka masing-masing, hingga akhirnya dapat berkumpul untuk mengadakan pementasan tanpa ada halangan persoalan remeh seperti yang pernah menimpa kami sebelumnya.


Berkelompok Sebagai Wadah Pemenuhan Eksistensi Diri

            Manusia tidak lepas pula dari pemenuhan eksistensi diri, kebutuhan abstrak yang terkadang tidak disadari, tidak dikenali dengan baik, akhirnya gagal memahami dirinya sendiri, tidak mampu mengendalikan diri, lalu gejolak dalam jiwanya tadi jika dibiarkan berlarut-larut tidak jarang menimbulkan persoalan baru. Misalnya mengakibatkan keberadaan individu tersebut menjadi “gangguan” bagi suatu lingkungan pergaulan, mengapa “gangguan”? karena kegagalan mengendalikan diri dalam hal pemenuhan eksistensi diri dapat memicu sikap pemaksaan kehendak, tidak mau mengamati dan mempertimbangkan kepentingan orang lain atau arah kerja bersama dalam suatu lingkungan, inginnya diperhatikan apa yang menjadi pendapat pribadinya tanpa mau mempelajari alur kelompok, memahami “gerak-gerik” tiap-tiap orang yang ada di lingkungan tersebut, apakah sebuah pemahaman pribadi yang ditawarkan mengenai banyak hal tadi diterima atau tidak oleh mereka yang terlibat dalam kegiatan bersama.

            Sederhana saja sebenarnya jika kita mau mencermati, dalam berkelompok pasti ada satu, dua atau tiga orang yang memiliki pengaruh kuat terhadap anggota lain, hal ini tidak dapat disangkal atau diingkari perihal alur sebuah kelompok kaitannya dengan beberapa orang yang diakui atau tidak memiliki pengaruh kuat tadi. Bisa jadi karena “kewibawaan” individu tersebut terbentuk akibat beberapa hal yang tidak atau belum dimiliki yang lain, setidaknya ada dua faktor menurut saya, pertama faktor kuantitas (lamanya masa keanggotaan) misalnya individu-individu jenis ini adalah para pendiri kelompok yang sudah membuat garis besar haluan suatu organisasi, atau yang berusia lebih lama dan dianggap mengetahui seluk beluk kelompok. Kemudian yang kedua adalah faktor alami, misalnya pengalaman dan laku (tetapi bukan soal seberapa lama orang tersebut menggeluti suatu bidang kegiatan dalam sebuah kelompok), sejauh mana wawasan dan tawaran pandangan yang jelas tentang arah dan tujuan kelompok, keahlian khusus yang dapat ditularkan kepada anggota lain, kemampuan “ngemong” atau merangkul rekan lain satu kelompok dalam urusan kerja maupun kehidupan pribadi, dan masih banyak lagi.

            Berkumpulnya individu-individu dalam rangka pemenuhan eksistensi diri akhirnya akan menjadi warna tersendiri dalam sebuah kelompok, menentukan bagaimana bentuknya dikemudian hari. Sebuah kelompok akan tetap mampu menjalankan apa yang menjadi tujuannya andaikan individu-individu yang terlibat sadar, sadar akan porsi dan posisinya setelah meyakini pilihan untuk menggabungkan diri pada suatu perkumpulan, bersedia meningkatkan pemahaman terhadap kelompok yang sudah dipilihnya tersebut, perihal watak masing-masing teman, adat kebiasaan, dan banyak lagi yang bisa diamati dan dijadikan pijakan untuk menjalani kehidupan berkelompok.

Sering terjadi kasus salah paham antar sesama anggota, tidak jarang menimbulkan perpecahan pada akhirnya, gagal menyelesaikan urusan sepele masalah mengatur waktu dan sebagainya, tidak ada keterbukaan dan kejujuran, menyembunyikan sikap abu-abu (ragu terhadap kelompok yang dipilihnya sendiri), atau merasa dirinya tidak lagi berguna di kelompok, memandang pendapatnya tidak diterima anggota lain, lalu menganggap Si A, Si B, Si C telah menancapkan pengaruhnya terlalu dalam pada kelompok tersebut. Jika pada akhirnya kasus semacam ini terjadi, beberapa orang dianggap mendominasi maka saya rasa itu adalah anggapan yang salah. Bukankah memang seperti itu yang wajar terjadi, akan ada pandangan yang diterima dan tidak diterima orang lain, jika saya berada pada posisi yang tidak lagi merasa nyaman dan tidak bisa menerima kenyataan ini maka sesegera mungkin akan angkat kaki, sederhana saja tidak perlu pusing, keluar lalu membuat kelompok baru yang dirasa pas dengan keinginan.


Jangan Merasa Dibutuhkan Di Dalam Kelompok, Tapi Merasa Membutuhkan Orang Lain Dalam Kelompok 

            Ketika kehidupan berkelompok telah menjadi kebutuhan, lama-lama mereka yang terlibat akan saling belajar mengerti dimana kedudukannya dalam kelompok (bagi yang sadar dan tidak sekadar ikut-ikutan). Tapi bukan berarti merasa pribadinya sebagai “orang penting”, meskipun sebenarnya keberadaanya cukup penting. Jika dipikir ulang, kemampuan diri, capaian-capaian teknis, pengalaman baru, pemahaman baru, pandangan dan segala wacana pribadi dapat terbentuk karena jasa orang-orang di dalam kelompok yang memberi peluang besar untuk individu tersebut berkembang.

            Saya berkelompok maka saya ada, keberadaan saya diketahui orang sebagai bagian dari kelompok ini, bahkan adik-adik saya di Keluarga Karawitan Kurawa tidak akan tetap berkumpul untuk latihan andaikan Teater Sandilara tidak ada. Semua rentetan-rentetan kronologi kehidupan berkesenian saya tidak lepas dari kawan-kawan di Teater Sandilara, mulai dari menjadi pemain saat menggarap naskah, saat saya menata iringan karawitan, bahkan buku kumpulan puisi “Petapa Kata” yang kemudian membuat saya “seolah-olah” menjadi penyair, merupakan produk bersama dari teman-teman, jika tidak ada wacana intensitas menulis puisi di Teater Sandilara, barangkali puisi-puisi saya sepanjang tahun 2017 tidak akan pernah ada.

            Tulisan ini sebagai catatan pribadi sekaligus ungkapan terimakasih kepada teman-teman satu kelompok, bagi saya Teater Sandilara yang sudah lima tahun berjalan dengan kawan-kawan yang ada dan pernah ada bersamanya merupakan rumah untuk saya pulang, sekaligus tempat buang sampah atas segala persoalan sehari-hari. Di sini teman-teman menerima keberadaan saya, memberi “tempat terhormat” yang tidak pernah saya dapat di lain tempat, memberi kepercayaan penuh untuk menjadi kawan baik bagi mereka. Saya akhirnya bisa mengenal dan dikenal orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal karena kawan-kawan di Teater Sandilara, saya bisa “jatuh cinta” dengan perempuan-perempuan baru yang mungkin tidak akan saya jumpai andai saja tidak bersama teman-teman di Teater Sandilara. Ya, hari ini untuk menyadari keberadaan rasanya tidak cukup hanya dengan berpikir, tapi juga perlu bersosialisasi dengan orang lain untuk membentuk kelompok yang memiliki kejelasan sikap dan arah tujuannya. Aku berkelompok maka aku ada, sebagaimana aku "mencintaimu" maka aku ada.


Surakarta, 13 Maret 2018


Joko Lelur
Mantri Carik di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment