Friday, 9 March 2018

BAHKAN UNTUK SEKEDAR "MENEMPEL” KAMI BUTUH PROSES!! (sebuah renungan : beda tipis antara kontemporer, ngawur, entertain, dan pengikut pasar)

          Belakangan ini saya sering menemui kasus yang cukup menarik, meski sebenarnya tidak terlalu mengusik telinga saya yang peka dan sensitif terhadap segala “gangguan”, tidak juga membuat kegiatan-kegiatan yang saya dan teman-teman jalani menjadi terhambat, sejauh ini aman-aman saja, sebab mereka juga “bebal” dan kebetulan jenis “bebal”-nya sama dengan jenis “bebal” yang saya miliki, sehingga saya tidak perlu menulari mereka “penyakit bebal” untuk sekedar mendapat teman yang akan saling menguatkan satu sama lain dalam menjaga “kebebalan”.

Kami sadar bahwa secara umur masih cukup muda untuk tergesa-gesa memberi label atau merombak bentuk-bentuk kesenian tradisi, misalnya macapat, santiswara, karawitan yang selama ini coba kami pelajari bersama. Bentuk fisiknya saja kami belum sepenuhnya kenal dan akrab, esensi-esensinya masih ingin kami cari lagi. Membedakan antara slendro – pelog yang merupakan sistem nada musik tradisi saja kami masih bingung, belum lagi pathet-nya, macam-macam macapat belum banyak kenal, apalagi ragam cengkok-cengkoknya, terlebih lagi dari segi sastra yang menjadi isi dari macapat itu sendiri yang menurut saya adalah “wadah”, tempat memuat ajaran atau informasi dari penulisnya yang dihimpun dalam serat-serat. Meskipun di hari ini banyak yang melewatkan unsur-unsur itu, atau kalau kita “menerjangnya” juga tidak akan berdosa pada siapa-siapa. Tapi bagi kami berjalan lamban seperti kerbau adalah pilihan sambil menunggu tanduk tumbuh cukup kuat, jika tidak patah lebih dulu atau mati muda dipanggil tuhan, daripada tergesa-gesa berlagak seperti macan tapi ompong apa gunanya? tidak pernah mau mengasah taring, apa yang mau dikoyak? 


Keluarga Karawitan Kurawa di sanggar Kenthoet-Roedjito

Berapa tahun Ki Nartosabdho dan seniman-seniman terkemuka lainnya menemukan bentuk yang khas untuk diri dan kelompoknya? Kita sering dengan gampang menyebut atau mencontohkan tokoh-tokoh fenomenal, berkarakter, khas, memunculkan bentuk kontemporer dijamannya, dan banyak kalimat-kalimat lain yang sering terlontar. Tapi pernahkah kita melihat ulang atau mencermati bagaimana proses panjang mereka? Bagaimana cara mereka mencari esensi atau ruh dari apa yang kita sebut kesenian tradisi? Apa saja proses yang mereka lakukan baik secara individu maupun kelompok? Bagaimana mereka senantiasa menjaga laboratorium dan kebersamaan para anggotanya? Hingga akhirnya mereka menemukan bentuk dan tanpa kehilangan “roh” tradisnya, karya-karya mereka senantiasa dikenang masyarakat luas, tetap bisa dinikmati dan dipelajari dari generasi ke generasi.

Menjalani kehidupan sehari-hari, berkumpul di tengah orang banyak tentunya akan menjumpai banyak pandangan yang kadang bertolak belakang, pemikiran yang berbeda, pendapat yang tidak sama, dan selera yang berlainan. Apalagi di dunia seni, sepanjang “karir” berkesenian saya mulai dari bermain band, menulis puisi, menabuh gamelan, terlibat teater dan beberapa jenis kesenian lain yang pernah saya ikuti, selalu saja ada dan tidak pernah lepas dari “penghakiman” pihak lain sebagaimana saya terkadang juga melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Sok-sokan mengkritik dengan tanpa menguasai teori-teori, tanpa tahu banyak bidang yang saya tulis.

Tapi apapun itu yang terpenting saya berani mengakui, menjunjung tinggi kejujuran dan “subjektifitas” diri, bukan dalam rangka mengkampanyekan “kebenaran”, merasa diri dan kelompok adalah pihak yang paling baik, tetapi sekedar untuk memperjelas “posisi duduk” dan menawarkan “tempat duduk” kepada mereka yang nanti barangkali memiliki keinginan untuk “duduk” dan berbincang bersama kami. Kalaupun tidak ada yang berminat, setidaknya kita tidak perlu ikut rebutan “kursi kehormatan”, hanya demi meraih keuntungan materi dan diakui oleh orang lain sebagai manusia unggul, sebab untuk “duduk” tidak harus di “kursi”, di mana pun boleh asal tidak menjadikan kepala orang-orang sebagai jalan memperoleh kedudukan strategis.

Saya pribadi dan kelompok tidak pernah mempersoalkan, apakah kami ini terjebak dalam kegiatan memelihara “kasur tua”, sebenarnya kami tanpa bekal yang cukup kuat juga untuk tetap merawatnya, lalu “menempelkan” pada pementasan kami, atau kami sedang berusaha melakukan pengembangan dan pengemasan ulang atas apa yang sering kita sebut bentuk lama atau produk-produk kesenian tradisi, tujuannya agar relevan dengan jaman sekarang, “kontemporer” bahasa yang populer karena sering mondar-mandir ditelinga saya beberapa waktu belakangan. Saya beri tanda kutip sebab saya masih ragu tentang definisi kontemporer menurut mereka yang sebenarnya seperti apa, mereka yang pernah mengucapkan kata itu dalam serangkaian kalimat menuju telinga saya.


Beda Tipis Antara Kontemporer, Ngawur, Entertain, dan Pengikut Pasar

            Ada kecurigaan didalam diri saya, bahwa definisi kontemporer sudah semakin rancu penggunaannya di kalangan masyarakat kesenian, sebagaimana etnik, improvisasi, dan beberapa istilah lain. Setahu saya, kontemporer adalah bentuk peremajaan atau kekinian atau kemasan ulang dari poduk yang ada sebelumnya tanpa membuang “roh” yang ada didalam jasad lamanya. “Roh” yang dimaksud tentunya akan relatif bagi setiap orang, bisa saja si A memandang nilai-nilai moral yang terkandung dibalik suatu jenis kesenian, si B menganggap kekhasan pola-pola dan strukturnya, si C pada “rasa” yang ada pada kesenian tersebut, sedangkan si D melihat pada fisik yang kasat mata. Selain contoh kecil itu masih banyak aspek-aspek lain yang menjadi pertimbangan dalam membuat garapan baru dengan berpijak dari yang sudah ada. Roh-roh inilah yang nantinya akan disandingkan atau ditempatkan pada jasad baru, hasil buatan ideal menurut masing-masing dari kita.

            Selanjutnya berdasarkan atas kesepakatan bersama rekan-rekan dalam satu laborat jasad tersebut di perbarui, bilamana perlu di buatkan jasad baru yang di rasa “cocok” dengan jaman sekarang. Atas beberapa pertimbangan tentang mana “roh”-nya tadi yang sudah di contohkan diatas, maka akan muncul hasil yang diharapkan menjadi barang seni yang bersifat “kontemporer” tadi, jika hasil dirasa belum sesuai bayangan awal, diolah lagi, begitu seterusnya sampai pada akhirnya dipertunjukkan dengan maksud produk tadi akan mendapat komentar dari mereka para pemerhati, kritikus, pengamat, penikmat, dan pihak-pihak lain. Setelah itu apakah dapat diterima masyarakat luas dalam artian esensi yang sudah susah payah diupayakan dengan wadah baru tersebut, jika memang katanya memiliki tujuan untuk menyampaikan suatu gagasan bukan sekedar sebagai hiburan semata, lebih-lebih lagi agar laku secara barang dagangan dengan tetap memiliki tampang kesenian tradisi, otak cukong bangkong tapi muka tetap menampakkan kesan berbudaya.

            Pada beberapa kasus yang saya temui dan alami sendiri, banyak diantara kita yang dengan gampang menamai karyanya sebagai karya “kontemporer” tanpa proses penyelaman yang mendalam dan memakan waktu relatif panjang, bahkan tidak jarang tujuannya hanya untuk ajang pamer, kenapa pamer? Karena di hari-hari biasa atau pada kenyataannya arah pandang dan kegiatan kelompoknya (bagi yang memiliki kelompok dan laboratorium sendiri) jauh dari apa yang ditampilkan tersebut. Taruhlah sebagai contoh, ingin garapan atau pementasan tetap terkesan memasukkan unsur tradisi, maka dengan mudah tanpa pikir panjang dicari dari unsur-unsur tradisi yang paling mudah didapat untuk kemudian dipasang, pada kasus ini biasanya yang bersifat fisiknya saja, entah sebagai properti pelengkap, dekorasi panggung atau sebatas “selingan” pada bagian tertentu, misalnya memasukkan musik tradisi yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mau ia kenali, memasukkan tembang-tembang tertentu dengan sebatas pemaknaan kulit luar dengan tajuk sosialisasi seni tradisi. 

Tidak ada salahnya memang, karena istilah “ngawur” itu sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi “mazhab” yang diyakini entah dulu dari mana asal mulanya. Baiklah itu pilihan sebagaimana saya dan teman-teman memilih jenis “bebal” kami sendiri. Tapi sebelum mengakhiri paragraf ini, bagi saya definisi “ngawurnya” seseorang yang memiliki dasar, alasan, latar belakang yang jelas tentunya sangat berbeda dengan “ngawur” yang ada dipikiran dan ucapan seseorang yang mungkin malas belajar dan memahami tapi dengan tergesa-gesa berambisi menemukan bentuk baru. Bisa jadi dulunya hanya mendengar seorang tokoh yang dijadikan panutan, yang pernah mengatakan atau menyampaikan pernyataan tentang “ngawur” tanpa meruntut bagaimana “gurunya” itu dulunya berproses hingga mendapat istilah tersebut, apa saja yang beliau baca, bagaimana kenyataan masyarakat dijamannya yang harus hadapi. Jadi bukan asal menelan mentah-mentah, bukankah pencernaan setiap orang berbeda? Bukankah setiap kepala punya cara yang bisa ditempuhnya sendiri?

            Memang tidak ada benar dan salah dalam kesenian, adanya enak dan tidak enak, entah dulu siapa yang memulai kalimat unik ini, sederhana tetapi cukup mengena, bisa dijadikan landasan atau kontrol diri untuk tidak menghujat sebuah garapan yang disuguhkan, apabila kita tidak berkenan atau berselera menelan, mencicipi, atau mencium aroma maka jangan mengatakan “warung makan” tersebut tidak berkualitas, apalagi mencela habis-habisan “koki” yang sudah susah payah memasak untuk ditawarkan kepada kita hasil olahannya tersebut. Tapi bukan berarti juga lantas kita hanya diam dan “rasan-rasan” tanpa menulisnya sebagai dokumentasi untuk orang setelah kita.

            Ada juga kasus lain yang tidak kalah menarik bagi kami, soal karya yang bersifat hiburan, biasanya memiliki tujuan meraup perhatian, maksudnya lebih bisa menarik minat penonton atau masyarakat agar supaya laku tentunya, mereka bisa betah berlama-lama duduk menyaksikan dan hanyut dalam tawa, karena pada model ini biasanya juga lebih gampang diterima masyarakat yang memang sekarang lebih akrab dengan jenis kesenian semacam ini. Pada umumnya jenis ini untuk sebuah garapan tetap menggunkan kaidah-kaidah dasar yang sudah ada sebelumnya, seperti model iringan musik, pembagian adegan, tata busana dan banyak lagi, tapi saya tidak bicara tentang “pakem”, teramat jauh, terlalu berat bagi saya dan itu lebih kabur lagi rasanya jika dibahas disini. Sebagai contoh unsur-unsur tadi tetap dipertahankan secara fisik atau tampilan lahirnya, akan tetapi tidak jarang hanya dijadikan sebagai “wadah” atau “jasad”, sedangkan “isinya” bisa beraneka macam tergantung pesanan, maksudnya pihak-pihak yang menyajikan model seperti ini biasanya “ditanggap” untuk sosialisasi, peresmian acara, atau semacamnya yang sifatnya pengumpulan massa. Praktis muatan-muatan dari si penanggap tadi yang memegang peran besar, sering akhirnya unsur-unsur esensial sama sekali tidak diperhatikan bahkan dihilangkan, namanya juga “proyek” peduli apa soal esensi yang sebenarnya bisa dikenalkan lagi kepada masyarakat yang sudah lupa atas apa yang sebenarnya juga jadi kepunyannya.

Adakalanya babak-babak atau bagian yang idealnya itu menjadi alur penting atau benang merah cerita misalnya, tanpa “dosa” digarap dengan dagelan, alasannya agar penonton tidak bosan. Bagi kami perilaku semacam ini secara tidak langsung menganggap masyarakat awam lebih rendah kemampuan menerima sebuah gagasan dibalik garapan yang dipentaskan, atau ketakutan diri mereka sendiri yang sudah tidak percaya pada “kemampuan”  yang dimiliki, ironisnya yang melakukan tindakan semacam ini adalah mereka yang sudah cukup memiliki nama di dunia kesenian, panutan bagi “cantrik-cantrik” yang selalu bersikap sopan dan santun “mundhuk-mundhuk” dihadapannya, sekaligus yang beraninya “rasan-rasan” jika tidak diajak pentas atau kebagian jatah saat ada “proyek besar”, padahal dijadikan partisipan gratis atas nama jaringan saja mereka sebenarnya sudah sangat merasa luar biasa senang.

            Dugaan saya, kasus-kasus yang terjadi itu pada akhirnya menjadi bentuk baru yang sering dianggap seni “kontemporer”, baik yang awalnya ngawur atau yang menghamba entertain, bisa jadi campuran keduanya, bisa jadi juga ada keterpengaruhan (saling mempengaruhi satu sama lain), setelah masyarakat awam tanpa sadar mulai gampang menerima produk-produk semacam ini, menelannya, mencernanya, dan mulai ketagihan, karena mau tidak mau hanya model-model semacam itu yang bisa mereka peroleh karena para pelaku seni kebanyakan berlaku demikian, tidak ada alternatif lain, maka fenomena ini akhirnya mulai dilirik para “makelar kesenian”, ada produsen produk yang laris dan ada para konsumen yang sudah dipastikan dapat menerima, peluang inilah yang akhirnya menciptakan “pasar pertunjukan”.

Seiring berjalannya trend tersebut, para pemula yang baru seumur jagung, yang rata-rata malas berlama-lama proses dan lebih senang segera mewujudkan keinginan untuk tampil dihadapan masyarakat akan beramai-ramai mencontoh para pendahulunya itu. Tahunya bentuk semacam itu seni “kontemporer”, bentuk yang sedang laris dan diminati masyarakat. Saya bertanya, itu kontemporer atau pasar? Kalau kontemporer siapa yang berproses menemukan gagasan itu? Bukankah anda hanya meniru apa yang sedang laku di pasar? Tapi tidak memiliki laku kesenian sendiri maupun kelompok untuk menemukan bentuk. Parahnya lagi yang ditiru itu telah melakukan tindakan-tindakan yang sudah diuraikan pada bait-bait sebelumnya. Kalau sudah seperti ini ya sudah, tidak perlu lagi kita susah payah berpikir tentang dimana akar kebudayaan sebagai pijakan berkesenian. Pasar tidak peduli dengan ideologi atau eensi nilai-nilai. Pasar hanya akan peduli pada ideologi dan esensi nilai-nilai yang laku keras jika dipasarkan.


            Surakarta, 10 Maret 2018
  
 

Joko Pitono
Pengageng di Keluarga Karawitan Kurawa
Magang wartawan di Koran “Medan Prihatin”

No comments:

Post a Comment