“Hlo kan saya tidak pakai layanan itu, kok disuruh bayar, ya
tidak mau lah saya”
“Tapi, Pak, di tagihan sudah tertera bahwa Bapak memakai
layanan tersebut”
“Kamu sarjana ?”
“Iya, Pak”
“Apa Sarjana memang didik tuli ? Saya kan sudah katakan,
bahwa saya tidak pernah memakai layanan tersebut, dan bahkan semua layanan yang
ada sudah diputus semenjak tanggal 1, kok saya dibebankan pembayaran, kan tidak
logis”
“Tapi, Pak..”
“Waaah tuli betul saudara ini, saya tidak memakai layanan
itu, kok ngeyel, sekarang kamu cek semua akses di layanan saya, kamu prin dan
saya kepingin melihat”
“Baik, Pak, tunggu sebentar”
Terdengar oleh Slamet sayup-sayup pertengkaran yang terjadi
antara seorang Bapak dan pelayan sebuah kantor internet pasca bayar. Slamet
yang lontang-lantung dirumah, di perintahkan oleh Omnya untuk membayar tagihan
telepon dan internet, sekalian jalan-jalan pikirnya. Bapak yang tadi
marah-marah menghampiri Slamet dengan muka yang masih kecut.
“Mas, disini keperluannya apa ?” Tanya kepada Slamet,
seketika dengan sedikit gugup Slamet menjawab.
“Membayar tagihan, Pak”
“Mas, Mas itu masih muda, harus mulai kritis, ini kantor
kapitalis, kalau Mas tidak kritis dan detail melihat tagihan, Mas bisa
tertipu!”
“Masa kantor begini bagus, bersih, rapi, wangi kok penipu,
Pak, itu Mas dan Mbaknya yang melayani bajunya bagus-bagus, masak nipu Pak ?”
“Waaaah, Mas pasti orang baru di Ibu Kota, dari desa pasti. Yak
an ? , Jangan mudah tertipu dengan dasi dan pakaian rapi, Mas, ini semua
penyamaran, sama seperti di film-film detektif itu, penyamaran. Perah liat film
detektif kan ?”
“Pernah, Pak, film Conan”
Slamet menjawab asal saja, karena malas dan ingin segera
mengakhiri percakapan dengan seorang yang menyeramkan itu, berambut gondrong
dikucir, suara serak yang bikin sakit kuping. Tapi, sialnya lelaku paruh abad
itu masih nyrocos saja.
“ Ya itu juga detif, Mas. Mereka juga sama, menyamar, dengan
pakaian rapi, tapi maling, Mas! Masa, wong saya itu tidak pernah merasa
menyetujui akses layanan telepon gratis, kok tiba tiba di bebankan tagihan itu,
kan tidak wajar, Mas! Dan dikritik kok malah ngotot, dan lagi, Mas, layanan
saya sudah diputus sebelas hari, kok masih disuruh bayar! Gila kan ? itu gila !
dikantor sebagus dan sebesar ini, masa ya kesalahan seperti itu bisa terjadi !
Bayangkan, kalok itu orang kaya yang kena, ya bayar saja, paling berapa seratus
ribu, hla saya ini kere, saya pilih paket saja yang paling murah. Untung saya
kere, Mas, jadi saya kritis, kalau kaya, kepala saya mungkin tumpul, Mas!”
Slamet ndak habis pikir, wong kere kok untung, siapa yang
gila ? begitu pikir Slamet dalam hati!
“ Pak, silahkan duduk kembali disini, sudah saya prink an”
Bapak itu dipanggil, dan Slamet pun lega tidak mendengar
suara serak itu lagi.
“Iya Pak, kami meminta maaf, ternyata memang kesalahan dari
kami”
“ Tadi ngotot, sekarang minta maaf, permasalahannya bukan
siapa yang salah, Mas! Tapi kenapa ini bisa terjadi di perusahaan sebesar ini ?
Nasional hlo ini ! Gila ! Sengaja ? Mau mengeruk untung lebih lagi ? Ini bukan
kali pertama, Mas ! Saya sebenarnya kepingin menuntut, tapi paling juga mentok
di meja birokrat, nanti bisa-bisa saya di tuduh gila, ya kan ? Jangan senyam
senyum saja, kamu ndak suka kan saya marah-marah seperti ini ? terpaksa kan
senyummu, kalau ndak senyum kamu dipecat to ? Capek kan kamu denger orang-orang
ngomel kayak saya tiap hari ? berapa gajimu ? mepet kan ? tapi tekananmu begini
besar kan ? menghadapi langsung pelanggan, dimaki, capek ndak kamu dimaki tapi
harus senyum ? padahal bukan salahmu, Mas ! Salah Bos mu yang kemaruk, yang
pegen terus untung ! Ini namanya kapitaliseme Mas ! Kamu dianggap buruh dan
kamu seperti robot ! Kamu sekolah lama dan mahal cuma untuk saya maki yang
bukan kesalahan kamu ! terima tidak ? Tidak kan ? apa ayo berantem ? Tapi nanti
kita masuk penjara ! repot kan ! Ini namanya kapitalisme Mas ! Saran saya kamu
mending keluar saja, kalau tidak 2 tahun lagi kamu sakit stroke !
Hahahahahahaha”
Laki-laki itu terbahak-bahak, dengan serak dan kerasnya,
Slamet bingung, wong tadi marah kok
tiba-tiba terbahak-bahak, sampai batuk-batuk. Apa dia gila ?! ‘Ah Zaman Edan
ini!!!” Begitu gumam Slamet.
“Yok, Mas, saya pulang dulu, sudah plong hati saya
teriak-teriak tadi, kamu juga nanti boleh teriak-teriak seperti itu, biar tidak
gila di Ibu Kota ini”
Sambil lalu Bapak-Bapak itu pergi tanpa mendengar penjelasan
lebih lanjut lagi dari pelayan.
Klaten, 20 April 2016
No comments:
Post a Comment