Pada tulisan ini saya
tidak akan membahas sejarah filsafat modern atau macam-macam aliran filsafat,
bukan bidang saya, dulu hanya sempat mendengar beberapa macamnya waktu
mengikuti mata kuliah filsafat umum, itu pun tidak dengan serius saya menyimak
materi perkuliahan tersebut. Kembali pada judul, “aku berkelompok maka aku
ada”, menjadi sebuah renungan bersama tentang keberadaan individu di dalam
sebuah kelompok atau lingkungan yang memiliki maupun tidak memiliki tujuan khusus.
Mengapa seseorang akhirnya memilih dengan siapa saja ia berkegiatan, bersama
siapa saja ia akan melakukan segala hal yang menjadi arah cita-cita bersama. Menyadari
dimana posisi dan kemana arah pandang kelompok.
Manusia sebagai makhluk
sosial akan menjalin hubungan kerja sama dengan orang lain, rasanya sulit atau
bahkan tidak mungkin dapat hidup sendiri, senantiasa memerlukan keberadaan
orang lain untuk menunjang semua kebutuhan dan apa yang dicita-citakan olehnya.
Bagi beberapa orang berkelompok juga bisa tergolong sebagai kebutuhan. Wacana
dan gagasan tidak akan mungkin tersalurkan jika hanya mengendap di dalam
pikiran sendiri. Minimal harus ada beberapa teman diskusi yang memiliki cara
pandang seimbang tidak timpang terlalu jauh, setelah itu baru melakukan
langkah-langkah awal sebagai realisasi obrolan cita-cita bersama tadi. Selain itu
mengadakan suatu kegiatan secara berkelompok mustahil terwujud apabila
individu-individu yang ada didalamnya biarpun satu orang saja belum
menyelesaikan urusan-urusan pribadinya.
Pementasan pertama Teater Sandilara, 22 Desember 2013, di Desa Pabrik, Mojolaban, Sukoharjo |
Sebelum melanjutkan tulisan ini saya
tidak peduli andai saja dianggap sebagai manusia egois atau hanya “meninggikan”
pandangan kelompok sendiri. Tidak peduli dan itu bukan sebuah masalah. Hari ini
memang lebih aman menjadi abu-abu, tidak hitam tidak putih, ubyang-ubyung, grudag-grudug, ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, waton manut,
golek rai, numpang tampang, dan banyak lagi istilah-istilah sinis yang saya
punya. Catatan ini saya tulis ditengah proses pementasan Teater Sandilara
dengan naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib, sebagai bentuk rasa
rasa syukur mendapati waktu-waktu yang indah, serta kawan-kawan terbaik yang
terlibat bersama dalam pementasan kali ini. Di mata saya semua kawan yang
terlibat adalah mereka yang sudah menyelesaikan urusan “sampah” di dalam diri
mereka masing-masing, hingga akhirnya dapat berkumpul untuk mengadakan
pementasan tanpa ada halangan persoalan remeh seperti yang pernah menimpa kami
sebelumnya.
Berkelompok Sebagai Wadah Pemenuhan Eksistensi Diri
Manusia
tidak lepas pula dari pemenuhan eksistensi diri, kebutuhan abstrak yang
terkadang tidak disadari, tidak dikenali dengan baik, akhirnya gagal memahami
dirinya sendiri, tidak mampu mengendalikan diri, lalu gejolak dalam jiwanya
tadi jika dibiarkan berlarut-larut tidak jarang menimbulkan persoalan baru. Misalnya
mengakibatkan keberadaan individu tersebut menjadi “gangguan” bagi suatu
lingkungan pergaulan, mengapa “gangguan”? karena kegagalan mengendalikan diri dalam
hal pemenuhan eksistensi diri dapat memicu sikap pemaksaan kehendak, tidak mau
mengamati dan mempertimbangkan kepentingan orang lain atau arah kerja bersama dalam
suatu lingkungan, inginnya diperhatikan apa yang menjadi pendapat pribadinya
tanpa mau mempelajari alur kelompok, memahami “gerak-gerik” tiap-tiap orang yang
ada di lingkungan tersebut, apakah sebuah pemahaman pribadi yang ditawarkan
mengenai banyak hal tadi diterima atau tidak oleh mereka yang terlibat dalam
kegiatan bersama.
Sederhana
saja sebenarnya jika kita mau mencermati, dalam berkelompok pasti ada satu, dua
atau tiga orang yang memiliki pengaruh kuat terhadap anggota lain, hal ini
tidak dapat disangkal atau diingkari perihal alur sebuah kelompok kaitannya
dengan beberapa orang yang diakui atau tidak memiliki pengaruh kuat tadi. Bisa jadi
karena “kewibawaan” individu tersebut terbentuk akibat beberapa hal yang tidak atau
belum dimiliki yang lain, setidaknya ada dua faktor menurut saya, pertama faktor
kuantitas (lamanya masa keanggotaan) misalnya individu-individu jenis ini
adalah para pendiri kelompok yang sudah membuat garis besar haluan suatu
organisasi, atau yang berusia lebih lama dan dianggap mengetahui seluk beluk
kelompok. Kemudian yang kedua adalah faktor alami, misalnya pengalaman dan laku
(tetapi bukan soal seberapa lama orang tersebut menggeluti suatu bidang kegiatan
dalam sebuah kelompok), sejauh mana wawasan dan tawaran pandangan yang jelas
tentang arah dan tujuan kelompok, keahlian khusus yang dapat ditularkan kepada
anggota lain, kemampuan “ngemong”
atau merangkul rekan lain satu kelompok dalam urusan kerja maupun kehidupan
pribadi, dan masih banyak lagi.
Berkumpulnya
individu-individu dalam rangka pemenuhan eksistensi diri akhirnya akan menjadi
warna tersendiri dalam sebuah kelompok, menentukan bagaimana bentuknya
dikemudian hari. Sebuah kelompok akan tetap mampu menjalankan apa yang menjadi
tujuannya andaikan individu-individu yang terlibat sadar, sadar akan porsi dan
posisinya setelah meyakini pilihan untuk menggabungkan diri pada suatu
perkumpulan, bersedia meningkatkan pemahaman terhadap kelompok yang sudah
dipilihnya tersebut, perihal watak masing-masing teman, adat kebiasaan, dan
banyak lagi yang bisa diamati dan dijadikan pijakan untuk menjalani kehidupan
berkelompok.
Sering terjadi kasus salah
paham antar sesama anggota, tidak jarang menimbulkan perpecahan pada akhirnya,
gagal menyelesaikan urusan sepele masalah mengatur waktu dan sebagainya, tidak
ada keterbukaan dan kejujuran, menyembunyikan sikap abu-abu (ragu terhadap kelompok yang dipilihnya sendiri), atau
merasa dirinya tidak lagi berguna di kelompok, memandang pendapatnya tidak
diterima anggota lain, lalu menganggap Si A, Si B, Si C telah menancapkan
pengaruhnya terlalu dalam pada kelompok tersebut. Jika pada akhirnya kasus
semacam ini terjadi, beberapa orang dianggap mendominasi maka saya rasa itu adalah
anggapan yang salah. Bukankah memang seperti itu yang wajar terjadi, akan ada
pandangan yang diterima dan tidak diterima orang lain, jika saya berada pada
posisi yang tidak lagi merasa nyaman dan tidak bisa menerima kenyataan ini maka
sesegera mungkin akan angkat kaki, sederhana saja tidak perlu pusing, keluar
lalu membuat kelompok baru yang dirasa pas dengan keinginan.
Jangan Merasa Dibutuhkan Di Dalam Kelompok, Tapi Merasa Membutuhkan Orang
Lain Dalam Kelompok
Ketika
kehidupan berkelompok telah menjadi kebutuhan, lama-lama mereka yang terlibat
akan saling belajar mengerti dimana kedudukannya dalam kelompok (bagi yang
sadar dan tidak sekadar ikut-ikutan). Tapi bukan berarti merasa pribadinya
sebagai “orang penting”, meskipun sebenarnya keberadaanya cukup penting. Jika dipikir
ulang, kemampuan diri, capaian-capaian teknis, pengalaman baru, pemahaman baru,
pandangan dan segala wacana pribadi dapat terbentuk karena jasa orang-orang di dalam
kelompok yang memberi peluang besar untuk individu tersebut berkembang.
Saya
berkelompok maka saya ada, keberadaan saya diketahui orang sebagai bagian dari
kelompok ini, bahkan adik-adik saya di Keluarga Karawitan Kurawa tidak akan tetap
berkumpul untuk latihan andaikan Teater Sandilara tidak ada. Semua rentetan-rentetan
kronologi kehidupan berkesenian saya tidak lepas dari kawan-kawan di Teater
Sandilara, mulai dari menjadi pemain saat menggarap naskah, saat saya menata
iringan karawitan, bahkan buku kumpulan puisi “Petapa Kata” yang kemudian
membuat saya “seolah-olah” menjadi penyair, merupakan produk bersama dari
teman-teman, jika tidak ada wacana intensitas menulis puisi di Teater
Sandilara, barangkali puisi-puisi saya sepanjang tahun 2017 tidak akan pernah
ada.
Tulisan
ini sebagai catatan pribadi sekaligus ungkapan terimakasih kepada teman-teman
satu kelompok, bagi saya Teater Sandilara yang sudah lima tahun berjalan dengan
kawan-kawan yang ada dan pernah ada bersamanya merupakan rumah untuk saya
pulang, sekaligus tempat buang sampah atas segala persoalan sehari-hari. Di sini
teman-teman menerima keberadaan saya, memberi “tempat terhormat” yang tidak pernah
saya dapat di lain tempat, memberi kepercayaan penuh untuk menjadi kawan baik bagi
mereka. Saya akhirnya bisa mengenal dan dikenal orang-orang yang sebelumnya
tidak saya kenal karena kawan-kawan di Teater Sandilara, saya bisa “jatuh cinta”
dengan perempuan-perempuan baru yang mungkin tidak akan saya jumpai andai saja
tidak bersama teman-teman di Teater Sandilara. Ya, hari ini untuk menyadari
keberadaan rasanya tidak cukup hanya dengan berpikir, tapi juga perlu bersosialisasi dengan
orang lain untuk membentuk kelompok yang memiliki kejelasan sikap dan arah tujuannya. Aku berkelompok maka aku ada, sebagaimana aku "mencintaimu" maka aku
ada.
Surakarta, 13 Maret 2018
Joko Lelur
Mantri
Carik di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment