Sunday, 14 August 2016

Mas Bei menantang hujan di Klodran.


Klodran, 16 Juli 2016. Tepat pukul 18.45, hujan turun rintik, para pemain sedang melakukan make up, dan para awak pementasan lain sedang santai menyeduh kopi, merokok, omongan ngalor ngidul, nguwang abab. Turunnya hujan bukan menjadi hal pertama kali bagi kami (Teater Sandilara) dalam melakoni sebuah prosesi pementasan, dan bukan pertama kali pula kami tanpa mempersiapkan rencana “kalau turun hujan” , meski panik, hari itu kami selalu percaya, bahwa hujan adalah baik, karena toh hujan sangat ditunggu oleh petani, dan ribuan orang yang sangat membutuhkan hujan yang akhirnya akan meresap ke tanah, dan di butuhkan untuk berbagai kebutuhan orang banyak.

Maka, meski dengan sedikit gugup, kami terus percaya bahwa Tuhan selalu bermaksut baik dalam tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Sembari menunggu para pemain siap dengan dandannya Mas Bei duduk di tengah jalan, menatap langit dan merasakan hujan, “menantang hujan” katanya, tapi bukan menantang dalam arti adalah berani, melainkan adalah cara meminta dengan metode lain, cara menundukan diri dengan maksut yang sama, meminta kemurahan Tuhan, bahwa memang kalau hujan harus turun, biarlah turun, kalau memang harus deras ya deras saja, kami tak ingin mendikte Tuhan barang sedikitpun. Tapi yang kami minta adalah, kebahagiaan, keceriaan, manfaat, yang semoga melingkupi pentas yang akan dan harus terjadi pada malam itu, karena kami telah menyanggupi akan berpentas pada malam itu, jadi toh kami yakin Tuhan tidak akan mengecewakan penonton pada malam itu, meski harus turun hujan dan bahkan badai. Kami percaya, bahwa di balik maksut baik akan terjadi hal baik.

Dan terpaksa hujan harus reda, tinggal sisa basah di jalan, tentunya bukan karena Mas Bei, tapi Tuhan ingin berhenti, ya berhenti. Yang dipahami Mas Bei sebagai, bahwa memang harus turun hujan, agar hawa kembali segar, agar jalan tidak penuh dengan debu, agar kalau-kalau ada angin yang cukup besar, penonton tidak kelilipen matanya oleh debu jalanan, agar tidak sumuk. Begitulah Mas Bei memaknai turunya hujan, sebagai berkah untuk pementasan kami pada malam itu.

Para penonton pun mulai berdatangan dari berbagai arah, anak-anak tidak mau tertinggal berada di garda terdepan untuk ikut menjadi saksi atas pementasan kami pada malam itu, beberapa lain asik diatas motornya, menggendong anak sambil menyuapi camilan, sudah macam pasar malam atau wayangan saja. Ada dua penjual kaki lima yang hadir, ikut meramaikan pementasan kami, anak-anak mengerubungi, asik jajan. Syukur, kalau hadirnya kami juga berarti rezeki bagai pihak lain, kami turut bahagia.

Para pemain mulai hadir pada posisi masing-masing. Suara Gamelan dari kelompok “Kurawa” mulai bertalu-talu, tanda akan di mulai pementasan, tanpa dikomando, penonton sudah faham, bahwa pementasan akan segera dimulai. Adegan pertama dimulai, diikuti adengan lain, adegan demi adegan dilewati, dalam setiap adegan muncul gelak tawa, celotehan penonton menanggapi para pemain, pemain dengan sedikit ragu dan malu mulai ikut panas, memunculkan improvisasi-improvisasi, mencoba mesra dan komunikatif dengan penonton.

Itu hal yang cukup baru yang dilakukan oleh kami, mulai menanggapi apa yang dicelotehkan penonton, mulai berinteraksi dengan penonton, mulai melibatkan penonton dalam pementasan. Yang dirasa kurang patut kalau dipraktekkan di kalangan akademisi, di gedung-gedung kesenian yang sewajarnya, tapi, mau tidak mau, di dalam dusun, pementasan teater tak ubahnya adalah ketoprak, adalah ludruk, yang aktor-aktornya harus pandai ber-improvisasi, ber-mesra-an dengan penonton, itu akan terlihat menarik, sama kalau di dalam ruang pertunjukan resmi, artistik yang luar biasa, dan musik yang “bersih” adalah sangat menarik, sama saja, keduanya adalah selara, dan selara ? ah tak tau kami siapa yang membimbing selera tersebut. Yang pasti, kami akan mencoba lentur, seperti air, yang akan ikut dalam setiap wadah yang kami tempati, dan yang semoga kami tidak lupa bahwa kami adalah air, kami adalah sebuah kelompok seni tetaer, tetap dalam idiom-idiom yang kami rasa ideal dalam proses pengerjaan sebuah pementasan, tidak melupakan penonton dan semoga kami pula tidak melupakan disiplin berkesenian yang ideal bagi kami.

Pementasan berakhir, tukang ketik naskah, 
sekaligus pembawa acara, mulai memperkenalkan satu persatu para yang terlibat dalam pementasan tersebut, dan syukur, para tukan foto dan video pun tidak lupa diperkenalkan. Dengan iming-iming pembagian stiker para anak kecil pun diundang maju ke depan, ditanyai mulai dari siapa para pamain yang baru saja berkenalan, siapa kami, apa judul naskah yang kami mainkan, dan syukur, kalau banyak dari mereka yang tidak ingat, lupa, salah dan ngawur, tetap dibagi stiker, karena salah adalah jalan menuju benar, dan ngawur adalah awal dari keberanian untuk merdeka, tapi setidaknya para bocah itu tau kalau salah, besok siapa tau benar, toh benar salah juga setipis rambut dibagi tujuh. Yang terpenting mereka sudah berani, dan mereka tidak ngamuk kalau dipersalahkan, itu sudah lumayan. Dan tanpa kami sangka, yang tidak berani maju ke panggung, yang malu, yang tidak punya kesempatan, setelah selesai mereka berebut stiker yang kami bawa, kami kaget dan bahagia, kami gembira, kalau di-rupiahkan tidak seberapa, tapi antusiasme meraka benar -benar tak kami sangka, sampai pada akhirnya ada seorang anak yang paling malu, diantar Ibunya mendatangi salah satu dari kami, anaknya kepingin stiker dan belum dapat, ah betapa bodohnya kami, betapa malunya kami, bahwa stiker itu habis, betapa pandirnya kami yang menyangka bahwa stiker itu tidak akan selaris pada malam itu. Anak itu lumayan kecewa, dan kami sangat kecewa, karena tidak dapat memenuhi permintaan yang begitu sederhana, beberapa lembar stiker.

Setelahnya kami melakukan ritual biasa, usung-usung, mengepak barang, gamelan, tata lampu dan setting panggung. Dan ada yang berucap “hari ini nampak berbeda, ada energi lain lagi yang hadir” begitu kata salah seorang pemain.  Memang selalu ada hal baru setiap pementasan yang terjadi, meski dengan naskah yang sama, tapi pasti tiap tempatnya membawa cerita lain lagi, membawa rindu lagi, membawa kenangan yang berbeda lagi. Mungkin, yang berbeda pada malam itu ialah bahwa para pemain mulai sadar kehadiran penonton, mulai menganggap penonton adalah juga bagian dari pementasan, mulai berinteraksi dengan penonton, meski dengan ragu-ragu dan malu. Namun, malam itu adalah sebuah pertanda bahwa kami terus belajar dan belajar, oleh adanya kemungkinan baru, oleh adanya peristiwa baru dan kejutan-kejutan baru yang hadir pada setiap pementasan. Meski malam itu kami sedikit kaku dan malu memulai interaksi dengan penonton, dan belum seluwes teater pendahulu-pendahulu kami yang berpentas pula di dusun-dusun, kami akan terus belajar dan mencoba, untuk menjadikan setiap pertunjukan kami adalah sebuah peristiwa, adalah sebuah kehadiran. Bukan sekedar ada, tapi hadir sebagai sesama manusia, sedulur, yang mencoba nyawiji dengan penonton.

Begitulah malam itu, mesra, permulaan baru lagi, kemungkinan baru lagi. Semoga kami masih terus memiliki kesempatan untuk membenahi apa yang kami rasa kurang dalam setiap pementasan. Semoga, kami hanya mampu semoga, dan kalian para pembacalah yang akan menjadikan nyata atas semoga ini.

Terimakasih telah membaca sampai akhir !!





No comments:

Post a Comment