Friday, 5 August 2016

Teater Sandilara : Masa Bermain !

23 Juli 2016, kembali naskah Mlarat dipentaskan ke 3 kalinya oleh Tetaer Sandilara yang betempat di Desa Dawan, Karangayar. Hari itu merupakan kali ketiga kami (Teater Sandilara) berpentas di tempat tersebut, 3 tahun lalu pentas pertama dengan judul ‘Geng Toilet’ waktu itu hujan turun cukup deras, kira-kira pukul 7 malam, dan baru reda sekitar pukul 8 malam, yang kedua adalah naskah ‘lelayu’ , ada cerita menarik pula, salah satu pemain kehilangan kendali dan set dengan bentuk warung ambruk saat pementasan sedang berjalan, dan akhirnya pemainpun saling berinisiatif untuk improvisasi, pentas berjalan terus, sebagaimana mestinya, penonton tetap saja riang dan gembira.

Namun, pada pentas ke tiga kami, dengan naskah Mlarat, ada hal yang lebih lagi tidak pernah kami sangka dan duga sebelum-belumnya, bermimpipun tidak. Pukul, 19.14 hujan turun rintik, kami menanggapinya dengan kewajaran, meski pula sedikit gugup. Gamelan-gamelan kami tutupi dengan alas sekenanya, agar tidak terkena hujan, kami berteduh, para pemain sedang asyik dengan make-up nya. Beberapa yang lain masih santai saja dengan menghisap rokok, penonton mulai berdatangan, sedikit kagum, hujan turun tapi penonton tetap saja hadir. Kami semakin terbakar.

“Jam 8 kita pentas” ada suara sedemikian, lantas kami siap-siap pada posisi masing-masing, pada tanggungjawab masing-masing. Gamelan di pindah, ditempat yang teduh, penonton bukannya makin surut, tapi makin banyak yang hadir. Hujan turun, tapi api malah semakin menyala, bau menyan semakin menyengat, menteror pemain, para awak pementasan pun juga penonton. Para pemain siap pada posisi masing-masing, sudah macam perdandingan bola, hujan bukan menjadi suatu alasan untuk gagal merumput pada malam itu.

Gamelan dipukul, hujan bukan makin surut malah semakin deras, penonton tidak beranjak ! gila ! Pemain memantapkan diri, satu demi satu adegan terlewati, di bagian tengah, hujan makin deras saja, penonton masih saja tetap tidak beranjak. Ada yang membawa paying, menggunakan alas untuk duduk yang dijadikan tutup kepala untuk beramai-ramai, ada pula yang rela ber-basah kuyup untuk mejadi saksi atas peristiwa kecil kami.

Jangan ditanya keadaan para pemain, mereka basah kuyup, ada satu yang menggigil akibat dingin, tapi, penonton tetap diam, menyaksikan, mereka tertawa, saling lempar omong, bebas. Malam itu sangat romantis khas bocah-bocah kampung, yang suka merayakan hujan, dengan bermain bola, menari, berlari, berteriak. Dan itu kami lakukan pada malam itu, bukan hanya kami pun juga penonton, kami semua seperti kembali ke umur 8 tahun, bebas, tanpa apa saja yang menjadi beban pada pikiran kami. Kami semua benar-benar seperti bocah, seperti kanak-kanak, yang dalam hal ini kanak-kanak adalah tidak terlalu dipusingkan akan berbagai macam hal tetek bengek urusan remeh temeh.

Bagaimana tidak, kami berpentas, di bulan-bulan dengan curah hujan yang pasti akan turun, tanpa adanya tenda, tanpa sewa pawang hujan, tanpa bikin rapat untuk membuat rencana “jika hujan nanti” , kalau hujan ya basah ! Sesederhana itu, tidak rumit, tidak pusing oleh rasa takut yang dimiliki oleh kebanyakan orang dewasa, terlalu banyak berimbang malah tidak bergerak.

Benar ! kami, Teater Sandilara adalah sekumpulan bocah ingusan, kami adalah kanak-kanak, setiap hari kami rasai adalah hari bermain, mencoba,mencoba, berjuang, mencari, terus mencari, sampai kami lelah nanti, sampai tubuh tak mampu lagi menopang jiwa kanak-kanak kami. Kami, Teter Sandilara menolak untuk menjadi dewasa, menolak menjadi penakut, pendendam, mudah marah, terlalu banyak berimbang.

Lihat itu, lihat anak anak kecil desekitar kalian, mereka belajar naik sepeda, jatuh, bahkan ada yang berdarah, menangis sebentar, lalu nekat mencoba naik sepeda lagi, ah gila ! Itu, lihat bocah-bocah itu, mereka berlari berebut layangan, sampai adu jotos di pematang, tapi besok berebut lagi dengan orang yang sama lagi, tapi paginya mereka berboncengan naik sepeda lagi, bersama, ke sekolah. Itu lihat bocah bocah itu, menyukai perempuan, tak dihiraukan, nekat cari perempuan lain, gila !

Biar saja kami akan jaga rasa kanak-kanak kami, kalau keputusan kalian adalah untuk menjadi dewasa, kami tidak akan juga ambil repot, tapi jangan pernah pula ambil repot terhadap masa kanak-kanak kami, karena kami ingin selamanya tertawa, di tengah kesedihan kami, di tengah ketiadaan kami, ditengah rasa cinta kami, di tengah lingkaran di malam hari, dengan dingin yang menusuk, tapi kami rayakan dengan sinar rembulan,  dan dengan tawa yang lepas. Tidak mengada-ada, tidak saling merendahkan untuk menjadi unggul. 

Silahkan saja tuduh kami adalah pelarian-pelarian! Memang, kami tengah lari dari sebuah kepungan norma yang sakit, kami tengah lari dari zaman yang semakin tidak beradab, kami tengah lari dari kejaran-kejaran kapitalisme, konsumerisme, adu domba dalam skala besar, dari ketidaksadaran masal akan nilai leluhur. Kami memang sedang lari hari ini, tapi kami lari untuk kembali, karena jalan yang kami pilih adalah jalan yang melingkar, maka kami sedang berlari untuk kembali, terus seperti itu, kami lari, dan kembali lagi pada masyarakat yang nyata, dan bukan masyarakat “quickount” !


Dan tak lupa, kami ucapkan, terimakasih sang pemimpin semesta alam, aku mencintaimu atas yang mereka kataka petaka malam itu !

No comments:

Post a Comment