Pementasan Teater Sandilara kali ini
mengajak Keluarga Karawitan Kurawa untuk kembali terlibat. Ada riwayat panjang
perjalanan kelompok Karawitan ini yang tidak dapat dipisahkan dari Teater
Sandilara. Terhitung sejak 2014 ketika mementaskan naskah “Lelayu” dua anggota
Kurawa (yang saat ini masih bertahan) pernah ikut berproses hingga pentas di
beberapa kampung di Surakarta dan sekitarnya. Terakhir kali Kurawa mengiringi
pementasan Sandilara sekitar dua tahun lalu pada festival Teater Bahasa Jawa di
UGM Jogjakarta. Waktu itu Sandilara mementaskan naskah “Mlarat” yang beberapa kali
sebelumnya telah di pentaskan ke kampung-kampung.
Nasib dan status Keluarga
Karawitan Kurawa tidak jauh berbeda dengan Teater Sandilara yang menjadi
saudara tuanya, yatim-piatu dan tunawisma. Sebagai kelompok karawitan mereka
tidak memiliki sanggar sendiri, tidak juga memiliki seperangkat alat gamelan.
Sebelum berpindah tempat latihan ke sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang,
dulunya mereka berlatih karawitan di SMP Negeri 6 Surakarta. Pada awal mulanya
sebatas kegiatan ekstrakurikuler, melihat anak-anak tersebut sepertinya senang
bermain gamelan, tetapi masa sekolah di SMP sudah berakhir, maka diawal tahun
2017 Joko Pitono menawarkan kepada mereka yang sudah lulus untuk tetap
melanjutkan latihan, mereka bersedia, jadwal segera ditentukan, setiap sabtu
latihan di SMP Negeri 6 Surakarta. Kegiatan ini bersifat rutinitas, ada atau
tidak ada keperluan untuk pentas tetap dilaksanakan. Intinya latihan karawitan
menjadi kesenangan bukan kewajiban.
Menginjak
pertengahan tahun 2017, latihan Kurawa pindah ke sanggar Kenthoet-Roedjito
Teater Ruang, karena di tempat lama sering mendapat “gangguan”, campur tangan oknum-oknum
pihak kelurahan setempat yang sering meminta mereka berpentas saat dibutuhkan,
tetapi di hari biasa mereka tidak pernah ikut terlibat dalam proses latihan,
tanpa pernah menengok atau turut serta memberi dukungan dalam bentuk apapun,
hanya tahu jadi, merasa bahwa Kurawa latihan di wilayahnya, tidak pernah peduli
sewaktu awal-awal Kurawa mulai merintis latihan karawitan. Menurut Joko Pitono,
hal semacam ini sudah wajar terjadi untuk tingkat kelurahan, kesenian dan para
pelakunya akan dilirik para pejabat ketika dibutuhkan sebagai pelengkap acara
yang mereka adakan, parahnya lagi pihak kelurahan sering memproposalkan
kegiatan latihan tanpa sepengetahuan para pelakunya, tidak terbuka masalah
keuangan, atau dengan kata lain cukong-cukong kelas coro sering memanfaatkan
kelompok seni yang masih baru. Walaupun kejadian semacam ini wajar, bagi Joko
Pitono kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka mengambil
manfaat dari jerih payah orang lain, terlebih lagi anak-anak yang senang seni
tradisi.
Hubungan “Kekerabatan” Kurawa Dan Sandilara
Bagi
Keluarga Karawitan Kurawa, mengiringi pementasan teater menjadi pengalaman
tersendiri, terlebih lagi bersama Teater Sandilara yang juga sering memberikan
bantuan apabila Kurawa sedang berpentas. Bisa jadi dikarenakan Joko Pitono
adalah juga anggota Teater Sandilara, tapi memang sudah sejak awal Sandilara
memulai pentas pertama menggunakan iringan gamelan, mengingat naskah-naskah
yang dipentaskan seringnya berbahasa Jawa.
Di luar latihan teater,
anggota Sandilara juga mulai belajar menabuh gamelan, bukan merasa nguri-uri kabudayan Jawi atau menganggap
diri sebagai generasi yang menjaga seni tradisi, tetapi keduanya baik Teater
Sandilara maupun Keluarga Karawitan Kurawa, memang awalnya senang dulu terhadap
gamelan, baru setelah itu berlatih dan mengenalinya lebih dalam lagi
semampunya. Jika akhirnya digunakan pada pementasan, bukan semata agar terlihat
njawani, menampakkan kesan bernuansa
musik tradisi, tapi karena memang itu yang dimiliki, dipilih, dijalani, ada
maupun tidak ada garapan naskah.
Pada kesempatan kali ini
tersisa delapan orang perempuan yang masih bertahan menjaga rutinitas latihan
setiap hari sabtu, ditengah kesibukan sekolah yang mulai menganut sistem fullday school, praktis hanya hari sabtu
dan minggu waktu yang tersisa untuk mereka berkumpul bersama menabuh gamelan,
walau demikian sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, rutinitas berjalan
sebagaimana mestinya. Joko Pitono cukup beruntung mendapati remaja yang mampu
bertahan hingga empat tahun lebih, mantan murid-murid yang akhirnya menjadi “adik”
baginya.
Bukan tanpa maksud, Joko Pitono melibatkan
murid-muridnya sejak mereka masih SMP untuk terlibat bersama Teater Sandilara,
ia memiliki alasan khusus yang bukan sekedar kepentingan praktis mengiringi
pementasan. Ketika itu jarang, bahkan tidak ada perlombaan atau pementasan
karawitan secara mandiri, sementara anak-anak ini tergolong rajin dan tanpa
beban mengikuti ekstrakurikuler karawitan di SMP negeri 6 Surakarta. Ada
kekhawatiran jika anak-anak ini kecewa karena tidak pernah pentas. Akhirnya awal
2014, Teater Sandilara menggarap naskah “Lelayu”
yang berbahasa Jawa itu dan mengajak anak-anak ini untuk terlibat melengkapi
kekurangan penabuh gamelan. Sejak saat itu mereka semakin semangat berlatih, hingga
beberapa kali jika garapan dan kondisi tempat pentas memungkinkan, maka
Keluarga Karawitan kurawa selalu menyertai pementasan Teater Sandilara.
Mengiringi Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah”
Pada
tahun keempat Kurawa bertahan dalam rutinitas latihan, pastinya mengalami
peningkatan baik segi teknis musikal, rasa kepemilikan terhadap kelompok, tentu
juga mulai merasakan kesan-kesan atau perasaan tertentu saat menabuh bersama. Ya,
meski bisa dikatakan belum tergolong penabuh handal, tapi hasil proses mereka
merupakan produk kesabaran dan kesadaran, mengapa sabar dan sadar? Sabar,
mengingat mereka semua perempuan dan masih berusia sekolah, waktu latihan amat
terbatas, hanya sabtu dan minggu dapat latihan bersama Teater Sandilara, sebagai
bentuk ngemong adine teman-teman Sandilara
yang mengikuti ketersediaan waktu para Kurawa. Sedangkan maksud dari sadar,
bahwa sebagai bentuk kerjasama lintas usia dan laboratorium bersama yang saling
menopang, baik Sandilara maupun Kurawa menggabungkan hasil proses
masing-masing, mencari jalan tengah tanpa harus menuntut satu sama lain untuk
memenuhi kriteria ideal di benak pemain, penggarap, maupun pengiring.
Joko
Pitono tidak peduli andai dianggap masih sekedar menempelkan dari yang sudah
pernah ada, maksudnya beberapa repertoar warisan nenek moyang yang dianggap. Sewaktu
saya tanya pendapatnya, ia menjawab demikian “nggagas omongane uwong ora enek entek’e, anane mung kurang karo
kurang, aku ngerti karepe apik menehi saran, nanging aku ora patheken ora ketok
sangar garapane. Rumangsane gampang apa piye nabuh gamelan, jaga lan ngatur bocah-bocah
supayane isoh latihan karawitan tanpa ana gangguan, ben sak mlakune sik, yen
tekane lagi semana ya wis ben, ora arep meksa apa golek-golek garapan ben ketok
beda, ora arep golek keplok”
Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah”
karya Emha Ainun Nadjib, pada tanggal 23-24 Maret 2018 menjadi kebahagiaan
tersendiri bagi Teater Sandilara, karena memiliki adik-adik yang masih bisa
proses bersama hingga hari ini. Empat tahun menyertai perjalanan Teater
Sandilara. Terimakasih, kami sadar tidak ada garansi abadi di dunia ini, cepat
atau lambat kalian akan segera menempuh kenyataan sebagai wanita dewasa dengan
tanggung jawab dan urusan yang baru, tapi semoga jodoh kita di kesenian masih
dapat berlangsung lebih lama lagi.
Surakarta, 20 Maret 2018
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment