Thursday, 8 March 2018

RUTINITAS NABUH GAMELAN DI TANGGUL BUDAYA SURAKARTA : “BERMAIN BUKAN BERARTI MAIN-MAIN”



Sebagai manusia semestinya kita sadar ketika melakukan suatu perbuatan, memilih menggabungkan diri pada suatu perkumpulan, jika memang waras pastinya individu-individu yang berada dalam satu komunitas tersebut akan belajar memahami sebuah kegiatan, perlunya sesuatu diselenggarakan, atau minimal berusaha mengerti sedang melakukan apa, dalam rangka apa, bersama siapa saja, wataknya masing-masing seperti apa. Pada hal ini latihan karawitan yang akan saya tulis berdasarkan kenyataan di depan mata saya dan telah diolah oleh otak saya yang sangat subyektif ini.

Sebelum membaca lebih lanjut ada baiknya saya sarankan untuk menganggap tulisan ini sebagai opini pribadi, bilamana perlu anggap saja ini karangan belaka, karena tidak ada waktu bagi saya melayani debat kusir, waktu saya teramat berharga untuk berbicara dengan orang-orang yang berbeda pemikiran, tidak ada ruginya bagi saya apapun pandangan orang terhadap cara saya melihat sebuah fenomena.

            Banyak dari kita ketika menemui suatu perkara yang tidak ideal dengan pikiran, kadang tanpa sadar lantas menyebut seperti ini “itu sangat subyektif dan saya tidak cocok dengan cara-cara di tempat itu”. Tunggu dulu, ini bukan masalah benar salah metode, baik buruk cara penyampaian, tapi bukankah setiap kepala memiliki pola idealnya sendiri, masalahnya adalah ketika memutuskan melakukan suatu kegiatan bersama, terlebih ketika membentuk sebuah perkumpulan atau kelompok, banyak motif yang bisa disampaikan lewat ucapan mulut dan didengar orang lain, tapi itu bukan jaminan seseorang itu benar-benar paham atau tidak, seiring berjalannya waktu segala sesuatu akan terlihat hasil akhirnya. Tidak ada riwayat demi menyelamatkan seekor kambing Sang Kurupati rela mengorbankan gajah Kyai Pamuk. Sederhana saja sebenarnya, kalau merasa tidak cocok dan kurang nyaman maka tidak perlu ikut, ambil bagian dibidang lain, atau kegiatan lain, bilaman perlu pindah ke kumpulan lain, gampangkan?

Kawan saya yang sutradara, sekaligus penulis naskah, pemain, dan menangani bidang lain-lain di Teater Sandilara pernah berkata demikian, “kalau dipikir dan diakui dengan jujur, sebenarnya tidak ada obyektifitas, adanya subyektifitas besar atau kumpulan subyektifitas-subyektifitas kecil yang kebetulan sama, lalu seolah-olah menjadi obyektifitas yang akhirnya menghegemoni individu-individu lain, yang cocok akan bergabung, yang lemah pendiriannya mudah dipengaruhi, yang bebal akan mendebat tanpa nalar”

Rasanya kurang atau tidak bijaksana kalau sampai membandingkan antara martabak dan pizza, baik soal rasa maupun cara pembuatan, kemudian menilai hasil perbandingan dengan mengunggulkan dan meninggikan satu dari yang lain. Kasus semacam ini tidak lain karena kegagalan seseorang dalam beradaptasi, kurang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, belum memiliki usaha mendengar orang lain, masih ingin menonjol secara individu. Ya, apapun itu terlepas dari kenyataan-kenyataan tersebut adalah menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak "buta rasa" seperti istilah yang dipakai pak Gendhon Humardani.


Bermain Bukan Berarti Main-main

            Saya beri judul bermain bukan berarti main-main. Pada kenyataannya kita tidak bisa membedakan antara bermain dan main-main. Menurut cerita pengrawit-pengrawit sepuh yang pernah saya temui dibeberapa tempat, ada beberapa adab atau tepatnya aturan tidak tertulis bagi mereka ketika menabuh gamelan. Bisa jadi aturan itu bersifat lokal, untuk satu kelompok atau satu daerah tertentu. Misalnya seperti, memberi bunga pada gamelan, meletakkan sesaji pada hari-hari tertentu, tidak dibenarkan membunyikan instrumen sendirian jika belum waktunya sebuah gending dimainkan, tidak boleh melangkahi gamelan dan masih banyak lagi. Sedangkan aturan tidak tertulis soal musikal, dan tentunya itu menjadi hal paling mendasar, bukan lagi sekedar aturan tapi memang sudah menjadi asas karawitan tradisi, antara lain: berusaha mengendalikan diri untuk mengatur ukuran keras lirih pukulan agar selaras dengan yang lain, menyimak tabuhan instrumen lain yang bertugas mengatur irama dan alur lagu, mengerti kapan “jatahnya” menabuh (tahu pola permainan instrumen yang dimainkannya), tidak berbicara sendiri saat gamelan berbunyi, diam dan konsentrasi menyimak pada bagian ompak untuk yang bertugas sebagai penggerong atau vokal, dan masih banyak lagi untuk diceritakan, tapi tidak akan mungkin dipahami oleh orang yang berada diluar lingkungan ini atau yang tidak berselera menikmatinya.

            Latihan karawitan di Tanggul bolehlah kalau memang dianggap sebatas rutinitas bukan intensitas, karena saya juga kurang tahu dimana perlunya pembedaan istilah ini. Latihan ya latihan, santai tapi tetap tertib sesuai aturan main, begitu saja sudah selesai perkara. Kepada mereka yang mempercayai saya untuk menjalankan kegiatan ini, saya hanya berkata “modal utamanya senang, kalau sudah senang jalani saja seperti anak-anak kecil yang sedang bermain”. Sengaja dibuat santai agar tidak merasa berat dan takut belajar gamelan, di hari ini ada anak-anak muda mau berkumpul bersama, datang dari berbagai tempat untuk latihan karawitan merupakan anugerah tersendiri, terlebih lagi tidak ada motif pentas atau motif mencari nafkah.
           

            Banyak dari kita yang kurang atau belum akrab dengan karawitan. Terbukti saat latihan di Tanggul, sewaktu teman-teman menyuarakan tembang-tembang dengan sistem tangga nada slendro – pelog atau yang disebut pentatonis ternyata lebih sulit apabila dibandingkan dengan menyanyikan lagu pop yang diatonis itu. Jika kita tarik riwayat, dugaan sementara mengatakan bahwa telinga kita memang sudah tidak akrab dengan sistem nada milik nenek moyang kita sendiri. Ironis memang kenyataan ini, tapi faktanya memang seperti itu. Sebelum ada latihan karawitan di Tanggul Budaya pernah ada juga nembang macapat, pada waktu itu setengah mati teman-teman berusaha latihan menirukan apa yang sudah di contohkan Mbak Lestari Cempluk, perkembangan tiap individu juga berbeda, awalnya saya tidak merasakan itu, lama-lama saya mengetahui dari masing-masing teman, mereka yang lumayan bisa adalah mereka yang mau mendengarkan rekaman waktu latihan dan/atau yang mencoba latihan sendiri di rumah. Pada kasus latihan karawitan rasanya bisa menjadi sebuah langkah awal untuk menampung dulu mereka yang berminat, membiarkan manabuh sebisanya, sedikit demi sedikit ditingkatkan. Kalau sudah senang diberi pengertian untuk semakin akrab terhadap barang yang katanya disenanginya itu.



            Jadi ibarat anak kecil yang sedang bermain, pastilah mereka itu lebih dulu senang terhadap mainan yang sedang dimainkannya bersama teman-teman, tapi pernahkah anda mengamati? Apakah mereka itu bersikap main-main ketika bermain, maksudnya memainkan suatu permainan dengan asal-asalan atau semaunya. Contoh, ada sekumpulan anak sedang bermain petak umpet, tentu dalam petak umpet ada aturan main yang membedakan dengan jenis permainan anak lainnya, kalau ada yang curang bisa dihajar yang lain, maka aturan main menjadi hukum atau batas-batas tindakan dalam sebuah permainan. Petak umpet lain aturan dengan lompat tali, lompat tali lain aturan dengan main kelereng, dan lain-lain yang pasti lain aturan main. Semua itu bukankah hal yang juga mendasar dan harusnya bisa dipahami dengan gampang.


           
Belajar Memahami Kebersamaan Dan Berlatih Mengendalikan Diri

            Pola-pola tabuhan tiap instrumen dapat secara lahir disampaikan seperti pada jenis musik lain, diajarkan, diceritakan teori-teorinya, tapi soal keras lirih pukulan, perubahan tempo yang tidak terduga tempatnya, spontanitas respon musikal tiap instrumen atas perlakuan instrumen lain, dan masih banyak lagi yang hanya dapat dijumpai ketika manabuh bersama. Jika urusan teknis sudah selesai dijelaskan, alangkah menyenangkan bagi mereka (yang senang dan paham karena sadar), bahwa ternyata ada kejutan-kejutan ditengah permainan, perasaan tertentu yang dapat dirasakan tapi tidak dapat diistilahkan secara bahasa. Fenomena seperti inilah yang saya tunggu, dapat berbagi pengalaman meski kadang tidak sama, kalau masih berkutat pada urusan teknis terus tidak bedanya dengan robot yang hanya menjalankan sistem terprogram, padahal sudah setengah tahun lebih latihan diadakan bahkan jarang libur, kalau kasusnya demikian rasanya mulai perlu dipertanyakan juga, ada apa gerangan bisa terjadi?

            Terkadang saya yang hidupnya serampangan ini hanya ingin membuktikan, kok banyak yang berkata, bahwa melalui gamelan orang bisa belajar keselarasan dalam menjalani hidup, apa karena bunyi gending-gendingnya? Apa karena gamelannya memiliki daya magis? Besi bertuah? Gendingnya keramat? Ternyata ada hal lain yang lebih gampang disadari dan dilihat. Pada latihan gamelan kita harus sabar menunggu jika ada seorang teman yang belum paham dan bisa menabuh, jika dilanjutkan tentunya akan cacat ditengah jalan, yang semula sudah bagus jadi tidak enak. Kedua belah pihak baik yang sudah bisa maupun yang belum bisa pada saat seperti ini harus tahu diri, pihak pertama harus sabar menunggu dan yang tertinggal ya jangan terus semaunya, harus segera mengejar, jika sudah sama-sama paham perjalanan sebuah gending akan menyenangkan. Mempertimbangkan juga teman yang lain pada saat memilih gending apa, tidak memaksakan diri untuk selalu mengulangi satu dua lagu yang disenanginya, atau memilih lagu yang teman lainnya belum bisa memainkan, itu lebih tidak bijaksana lagi.

Saya sepenuhnya menyadari, jika ada kekurangan soal warna garapan, materi latihan, cara penyampaian juga bagaimana jalannya rutinitas ini adalah kesalahan dan keterbatasan saya, mengingat kawan-kawan masih belajar menyukai dan memahami karawitan, barangkali bisa lebih baik jika dilatih oleh orang-orang hebat dibidang karawitan. Walau demikian saya percaya, biarpun rutinitas, tapi seiring berjalannya waktu sebuah kelompok latihan akan menemukan warnanya sendiri. Memang memakan waktu dan kesabaran, itupun bukan menjadi sebuah jaminan.

           
            Mas Bei pernah berkata kepada saya, “diamlah saja kalau cara pandangmu itu tidak diterima, toh hari ini orang tidak tahu slendro pelog tidak akan mati, tidak bisa main gamelan pun tidak akan mempengaruhi hidupnya, nabuh gamelan seenaknya juga tidak akan mendapat dosa, kamu tidak perlu mati-matian menjelaskan pada mereka yang memang bebal. Memang memakan waktu lama, wong ya tujuannya kan untuk mencoba akrab dan memahami, bukan dikejar setoran untuk pentas, sedangkan mereka yang senang dan sejalan biar mereka mencari sendiri pengalaman batin dan kesan latihan bersama, suatu saat mereka akan mengungkapkan sendiri, kamu cukup menyampaikan sekedarnya saja, teknis-teknis yang terlihat mata, kalau kamu dekte atau ceritakan pengalaman rasamu mereka hanya akan jadi keledai pengekor, sementara yang bebal akan mendebat dengan kacamata dari luar lingkungan yang sudah kamu usahakan demi kebaikan bersama”.


Surakarta, 8 Maret 2018



Joko Pitono
Pengageng di keluarga Karawitan Kurawa

No comments:

Post a Comment