Bahwa bukanlah
kegagalan pembangun atau kegagalan modernisasi yang menakutkan, namun justru
keberhasilannya. – Wolfgang Sach
(1992) –
Keberhasilan modernisasi yang sedang bergulir ini akan
menyeragamkan dunia dalam satu pandangan, yakni pandangan barat. Penyeragaman
itu artinya akan menghilangkan kebudayaan-kebudayaan yang beraneka ragam,
termasuk kebudayaan kita yang asli.
Bukan tidak beralasan ketakutan yang dikemukakan oleh
Wolfgang tersebut. Tahun 1992 telah ia kemukakan hal tersebut, dan sampai
sekarang untuk sekedar terbersit di benak saja kita belum. Padahal modernisasi
yang sampai sekarang bergulir telah dikritik sejak 1980 oleh sebagian besar
para ahli teori Pasca Pembangunan (termasuk Wolfgang). Tahun 1980, mereka
menyatakan bahwa pembangunan (yang sampai sekarang masih berlangsung) telah
usang dan menuju kebangkrutan sehingga memerlukan alternatif baru.
Teori
Pasca Pembangunan menyajikan pemikiran bahwa pembangunan harus memperhatikan
keadaan konteks lokal, budaya, dan sejarah.
Indonesia
Membaca ketakutan Wolfgang dan melihat realitas
kebudayaan Indonesia sekarang, nampaknya modernisasi semakin menampakkan taring
keberhasilannya. Tetapi kenapa kita tidak merasa takut, padahal adalah kita si
pemilik kebudayaan yang digrogoti oleh modernisasi yang tengah digulirkan dunia
barat itu.
Kenapa
kita tidak takut? Ada dua kemungkinan, yakni kita adalah pemberani atau
keterlaluan bodoh.
Kita tidak takut bahasa-bahasa daerah yang mulai hilang.
Lihatlah baliho-baliho bertuliskan
istilah-istilah asing dengan congkaknya mengangkangi bahasa-bahasa daerah, dan
kita lumrahkan hal itu. Berkembang pula kecenderungan menstratakan bahasa
daerah di struktur bawah, di bawah Bahasa Indonesia yang berada di bawah Bahasa
Inggris. Ngeri, tak ada yang mengkritisi bagaimana Televisi menebar paradigma
Bahasa Jawa sebagai bahasa kelas rendah.
Kita tidak peduli dengan karya-karya seni kebudayaan asli
kita yang bahkan untuk memiliki cita rasa menikmatinya saja kita sudah tidak mampu
apalagi kemampuan untuk menciptanya. Kebudayaan asli direduksi ke dalam slogan,
museum, dan tempelan upacara penyambutan pejabat.
Jika
keadaan diteruskan, maka akan lahir generasi yang alpa dari kebudayaan asli,
tidak berkarakter, lalu tak mampu mencipta, hanya membeli dan membeli.
Apa jadinya jika kita tidak mewarisi kebudayaan asli?
Lahirlah kita menjadi masyarakat konsumen dari kebudayaan luar yang menjajah
atau menghegemoni. Terus kita akan mengekor sampai kapanpun, karena mereka
pemilik kebudayaan dan kita hanyalah peniru.
Sangat disayangkan, karena nenek moyang sebenarnya tidak
meninggalkan suatu keadaan yang kosong budaya. Banyak peninggalan-peninggalan
leluhur yang merupakan puncak pencapaian jaman, tetapi sikap kita justru
merendahkan dan memngambil langkah untuk meninggalkan. Kita memilih segala yang
bukan dari kita, kita sukai, kita puja, kita beli ! Sedang yang sudah kita
punyai malah kita buang.
Semua
telah dirancang, semua telah diprogramkan oleh negara-negara barat, melalui
modernisasi.
Inilah Indonesia kini ! Dalam keadaan yang telah diramalkan
oleh Wolfgang, dan akan terus berjalan di ambang keadaan yang ditakutkan
Wolfgang, yakni keberhasilan modernisasi yang artinya kemusnahan kebudayaan
kita.
Hancur
budaya kita, maka akan hancur segala di dalamnya !
No comments:
Post a Comment