Monday, 19 March 2018

KELUARGA KARAWITAN KURAWA KEMBALI PENTAS BERSAMA “SAUDARA TUANYA” TEATER SANDILARA


         Pementasan Teater Sandilara kali ini mengajak Keluarga Karawitan Kurawa untuk kembali terlibat. Ada riwayat panjang perjalanan kelompok Karawitan ini yang tidak dapat dipisahkan dari Teater Sandilara. Terhitung sejak 2014 ketika mementaskan naskah “Lelayu” dua anggota Kurawa (yang saat ini masih bertahan) pernah ikut berproses hingga pentas di beberapa kampung di Surakarta dan sekitarnya. Terakhir kali Kurawa mengiringi pementasan Sandilara sekitar dua tahun lalu pada festival Teater Bahasa Jawa di UGM Jogjakarta. Waktu itu Sandilara mementaskan naskah “Mlarat” yang beberapa kali sebelumnya telah di pentaskan ke kampung-kampung. 



Nasib dan status Keluarga Karawitan Kurawa tidak jauh berbeda dengan Teater Sandilara yang menjadi saudara tuanya, yatim-piatu dan tunawisma. Sebagai kelompok karawitan mereka tidak memiliki sanggar sendiri, tidak juga memiliki seperangkat alat gamelan. Sebelum berpindah tempat latihan ke sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang, dulunya mereka berlatih karawitan di SMP Negeri 6 Surakarta. Pada awal mulanya sebatas kegiatan ekstrakurikuler, melihat anak-anak tersebut sepertinya senang bermain gamelan, tetapi masa sekolah di SMP sudah berakhir, maka diawal tahun 2017 Joko Pitono menawarkan kepada mereka yang sudah lulus untuk tetap melanjutkan latihan, mereka bersedia, jadwal segera ditentukan, setiap sabtu latihan di SMP Negeri 6 Surakarta. Kegiatan ini bersifat rutinitas, ada atau tidak ada keperluan untuk pentas tetap dilaksanakan. Intinya latihan karawitan menjadi kesenangan bukan kewajiban.

            Menginjak pertengahan tahun 2017, latihan Kurawa pindah ke sanggar Kenthoet-Roedjito Teater Ruang, karena di tempat lama sering mendapat “gangguan”, campur tangan oknum-oknum pihak kelurahan setempat yang sering meminta mereka berpentas saat dibutuhkan, tetapi di hari biasa mereka tidak pernah ikut terlibat dalam proses latihan, tanpa pernah menengok atau turut serta memberi dukungan dalam bentuk apapun, hanya tahu jadi, merasa bahwa Kurawa latihan di wilayahnya, tidak pernah peduli sewaktu awal-awal Kurawa mulai merintis latihan karawitan. Menurut Joko Pitono, hal semacam ini sudah wajar terjadi untuk tingkat kelurahan, kesenian dan para pelakunya akan dilirik para pejabat ketika dibutuhkan sebagai pelengkap acara yang mereka adakan, parahnya lagi pihak kelurahan sering memproposalkan kegiatan latihan tanpa sepengetahuan para pelakunya, tidak terbuka masalah keuangan, atau dengan kata lain cukong-cukong kelas coro sering memanfaatkan kelompok seni yang masih baru. Walaupun kejadian semacam ini wajar, bagi Joko Pitono kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka mengambil manfaat dari jerih payah orang lain, terlebih lagi anak-anak yang senang seni tradisi.


Hubungan “Kekerabatan” Kurawa Dan Sandilara

            Bagi Keluarga Karawitan Kurawa, mengiringi pementasan teater menjadi pengalaman tersendiri, terlebih lagi bersama Teater Sandilara yang juga sering memberikan bantuan apabila Kurawa sedang berpentas. Bisa jadi dikarenakan Joko Pitono adalah juga anggota Teater Sandilara, tapi memang sudah sejak awal Sandilara memulai pentas pertama menggunakan iringan gamelan, mengingat naskah-naskah yang dipentaskan seringnya berbahasa Jawa. 

Di luar latihan teater, anggota Sandilara juga mulai belajar menabuh gamelan, bukan merasa nguri-uri kabudayan Jawi atau menganggap diri sebagai generasi yang menjaga seni tradisi, tetapi keduanya baik Teater Sandilara maupun Keluarga Karawitan Kurawa, memang awalnya senang dulu terhadap gamelan, baru setelah itu berlatih dan mengenalinya lebih dalam lagi semampunya. Jika akhirnya digunakan pada pementasan, bukan semata agar terlihat njawani­, menampakkan kesan bernuansa musik tradisi, tapi karena memang itu yang dimiliki, dipilih, dijalani, ada maupun tidak ada garapan naskah.

Pada kesempatan kali ini tersisa delapan orang perempuan yang masih bertahan menjaga rutinitas latihan setiap hari sabtu, ditengah kesibukan sekolah yang mulai menganut sistem fullday school, praktis hanya hari sabtu dan minggu waktu yang tersisa untuk mereka berkumpul bersama menabuh gamelan, walau demikian sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, rutinitas berjalan sebagaimana mestinya. Joko Pitono cukup beruntung mendapati remaja yang mampu bertahan hingga empat tahun lebih, mantan murid-murid yang akhirnya menjadi “adik” baginya.

            Bukan tanpa maksud, Joko Pitono melibatkan murid-muridnya sejak mereka masih SMP untuk terlibat bersama Teater Sandilara, ia memiliki alasan khusus yang bukan sekedar kepentingan praktis mengiringi pementasan. Ketika itu jarang, bahkan tidak ada perlombaan atau pementasan karawitan secara mandiri, sementara anak-anak ini tergolong rajin dan tanpa beban mengikuti ekstrakurikuler karawitan di SMP negeri 6 Surakarta. Ada kekhawatiran jika anak-anak ini kecewa karena tidak pernah pentas. Akhirnya awal 2014, Teater Sandilara menggarap naskah “Lelayu” yang berbahasa Jawa itu dan mengajak anak-anak ini untuk terlibat melengkapi kekurangan penabuh gamelan. Sejak saat itu mereka semakin semangat berlatih, hingga beberapa kali jika garapan dan kondisi tempat pentas memungkinkan, maka Keluarga Karawitan kurawa selalu menyertai pementasan Teater Sandilara.


Mengiringi Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah”

            Pada tahun keempat Kurawa bertahan dalam rutinitas latihan, pastinya mengalami peningkatan baik segi teknis musikal, rasa kepemilikan terhadap kelompok, tentu juga mulai merasakan kesan-kesan atau perasaan tertentu saat menabuh bersama. Ya, meski bisa dikatakan belum tergolong penabuh handal, tapi hasil proses mereka merupakan produk kesabaran dan kesadaran, mengapa sabar dan sadar? Sabar, mengingat mereka semua perempuan dan masih berusia sekolah, waktu latihan amat terbatas, hanya sabtu dan minggu dapat latihan bersama Teater Sandilara, sebagai bentuk ngemong adine teman-teman Sandilara yang mengikuti ketersediaan waktu para Kurawa. Sedangkan maksud dari sadar, bahwa sebagai bentuk kerjasama lintas usia dan laboratorium bersama yang saling menopang, baik Sandilara maupun Kurawa menggabungkan hasil proses masing-masing, mencari jalan tengah tanpa harus menuntut satu sama lain untuk memenuhi kriteria ideal di benak pemain, penggarap, maupun pengiring.

            Joko Pitono tidak peduli andai dianggap masih sekedar menempelkan dari yang sudah pernah ada, maksudnya beberapa repertoar warisan nenek moyang yang dianggap. Sewaktu saya tanya pendapatnya, ia menjawab demikian “nggagas omongane uwong ora enek entek’e, anane mung kurang karo kurang, aku ngerti karepe apik menehi saran, nanging aku ora patheken ora ketok sangar garapane. Rumangsane gampang apa piye nabuh gamelan, jaga lan ngatur bocah-bocah supayane isoh latihan karawitan tanpa ana gangguan, ben sak mlakune sik, yen tekane lagi semana ya wis ben, ora arep meksa apa golek-golek garapan ben ketok beda, ora arep golek keplok”

            Pementasan Naskah “Cahaya Dan Sampah” karya Emha Ainun Nadjib, pada tanggal 23-24 Maret 2018 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Teater Sandilara, karena memiliki adik-adik yang masih bisa proses bersama hingga hari ini. Empat tahun menyertai perjalanan Teater Sandilara. Terimakasih, kami sadar tidak ada garansi abadi di dunia ini, cepat atau lambat kalian akan segera menempuh kenyataan sebagai wanita dewasa dengan tanggung jawab dan urusan yang baru, tapi semoga jodoh kita di kesenian masih dapat berlangsung lebih lama lagi.


Surakarta, 20 Maret 2018


Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment