Sebagai manusia semestinya kita sadar ketika melakukan suatu
perbuatan, memilih menggabungkan diri pada suatu perkumpulan, jika memang waras
pastinya individu-individu yang berada dalam satu komunitas tersebut akan
belajar memahami sebuah kegiatan, perlunya sesuatu diselenggarakan, atau
minimal berusaha mengerti sedang melakukan apa, dalam rangka apa, bersama siapa
saja, wataknya masing-masing seperti apa. Pada hal ini latihan karawitan yang
akan saya tulis berdasarkan kenyataan di depan mata saya dan telah diolah oleh
otak saya yang sangat subyektif ini.
Sebelum membaca lebih lanjut ada baiknya saya sarankan untuk
menganggap tulisan ini sebagai opini pribadi, bilamana perlu anggap saja ini
karangan belaka, karena tidak ada waktu bagi saya melayani debat kusir, waktu
saya teramat berharga untuk berbicara dengan orang-orang yang berbeda
pemikiran, tidak ada ruginya bagi saya apapun pandangan orang terhadap cara
saya melihat sebuah fenomena.
Banyak dari kita ketika menemui suatu
perkara yang tidak ideal dengan pikiran, kadang tanpa sadar lantas menyebut
seperti ini “itu sangat subyektif dan
saya tidak cocok dengan cara-cara di tempat itu”. Tunggu dulu, ini bukan
masalah benar salah metode, baik buruk cara penyampaian, tapi bukankah setiap
kepala memiliki pola idealnya sendiri, masalahnya adalah ketika memutuskan
melakukan suatu kegiatan bersama, terlebih ketika membentuk sebuah perkumpulan
atau kelompok, banyak motif yang bisa disampaikan lewat ucapan mulut dan
didengar orang lain, tapi itu bukan jaminan seseorang itu benar-benar paham
atau tidak, seiring berjalannya waktu segala sesuatu akan terlihat hasil
akhirnya. Tidak ada riwayat demi menyelamatkan seekor kambing Sang Kurupati
rela mengorbankan gajah Kyai Pamuk. Sederhana saja sebenarnya, kalau merasa
tidak cocok dan kurang nyaman maka tidak perlu ikut, ambil bagian dibidang
lain, atau kegiatan lain, bilaman perlu pindah ke kumpulan lain, gampangkan?
Kawan saya yang sutradara, sekaligus penulis naskah, pemain,
dan menangani bidang lain-lain di Teater Sandilara pernah berkata demikian, “kalau dipikir dan diakui dengan jujur,
sebenarnya tidak ada obyektifitas, adanya subyektifitas besar atau kumpulan
subyektifitas-subyektifitas kecil yang kebetulan sama, lalu seolah-olah menjadi
obyektifitas yang akhirnya menghegemoni individu-individu lain, yang cocok akan
bergabung, yang lemah pendiriannya mudah dipengaruhi, yang bebal akan mendebat
tanpa nalar”
Rasanya kurang atau tidak bijaksana kalau sampai
membandingkan antara martabak dan pizza, baik soal rasa maupun cara pembuatan, kemudian
menilai hasil perbandingan dengan mengunggulkan dan meninggikan satu dari yang lain.
Kasus semacam ini tidak lain karena kegagalan seseorang dalam beradaptasi,
kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, belum memiliki usaha mendengar
orang lain, masih ingin menonjol secara individu. Ya, apapun itu terlepas dari
kenyataan-kenyataan tersebut adalah menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak
"buta rasa" seperti istilah yang dipakai pak Gendhon Humardani.
Bermain Bukan Berarti Main-main
Saya beri judul bermain bukan
berarti main-main. Pada kenyataannya kita tidak bisa membedakan antara bermain
dan main-main. Menurut cerita pengrawit-pengrawit sepuh yang pernah saya temui
dibeberapa tempat, ada beberapa adab atau tepatnya aturan tidak tertulis bagi
mereka ketika menabuh gamelan. Bisa jadi aturan itu bersifat lokal, untuk satu
kelompok atau satu daerah tertentu. Misalnya seperti, memberi bunga pada
gamelan, meletakkan sesaji pada hari-hari tertentu, tidak dibenarkan
membunyikan instrumen sendirian jika belum waktunya sebuah gending dimainkan,
tidak boleh melangkahi gamelan dan masih banyak lagi. Sedangkan aturan tidak
tertulis soal musikal, dan tentunya itu menjadi hal paling mendasar, bukan lagi
sekedar aturan tapi memang sudah menjadi asas karawitan tradisi, antara lain:
berusaha mengendalikan diri untuk mengatur ukuran keras lirih pukulan agar
selaras dengan yang lain, menyimak tabuhan instrumen lain yang bertugas
mengatur irama dan alur lagu, mengerti kapan “jatahnya” menabuh (tahu pola
permainan instrumen yang dimainkannya), tidak berbicara sendiri saat gamelan
berbunyi, diam dan konsentrasi menyimak pada bagian ompak untuk yang bertugas sebagai penggerong atau vokal, dan masih banyak lagi untuk diceritakan,
tapi tidak akan mungkin dipahami oleh orang yang berada diluar lingkungan ini
atau yang tidak berselera menikmatinya.
Latihan karawitan di Tanggul
bolehlah kalau memang dianggap sebatas rutinitas bukan intensitas, karena saya
juga kurang tahu dimana perlunya pembedaan istilah ini. Latihan ya latihan,
santai tapi tetap tertib sesuai aturan main, begitu saja sudah selesai perkara.
Kepada mereka yang mempercayai saya untuk menjalankan kegiatan ini, saya hanya
berkata “modal utamanya senang, kalau
sudah senang jalani saja seperti anak-anak kecil yang sedang bermain”. Sengaja
dibuat santai agar tidak merasa berat dan takut belajar gamelan, di hari ini
ada anak-anak muda mau berkumpul bersama, datang dari berbagai tempat untuk
latihan karawitan merupakan anugerah tersendiri, terlebih lagi tidak ada motif
pentas atau motif mencari nafkah.
Banyak dari kita yang kurang atau
belum akrab dengan karawitan. Terbukti saat latihan di Tanggul, sewaktu teman-teman
menyuarakan tembang-tembang dengan sistem tangga nada slendro – pelog atau yang
disebut pentatonis ternyata lebih sulit apabila dibandingkan dengan menyanyikan
lagu pop yang diatonis itu. Jika kita tarik riwayat, dugaan sementara
mengatakan bahwa telinga kita memang sudah tidak akrab dengan sistem nada milik
nenek moyang kita sendiri. Ironis memang kenyataan ini, tapi faktanya memang
seperti itu. Sebelum ada latihan karawitan di Tanggul Budaya pernah ada juga
nembang macapat, pada waktu itu setengah mati teman-teman berusaha latihan
menirukan apa yang sudah di contohkan Mbak Lestari Cempluk, perkembangan tiap
individu juga berbeda, awalnya saya tidak merasakan itu, lama-lama saya
mengetahui dari masing-masing teman, mereka yang lumayan bisa adalah mereka
yang mau mendengarkan rekaman waktu latihan dan/atau yang mencoba latihan
sendiri di rumah. Pada kasus latihan karawitan rasanya bisa menjadi sebuah
langkah awal untuk menampung dulu mereka yang berminat, membiarkan manabuh
sebisanya, sedikit demi sedikit ditingkatkan. Kalau sudah senang diberi
pengertian untuk semakin akrab terhadap barang yang katanya disenanginya itu.
Jadi ibarat anak kecil yang sedang
bermain, pastilah mereka itu lebih dulu senang terhadap mainan yang sedang
dimainkannya bersama teman-teman, tapi pernahkah anda mengamati? Apakah mereka
itu bersikap main-main ketika bermain, maksudnya memainkan suatu permainan
dengan asal-asalan atau semaunya. Contoh, ada sekumpulan anak sedang bermain
petak umpet, tentu dalam petak umpet ada aturan main yang membedakan dengan
jenis permainan anak lainnya, kalau ada yang curang bisa dihajar yang lain,
maka aturan main menjadi hukum atau batas-batas tindakan dalam sebuah
permainan. Petak umpet lain aturan dengan lompat tali, lompat tali lain aturan
dengan main kelereng, dan lain-lain yang pasti lain aturan main. Semua itu
bukankah hal yang juga mendasar dan harusnya bisa dipahami dengan gampang.
Belajar Memahami Kebersamaan Dan
Berlatih Mengendalikan Diri
Pola-pola tabuhan tiap instrumen dapat
secara lahir disampaikan seperti pada jenis musik lain, diajarkan, diceritakan
teori-teorinya, tapi soal keras lirih pukulan, perubahan tempo yang tidak
terduga tempatnya, spontanitas respon musikal tiap instrumen atas perlakuan
instrumen lain, dan masih banyak lagi yang hanya dapat dijumpai ketika manabuh
bersama. Jika urusan teknis sudah selesai dijelaskan, alangkah menyenangkan
bagi mereka (yang senang dan paham karena sadar), bahwa ternyata ada
kejutan-kejutan ditengah permainan, perasaan tertentu yang dapat dirasakan tapi
tidak dapat diistilahkan secara bahasa. Fenomena seperti inilah yang saya
tunggu, dapat berbagi pengalaman meski kadang tidak sama, kalau masih berkutat
pada urusan teknis terus tidak bedanya dengan robot yang hanya menjalankan
sistem terprogram, padahal sudah setengah tahun lebih latihan diadakan bahkan
jarang libur, kalau kasusnya demikian rasanya mulai perlu dipertanyakan juga,
ada apa gerangan bisa terjadi?
Terkadang saya yang hidupnya
serampangan ini hanya ingin membuktikan, kok banyak yang berkata, bahwa melalui
gamelan orang bisa belajar keselarasan dalam menjalani hidup, apa karena bunyi
gending-gendingnya? Apa karena gamelannya memiliki daya magis? Besi bertuah? Gendingnya
keramat? Ternyata ada hal lain yang lebih gampang disadari dan dilihat. Pada
latihan gamelan kita harus sabar menunggu jika ada seorang teman yang belum paham
dan bisa menabuh, jika dilanjutkan tentunya akan cacat ditengah jalan, yang
semula sudah bagus jadi tidak enak. Kedua belah pihak baik yang sudah bisa
maupun yang belum bisa pada saat seperti ini harus tahu diri, pihak pertama
harus sabar menunggu dan yang tertinggal ya jangan terus semaunya, harus segera
mengejar, jika sudah sama-sama paham perjalanan sebuah gending akan
menyenangkan. Mempertimbangkan juga teman yang lain pada saat memilih gending
apa, tidak memaksakan diri untuk selalu mengulangi satu dua lagu yang
disenanginya, atau memilih lagu yang teman lainnya belum bisa memainkan, itu lebih
tidak bijaksana lagi.
Saya sepenuhnya menyadari, jika ada kekurangan soal warna garapan, materi latihan, cara penyampaian
juga bagaimana jalannya rutinitas ini adalah kesalahan dan keterbatasan saya,
mengingat kawan-kawan masih belajar menyukai dan memahami karawitan, barangkali
bisa lebih baik jika dilatih oleh orang-orang hebat dibidang karawitan. Walau demikian
saya percaya, biarpun rutinitas, tapi seiring berjalannya waktu sebuah kelompok
latihan akan menemukan warnanya sendiri. Memang memakan waktu dan kesabaran,
itupun bukan menjadi sebuah jaminan.
Mas Bei pernah berkata kepada saya, “diamlah saja kalau cara pandangmu itu tidak
diterima, toh hari ini orang tidak tahu slendro pelog tidak akan mati, tidak
bisa main gamelan pun tidak akan mempengaruhi hidupnya, nabuh gamelan seenaknya
juga tidak akan mendapat dosa, kamu tidak perlu mati-matian menjelaskan pada
mereka yang memang bebal. Memang memakan waktu lama, wong ya tujuannya kan
untuk mencoba akrab dan memahami, bukan dikejar setoran untuk pentas, sedangkan
mereka yang senang dan sejalan biar mereka mencari sendiri pengalaman batin dan
kesan latihan bersama, suatu saat mereka akan mengungkapkan sendiri, kamu cukup
menyampaikan sekedarnya saja, teknis-teknis yang terlihat mata, kalau kamu
dekte atau ceritakan pengalaman rasamu mereka hanya akan jadi keledai pengekor,
sementara yang bebal akan mendebat dengan kacamata dari luar lingkungan yang
sudah kamu usahakan demi kebaikan bersama”.
Surakarta, 8 Maret 2018
Joko Pitono
Pengageng di keluarga Karawitan
Kurawa
No comments:
Post a Comment