Duduklah slamet di serambi rumah,
setelah tiba Ia di rumah Omnya. Setelah membuat kopi dan berganti baju, Ia
selonjoran. Sambil menghisap kretek, pula Ia menghisap bau-bau Ibu Kota yang
masih terasa asing bagi penciumannya.
Melihat gedung-gedung menjulang
menantangi langit, kepulan asap-asap kendaraan bermotor tidak begitu kentara
dalam wujud, tapi terasa sesak memenuhi nafas. Slamet sedikit meraba-raba apa
itu Ibu Kota, seperti apa, dan bagaimana nanti takdir akan membawanya.
Disela-sela asap rokok yang
berhembus, ada seorang tetangga depan rumah dengan gang sempit itu membuka
pintu, Slamet seperti biasa dengan sigap melebarkan pipinya untuk sedikit
membuka mulut dengan gigi kekuningannya, senyum selebar yang Ia mampu dan bisa,
untuk menjangkau mata tetangga tersebut sehingga sang tetangga mengerti Slamet
ingin berusaha menyapa dan seraya mengucap, “sugeng…eh selamat siang, Pak”
“Oh ya, siang Mas”
Seucap itu saja yang Slamet terima,
tidak lebih dan kurang, Slamet kecewa, baru kali ini Ia kecewa lemparkan senyum
dan sapa kepada orang. Begitu saja? gumam Slamet dalam hati, belum selesai
kecewanya, lewat lagi orang, lebih muda dari yang sebelumnya, untuk menambal
rasa kecewanya, Slamet lebih bersemangat lagi, kali ini bukan senyum, tapi
tertawa kecil, mulutnya dibuka seluruh, supaya kelihatan ramah dan bahagia,
seraya “Selamat pagi, Mas!” Slamet sampai tidak sadar Ia sedikit teriak. Pemuda
itu diam, tanpa seucap apa, tanpa menoleh. Mungkin Slamet salah perhitungan,
atau mulutnya kurang lebar, atau apa ? Tapi raut muka kesal tak bisa
disembunyikannya.
“Kenapa, Met ?”
“Kok saya disini menyapa orang-orang
semua cuek ya ? tidak seramah di desa, senyum saya diabaikan, tidak dibalas
dengan ramah, saya jengkel!!”
“Ini Ibu Kota, Met, janagan berharap
ketemu senyum gratis, dulu waktu om tiba disini, sama, Om juga kaget, tidak ada
senyum yang lebar disini, semua seadaanya, kalau tidak kenal sekali, apalagi
tidak ada urusan yang berkaitan dengan ekonomi, ya jangan berharap dapat
senyum, disini senyum itu bayar, datang saja ke mini market, mal-mal itu, atau,
ya gedung gedung yang memungkinkan kamu berbelanja, kamu akan menemui senyum,
semakin bergaya lagakmu, semakin lebar senyum mereka”
Sedangkan saat senyum, ada aliran
darah yang mengendor, syaraf jadi tidak tegang, muatan-muatan aura negative hilang,
berganti muatan aura positif, hanya senyum, belum tertawa, apalagi tertawa
terbahak-bahak. Betapa bergunanya senyum, bahkan di suatu pulau lain, ada
terapi tertawa, dan bayar! Betapa hilangnya diri kita, betapa tenggelamnya diri
kita kepada peradaban hingga senyum dan tawa saja sulit untuk ditemukan, betapa…betapa…ah,
Slamet berharap Ia pulang ke Desa. Tapi…tapi baru satu hari Slamet singgah di
Ibu Kota, masak Slamet pulang tanpa hasil, ya gengsi dong sama tetangga,
apalagi Wardi yang sudah sukses pulang dari Ibu Kota. Wah !!!!
4 Maret 2016, Klaten.
No comments:
Post a Comment