23 Juli
2016, kembali naskah Mlarat dipentaskan ke 3 kalinya oleh Tetaer Sandilara yang
betempat di Desa Dawan, Karangayar. Hari itu merupakan kali ketiga kami (Teater
Sandilara) berpentas di tempat tersebut, 3 tahun lalu pentas pertama dengan
judul ‘Geng Toilet’ waktu itu hujan turun cukup deras, kira-kira pukul 7 malam,
dan baru reda sekitar pukul 8 malam, yang kedua adalah naskah ‘lelayu’ , ada
cerita menarik pula, salah satu pemain kehilangan kendali dan set dengan bentuk
warung ambruk saat pementasan sedang berjalan, dan akhirnya pemainpun saling
berinisiatif untuk improvisasi, pentas berjalan terus, sebagaimana mestinya,
penonton tetap saja riang dan gembira.
Namun,
pada pentas ke tiga kami, dengan naskah Mlarat, ada hal yang lebih lagi tidak
pernah kami sangka dan duga sebelum-belumnya, bermimpipun tidak. Pukul, 19.14
hujan turun rintik, kami menanggapinya dengan kewajaran, meski pula sedikit
gugup. Gamelan-gamelan kami tutupi dengan alas sekenanya, agar tidak terkena
hujan, kami berteduh, para pemain sedang asyik dengan make-up nya. Beberapa
yang lain masih santai saja dengan menghisap rokok, penonton mulai berdatangan,
sedikit kagum, hujan turun tapi penonton tetap saja hadir. Kami semakin
terbakar.
“Jam 8
kita pentas” ada suara sedemikian, lantas kami siap-siap pada posisi
masing-masing, pada tanggungjawab masing-masing. Gamelan di pindah, ditempat
yang teduh, penonton bukannya makin surut, tapi makin banyak yang hadir. Hujan
turun, tapi api malah semakin menyala, bau menyan semakin menyengat, menteror
pemain, para awak pementasan pun juga penonton. Para pemain siap pada posisi
masing-masing, sudah macam perdandingan bola, hujan bukan menjadi suatu alasan
untuk gagal merumput pada malam itu.
Gamelan
dipukul, hujan bukan makin surut malah semakin deras, penonton tidak beranjak !
gila ! Pemain memantapkan diri, satu demi satu adegan terlewati, di bagian
tengah, hujan makin deras saja, penonton masih saja tetap tidak beranjak. Ada
yang membawa paying, menggunakan alas untuk duduk yang dijadikan tutup kepala
untuk beramai-ramai, ada pula yang rela ber-basah kuyup untuk mejadi saksi atas
peristiwa kecil kami.
Jangan
ditanya keadaan para pemain, mereka basah kuyup, ada satu yang menggigil akibat
dingin, tapi, penonton tetap diam, menyaksikan, mereka tertawa, saling lempar
omong, bebas. Malam itu sangat romantis khas bocah-bocah kampung, yang suka
merayakan hujan, dengan bermain bola, menari, berlari, berteriak. Dan itu kami
lakukan pada malam itu, bukan hanya kami pun juga penonton, kami semua seperti
kembali ke umur 8 tahun, bebas, tanpa apa saja yang menjadi beban pada pikiran
kami. Kami semua benar-benar seperti bocah, seperti kanak-kanak, yang dalam hal
ini kanak-kanak adalah tidak terlalu dipusingkan akan berbagai macam hal tetek
bengek urusan remeh temeh.
Bagaimana
tidak, kami berpentas, di bulan-bulan dengan curah hujan yang pasti akan turun,
tanpa adanya tenda, tanpa sewa pawang hujan, tanpa bikin rapat untuk membuat
rencana “jika hujan nanti” , kalau hujan ya basah ! Sesederhana itu, tidak
rumit, tidak pusing oleh rasa takut yang dimiliki oleh kebanyakan orang dewasa,
terlalu banyak berimbang malah tidak bergerak.
Benar !
kami, Teater Sandilara adalah sekumpulan bocah ingusan, kami adalah
kanak-kanak, setiap hari kami rasai adalah hari bermain, mencoba,mencoba,
berjuang, mencari, terus mencari, sampai kami lelah nanti, sampai tubuh tak
mampu lagi menopang jiwa kanak-kanak kami. Kami, Teter Sandilara menolak untuk
menjadi dewasa, menolak menjadi penakut, pendendam, mudah marah, terlalu banyak
berimbang.
Lihat
itu, lihat anak anak kecil desekitar kalian, mereka belajar naik sepeda, jatuh,
bahkan ada yang berdarah, menangis sebentar, lalu nekat mencoba naik sepeda
lagi, ah gila ! Itu, lihat bocah-bocah itu, mereka berlari berebut layangan,
sampai adu jotos di pematang, tapi besok berebut lagi dengan orang yang sama
lagi, tapi paginya mereka berboncengan naik sepeda lagi, bersama, ke sekolah.
Itu lihat bocah bocah itu, menyukai perempuan, tak dihiraukan, nekat cari perempuan
lain, gila !
Biar
saja kami akan jaga rasa kanak-kanak kami, kalau keputusan kalian adalah untuk
menjadi dewasa, kami tidak akan juga ambil repot, tapi jangan pernah pula ambil
repot terhadap masa kanak-kanak kami, karena kami ingin selamanya tertawa,
di tengah kesedihan kami, di tengah ketiadaan kami, ditengah rasa cinta kami,
di tengah lingkaran di malam hari, dengan dingin yang menusuk, tapi kami
rayakan dengan sinar rembulan, dan dengan tawa yang lepas. Tidak mengada-ada, tidak saling merendahkan untuk menjadi unggul.
Silahkan
saja tuduh kami adalah pelarian-pelarian! Memang, kami tengah lari dari sebuah
kepungan norma yang sakit, kami tengah lari dari zaman yang semakin tidak
beradab, kami tengah lari dari kejaran-kejaran kapitalisme, konsumerisme, adu
domba dalam skala besar, dari ketidaksadaran masal akan nilai leluhur. Kami
memang sedang lari hari ini, tapi kami lari untuk kembali, karena jalan yang
kami pilih adalah jalan yang melingkar, maka kami sedang berlari untuk kembali,
terus seperti itu, kami lari, dan kembali lagi pada masyarakat yang nyata, dan
bukan masyarakat “quickount” !
Dan tak
lupa, kami ucapkan, terimakasih sang pemimpin semesta alam, aku mencintaimu
atas yang mereka kataka petaka malam itu !
No comments:
Post a Comment