WEDANGAN TEATER II MASIH
BERLANGSUNG DI DALAM CATATAN
Catatan 2 (seusai membaca
tulisan Yudi Dodok dan Imamah)
Senang rasanya mendapati
kesudian kedua orang tersebut menuliskan peristiwa wedangan kemarin. Tulisan
mereka tidak mengada-ada, sebab keduanya hadir di peristiwa yang dituliskannya.
Sebab rasa senang tersebut, saya baca beberapa kali lalu saya menulis catatan ini.
Begini.
Ketika saya menyebut kata
Tuhan, itu bukanlah Tuhan, hanya sekedar persepsi saya mengenai Tuhan. Begitu
pula ketika saya ketik di tulisan ini kata ‘kursi’, deretan huruf tersebut
bukan lah kursi, hanya sekedar simbol yang kita sepakati untuk menunjuk sebuah
benda yang sering difungsikan untuk tempat duduk. Maka ketika saya menyebut
soal “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater”, itupun tentu
bukanlah “realitas, identitas, Gigok Anurogo, Wedangan, dan Teater” tetapi hanya
persepsi saya mengenai hal-hal tersebut. Tetapi sebab kita musti berkomunikasi, persepsi-persepsi
tersebut tidak bisa untuk tidak disampaikan untuk menunjuk pada hal yang sedang
dibicarakan. Terlebih di dalam konteks Wedangan Teater yang salah satu titik
tumpunya ialah komunikasi.
Adalah sebuah “ketidakmungkinan”
untuk kita mampu untuk mengungkapkan suatu abstraksi sosial yang bernilai
universal dan esensial. Tetapi pada saat yang sama kita takkan sanggup
menghindarkan diri untuk memperkatakan persoalan tersebut. Untuk itulah ada
dialog untuk menjembatani “ketidakmungkinan” itu. Sebab itu saya pun juga
setuju kepada mas Dodok bahwa identitas tidak akan bersifat esensial dan
universal.
Saya membuka dengan tulisan
di atas tanpa pusing dan saya anggap sebagai cara saya berterimakasih terhadap
kesudian bung dan nona menuliskan acara wedangan teater dan inilah dialog saya.
Rasanya masih berwedangan
teater.
Saya tidak tahu apakah
tulisan dari mas Dodok dan Imamah lahir setelah melalui persinggungan dengan
tulisan-tulisan saya sebelumnya. Yang jelas, tulisan saya kali ini lahir sebab
kedua tulisan tersebut. Tulisan mas Dodok, adalah bagian dari dialog wedangan
teater, meski telah berada di luar jam acara. Sebagaimana juga tulisan dari
notulen acara, yakni Imamah, yang juga saya baca malam ini. Juga beberapa
komentar panjang yang menanggapi tulisan saya (mas Popo, mas Pur, mas Bei, dll).
Dialog-dialog tersebut saya dapati berwujud tulisan yang memiliki sifat yang
membawa sebuah peristiwa di satu masa ke beberapa masa yang berbeda (sekarang
dan esok). Itulah pemaknaan saya terhadap dialog-dialog di dalam catatan
tersebut. Ini kali pertama saya merasakan situasi seperti ini di dalam konteks
perteateran Surakarta.
Bukan berarti adalah klaim
bahwa ini pertama kali.
Sudah pasti akan ada yang
berkata “dulu itu sudah pernah”. Sebagaimana sekitar 3 tahun yang lalu pernah
saya mengunjungi seorang penulis untuk menyampaikan harapan; agar kawan-kawan
penulis sudi menjadikan teater sebagai salah satu wilayah tulisannya. Tetapi
jawaban yang saya dapat; dulu itu sudah pernah. Maka saya pulang dan menyampaikan
pada kelompok saya untuk membuat blog dan menuliskan sendiri catatan teaternya.
Dan dalam kesempatan catatan ini, saya sampaikan, mari kita menuliskan catatan
teater di sekitar kita.
Begitu juga, tentang wacana
Wedangan Teater, tanggapan berupa “dulu sudah pernah” juga muncul. Bukan
berarti menutup diri dengan sejarah, tetapi setahu saya, saat ini perlu dicari
lagi formula dialog penjembatan untuk merayakan perbedaan-perbedaan persepsi
mengenai teater secara terbuka dan sehat dengan artikulasi zaman ini. Dan pemaknaan terbuka dan sehat
tersebut saya kembalikan kepada Wedangan Teater dan benak masing-masing untuk
bebarengan mencarinya.
Salah satu usaha tersebut
barangkali, melalui catatan.
Berangkat dari sifat
wedangan teater yakni membuka kemungkinan. Maka salah satu kemungkinan tersebut
yang ternyata lahir adalah catatan-catatan. Sebagaimana tulisan-tulisan dari
orang-orang yang saya sebut di atas, maka kemungkinan yang mungkin bisa
berlanjut adalah dimulainya dialog-dialog teater berupa catatan. Seperti halnya
tulisan ini yang berdialog dengan tulisan mas Dodok. Saya rasa itupun masih
merupakan wedangan teater yang telah lepas secara ruang dan waktu tetapi masih
tetap konteks, dan berangkat dari hal yang sama.
Wedangan Teater dapat
berupa dialog melalui catatan.
Jika tidak boleh dikatakan
sebagai wadah dari catatan-catatan teater, setidaknya bisa kita ambil polanya
saja. Yakni saling mencatat dan menanggapi peristiwa atau gagasan teater di
wilayah Surakarta dalam bentuk tulisan. Jika hal tersebut dapat berlanjut dan
tidak menutup kemungkinan untuk berkembang mengangkat tema lain. Sehingga
pertukaran pikiran dan gagasan dapat terus berlangsung di luar sebuah acara
tetapi tetap berada di dalam iklim teater Surakarta. Bermanfaat atau tidaknya
biar mahkamah waktu yang memutuskan.
Demikian catatan kedua saya,
adalah berupa tanggapan dan harapan. Meskipun nilainya teramat subjektif, tetap
berani saya utarakan sebagai dukungan saya atas perayaan persepsi-persepsi yang
berbeda. Dan kutulis dengan perasaan bahagia, sebagaimana kata pak Gigok
kemarin yang mengajak kita belajar Teater dengan senang dan bahagia.
Mari bahagia bung!
Pasar Bubrah, 22 Feb. 18
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment