Belakangan ini saya sering menemui
kasus yang cukup menarik, meski sebenarnya tidak terlalu mengusik telinga saya
yang peka dan sensitif terhadap segala “gangguan”, tidak juga membuat
kegiatan-kegiatan yang saya dan teman-teman jalani menjadi terhambat, sejauh
ini aman-aman saja, sebab mereka juga “bebal” dan kebetulan jenis “bebal”-nya
sama dengan jenis “bebal” yang saya miliki, sehingga saya tidak perlu menulari
mereka “penyakit bebal” untuk sekedar mendapat teman yang akan saling
menguatkan satu sama lain dalam menjaga “kebebalan”.
Kami sadar bahwa secara umur
masih cukup muda untuk tergesa-gesa memberi label atau merombak bentuk-bentuk
kesenian tradisi, misalnya macapat, santiswara, karawitan yang selama ini coba
kami pelajari bersama. Bentuk fisiknya saja kami belum sepenuhnya kenal dan
akrab, esensi-esensinya masih ingin kami cari lagi. Membedakan antara slendro –
pelog yang merupakan sistem nada musik tradisi saja kami masih bingung, belum
lagi pathet-nya, macam-macam macapat belum banyak kenal, apalagi ragam cengkok-cengkoknya,
terlebih lagi dari segi sastra yang menjadi isi dari macapat itu sendiri yang
menurut saya adalah “wadah”, tempat memuat ajaran atau informasi dari
penulisnya yang dihimpun dalam serat-serat. Meskipun di hari ini banyak yang
melewatkan unsur-unsur itu, atau kalau kita “menerjangnya” juga tidak akan
berdosa pada siapa-siapa. Tapi bagi kami berjalan lamban seperti kerbau adalah
pilihan sambil menunggu tanduk tumbuh cukup kuat, jika tidak patah lebih dulu
atau mati muda dipanggil tuhan, daripada tergesa-gesa berlagak seperti macan
tapi ompong apa gunanya? tidak pernah mau mengasah taring, apa yang mau
dikoyak?
Keluarga Karawitan Kurawa di sanggar Kenthoet-Roedjito |
Berapa tahun Ki
Nartosabdho dan seniman-seniman terkemuka lainnya menemukan bentuk yang khas untuk
diri dan kelompoknya? Kita sering dengan gampang menyebut atau mencontohkan
tokoh-tokoh fenomenal, berkarakter, khas, memunculkan bentuk kontemporer dijamannya,
dan banyak kalimat-kalimat lain yang sering terlontar. Tapi pernahkah kita
melihat ulang atau mencermati bagaimana proses panjang mereka? Bagaimana cara
mereka mencari esensi atau ruh dari apa yang kita sebut kesenian tradisi? Apa
saja proses yang mereka lakukan baik secara individu maupun kelompok? Bagaimana
mereka senantiasa menjaga laboratorium dan kebersamaan para anggotanya? Hingga
akhirnya mereka menemukan bentuk dan tanpa kehilangan “roh” tradisnya, karya-karya
mereka senantiasa dikenang masyarakat luas, tetap bisa dinikmati dan dipelajari
dari generasi ke generasi.
Menjalani kehidupan
sehari-hari, berkumpul di tengah orang banyak tentunya akan menjumpai banyak
pandangan yang kadang bertolak belakang, pemikiran yang berbeda, pendapat yang
tidak sama, dan selera yang berlainan. Apalagi di dunia seni, sepanjang “karir”
berkesenian saya mulai dari bermain band, menulis puisi, menabuh gamelan,
terlibat teater dan beberapa jenis kesenian lain yang pernah saya ikuti, selalu
saja ada dan tidak pernah lepas dari “penghakiman” pihak lain sebagaimana saya
terkadang juga melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Sok-sokan
mengkritik dengan tanpa menguasai teori-teori, tanpa tahu banyak bidang yang
saya tulis.
Tapi apapun itu yang
terpenting saya berani mengakui, menjunjung tinggi kejujuran dan
“subjektifitas” diri, bukan dalam rangka mengkampanyekan “kebenaran”, merasa
diri dan kelompok adalah pihak yang paling baik, tetapi sekedar untuk
memperjelas “posisi duduk” dan menawarkan “tempat duduk” kepada mereka yang
nanti barangkali memiliki keinginan untuk “duduk” dan berbincang bersama kami.
Kalaupun tidak ada yang berminat, setidaknya kita tidak perlu ikut rebutan “kursi
kehormatan”, hanya demi meraih keuntungan materi dan diakui oleh orang lain
sebagai manusia unggul, sebab untuk “duduk” tidak harus di “kursi”, di mana pun
boleh asal tidak menjadikan kepala orang-orang sebagai jalan memperoleh
kedudukan strategis.
Saya pribadi dan kelompok
tidak pernah mempersoalkan, apakah kami ini terjebak dalam kegiatan memelihara
“kasur tua”, sebenarnya kami tanpa bekal yang cukup kuat juga untuk tetap
merawatnya, lalu “menempelkan” pada pementasan kami, atau kami sedang berusaha melakukan
pengembangan dan pengemasan ulang atas apa yang sering kita sebut bentuk lama
atau produk-produk kesenian tradisi, tujuannya agar relevan dengan jaman
sekarang, “kontemporer” bahasa yang populer karena sering mondar-mandir
ditelinga saya beberapa waktu belakangan. Saya beri tanda kutip sebab saya
masih ragu tentang definisi kontemporer menurut mereka yang sebenarnya seperti apa, mereka yang pernah mengucapkan kata
itu dalam serangkaian kalimat menuju telinga saya.
Beda Tipis Antara Kontemporer, Ngawur, Entertain, dan Pengikut Pasar
Ada kecurigaan didalam diri saya,
bahwa definisi kontemporer sudah semakin rancu penggunaannya di kalangan
masyarakat kesenian, sebagaimana etnik, improvisasi, dan beberapa istilah lain.
Setahu saya, kontemporer adalah bentuk peremajaan atau kekinian atau kemasan
ulang dari poduk yang ada sebelumnya tanpa membuang “roh” yang ada didalam
jasad lamanya. “Roh” yang dimaksud tentunya akan relatif bagi setiap orang,
bisa saja si A memandang nilai-nilai moral yang terkandung dibalik suatu jenis
kesenian, si B menganggap kekhasan pola-pola dan strukturnya, si C pada “rasa”
yang ada pada kesenian tersebut, sedangkan si D melihat pada fisik yang kasat
mata. Selain contoh kecil itu masih banyak aspek-aspek lain yang menjadi
pertimbangan dalam membuat garapan baru dengan berpijak dari yang sudah ada. Roh-roh
inilah yang nantinya akan disandingkan atau ditempatkan pada jasad baru, hasil
buatan ideal menurut masing-masing dari kita.
Selanjutnya
berdasarkan atas kesepakatan bersama rekan-rekan dalam satu laborat jasad
tersebut di perbarui, bilamana perlu di buatkan jasad baru yang di rasa “cocok”
dengan jaman sekarang. Atas beberapa pertimbangan tentang mana “roh”-nya tadi
yang sudah di contohkan diatas, maka akan muncul hasil yang diharapkan menjadi
barang seni yang bersifat “kontemporer” tadi, jika hasil dirasa belum sesuai
bayangan awal, diolah lagi, begitu seterusnya sampai pada akhirnya
dipertunjukkan dengan maksud produk tadi akan mendapat komentar dari mereka
para pemerhati, kritikus, pengamat, penikmat, dan pihak-pihak lain. Setelah itu
apakah dapat diterima masyarakat luas dalam artian esensi yang sudah susah
payah diupayakan dengan wadah baru tersebut, jika memang katanya memiliki
tujuan untuk menyampaikan suatu gagasan bukan sekedar sebagai hiburan semata,
lebih-lebih lagi agar laku secara barang dagangan dengan tetap memiliki tampang
kesenian tradisi, otak cukong bangkong tapi muka tetap menampakkan kesan berbudaya.
Pada
beberapa kasus yang saya temui dan alami sendiri, banyak diantara kita yang
dengan gampang menamai karyanya sebagai karya “kontemporer” tanpa proses penyelaman
yang mendalam dan memakan waktu relatif panjang, bahkan tidak jarang tujuannya hanya
untuk ajang pamer, kenapa pamer? Karena di hari-hari biasa atau pada kenyataannya
arah pandang dan kegiatan kelompoknya (bagi yang memiliki kelompok dan
laboratorium sendiri) jauh dari apa yang ditampilkan tersebut. Taruhlah sebagai
contoh, ingin garapan atau pementasan tetap terkesan memasukkan unsur tradisi,
maka dengan mudah tanpa pikir panjang dicari dari unsur-unsur tradisi yang
paling mudah didapat untuk kemudian dipasang, pada kasus ini biasanya yang
bersifat fisiknya saja, entah sebagai properti pelengkap, dekorasi panggung
atau sebatas “selingan” pada bagian tertentu, misalnya memasukkan musik tradisi
yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mau ia kenali, memasukkan
tembang-tembang tertentu dengan sebatas pemaknaan kulit luar dengan tajuk
sosialisasi seni tradisi.
Tidak ada salahnya
memang, karena istilah “ngawur” itu sepertinya sudah mendarah daging dan
menjadi “mazhab” yang diyakini entah dulu dari mana asal mulanya. Baiklah itu
pilihan sebagaimana saya dan teman-teman memilih jenis “bebal” kami sendiri. Tapi
sebelum mengakhiri paragraf ini, bagi saya definisi “ngawurnya” seseorang yang
memiliki dasar, alasan, latar belakang yang jelas tentunya sangat berbeda
dengan “ngawur” yang ada dipikiran dan ucapan seseorang yang mungkin malas
belajar dan memahami tapi dengan tergesa-gesa berambisi menemukan bentuk baru. Bisa
jadi dulunya hanya mendengar seorang tokoh yang dijadikan panutan, yang pernah
mengatakan atau menyampaikan pernyataan tentang “ngawur” tanpa meruntut bagaimana
“gurunya” itu dulunya berproses hingga mendapat istilah tersebut, apa saja yang
beliau baca, bagaimana kenyataan masyarakat dijamannya yang harus hadapi. Jadi bukan
asal menelan mentah-mentah, bukankah pencernaan setiap orang berbeda? Bukankah setiap
kepala punya cara yang bisa ditempuhnya sendiri?
Memang
tidak ada benar dan salah dalam kesenian, adanya enak dan tidak enak, entah
dulu siapa yang memulai kalimat unik ini, sederhana tetapi cukup mengena, bisa
dijadikan landasan atau kontrol diri untuk tidak menghujat sebuah garapan yang
disuguhkan, apabila kita tidak berkenan atau berselera menelan, mencicipi, atau
mencium aroma maka jangan mengatakan “warung makan” tersebut tidak berkualitas,
apalagi mencela habis-habisan “koki” yang sudah susah payah memasak untuk
ditawarkan kepada kita hasil olahannya tersebut. Tapi bukan berarti juga lantas
kita hanya diam dan “rasan-rasan” tanpa menulisnya sebagai dokumentasi untuk
orang setelah kita.
Ada
juga kasus lain yang tidak kalah menarik bagi kami, soal karya yang bersifat
hiburan, biasanya memiliki tujuan meraup perhatian, maksudnya lebih bisa menarik
minat penonton atau masyarakat agar supaya laku tentunya, mereka bisa betah
berlama-lama duduk menyaksikan dan hanyut dalam tawa, karena pada model ini
biasanya juga lebih gampang diterima masyarakat yang memang sekarang lebih
akrab dengan jenis kesenian semacam ini. Pada umumnya jenis ini untuk sebuah
garapan tetap menggunkan kaidah-kaidah dasar yang sudah ada sebelumnya, seperti
model iringan musik, pembagian adegan, tata busana dan banyak lagi, tapi saya
tidak bicara tentang “pakem”, teramat jauh, terlalu berat bagi saya dan itu
lebih kabur lagi rasanya jika dibahas disini. Sebagai contoh unsur-unsur tadi tetap
dipertahankan secara fisik atau tampilan lahirnya, akan tetapi tidak jarang
hanya dijadikan sebagai “wadah” atau “jasad”, sedangkan “isinya” bisa beraneka
macam tergantung pesanan, maksudnya pihak-pihak yang menyajikan model seperti
ini biasanya “ditanggap” untuk sosialisasi, peresmian acara, atau semacamnya
yang sifatnya pengumpulan massa. Praktis muatan-muatan dari si penanggap tadi
yang memegang peran besar, sering akhirnya unsur-unsur esensial sama sekali
tidak diperhatikan bahkan dihilangkan, namanya juga “proyek” peduli apa soal
esensi yang sebenarnya bisa dikenalkan lagi kepada masyarakat yang sudah lupa
atas apa yang sebenarnya juga jadi kepunyannya.
Adakalanya babak-babak
atau bagian yang idealnya itu menjadi alur penting atau benang merah cerita
misalnya, tanpa “dosa” digarap dengan dagelan, alasannya agar penonton tidak
bosan. Bagi kami perilaku semacam ini secara tidak langsung menganggap
masyarakat awam lebih rendah kemampuan menerima sebuah gagasan dibalik garapan
yang dipentaskan, atau ketakutan diri mereka sendiri yang sudah tidak percaya
pada “kemampuan” yang dimiliki,
ironisnya yang melakukan tindakan semacam ini adalah mereka yang sudah cukup
memiliki nama di dunia kesenian, panutan bagi “cantrik-cantrik” yang selalu bersikap
sopan dan santun “mundhuk-mundhuk” dihadapannya, sekaligus yang beraninya “rasan-rasan”
jika tidak diajak pentas atau kebagian jatah saat ada “proyek besar”, padahal
dijadikan partisipan gratis atas nama jaringan saja mereka sebenarnya sudah
sangat merasa luar biasa senang.
Dugaan
saya, kasus-kasus yang terjadi itu pada akhirnya menjadi bentuk baru yang
sering dianggap seni “kontemporer”, baik yang awalnya ngawur atau yang menghamba
entertain, bisa jadi campuran keduanya, bisa jadi juga ada keterpengaruhan (saling
mempengaruhi satu sama lain), setelah masyarakat awam tanpa sadar mulai gampang
menerima produk-produk semacam ini, menelannya, mencernanya, dan mulai
ketagihan, karena mau tidak mau hanya model-model semacam itu yang bisa mereka
peroleh karena para pelaku seni kebanyakan berlaku demikian, tidak ada
alternatif lain, maka fenomena ini akhirnya mulai dilirik para “makelar
kesenian”, ada produsen produk yang laris dan ada para konsumen yang sudah dipastikan
dapat menerima, peluang inilah yang akhirnya menciptakan “pasar pertunjukan”.
Seiring berjalannya trend
tersebut, para pemula yang baru seumur jagung, yang rata-rata malas berlama-lama
proses dan lebih senang segera mewujudkan keinginan untuk tampil dihadapan
masyarakat akan beramai-ramai mencontoh para pendahulunya itu. Tahunya bentuk
semacam itu seni “kontemporer”, bentuk yang sedang laris dan diminati
masyarakat. Saya bertanya, itu kontemporer atau pasar? Kalau kontemporer siapa
yang berproses menemukan gagasan itu? Bukankah anda hanya meniru apa yang
sedang laku di pasar? Tapi tidak memiliki laku kesenian sendiri maupun kelompok
untuk menemukan bentuk. Parahnya lagi yang ditiru itu telah melakukan
tindakan-tindakan yang sudah diuraikan pada bait-bait sebelumnya. Kalau sudah
seperti ini ya sudah, tidak perlu lagi kita susah payah berpikir tentang dimana
akar kebudayaan sebagai pijakan berkesenian. Pasar tidak peduli dengan ideologi
atau eensi nilai-nilai. Pasar hanya akan peduli pada ideologi dan esensi
nilai-nilai yang laku keras jika dipasarkan.
Surakarta, 10 Maret 2018
Joko Pitono
Pengageng
di Keluarga Karawitan Kurawa
Magang
wartawan di Koran “Medan Prihatin”
No comments:
Post a Comment