Langit mendung, kilat bergejolak,
dan nampaknya, hujan akan memuntahkan
kepastian!
Hhmm?!
Untuk apa harus takut menghadapi sebuah kepastian? Sepertinya aku harus belajar
berpura-pura diam hingga akhirnya akan diam tuk selamanya. Kini tiada
lagi satu halpun yang kumiliki dan tiada satupun
yang musti diperjuangkan, harapan itu kini tinggal sebuah cerita;
tentang penantian akan hadirnya kepastian yang telah pasti dan musti
dirasakan oleh setiap makhluk yang bernyawa. Kenapa
harus takut kehilangan sementara sedari awal kita tak pernah memiliki apa-apa, kenapa
harus menyembunyikan dengan seribu dusta bila nantinya
segala kebenaran akan terungkap dan justru semakin menyakitkan ketika terbongkar.
Mungkin ini tulisan terakhirku,
mungkin juga bisa menjadi yang pertama siapa yang tahu? Lagipula, aku tak
memiliki satupun alasan untuk tetap mempertahankan apapun atawa siapapun yang kucintai, tidak sesuatupun.
Mungkin, aku ini orang terbodoh yang pernah dilahirkan. Orang bodoh yang melulu mengharapkan kebahagiaan
akan hadir dan menjamahku, biarpun
aku tahu dan mengerti bahwa mimpi semacam itu
hanyalah dusta. Hidup ini terlalu singkat, bila
hanya digunakan untuk melakukan hal yang tak berguna lagi membuang-buang waktu.
Sementara waktu adalah harta satu-satunya yang kumiliki saat ini. “Aku berada
di titik nadir”.
Semua ini seharusnya tak perlu
terjadi, buat apa Tuhan menyiksaku dengan berbagai
macam hal dan peristiwa yang tak harusnya kuharap dan impikan, karena akhirnya semua hal yang berawal dari ketiadaan akan
berakhir kepada ketiadaan, lantas dosa apa yang telah kuperbuat hingga Tuhan
menyiksaku dengan umur panjang. Jika boleh meminta,
aku akan meminta
untuk tak pernah dilahirkan, dan jika boleh memohon aku akan memohon kepastian ini
dipercepat datangnya, semua yang berawal dari tiada memang haruslah kembali ke
ketiadaan.
Impian, harapan, cita-cita, hanyalah
fatamorgana yang begitu menyilaukan, silau dan memabukkan. Hingga
terkadang kita lupa bahwa semuanya akan kembali kepada hari yang biasa, aku
memang sudah tak memiliki impian apapun saat ini, selain pergi meninggalkan
kalian semua dalam kedamaian dan terlepas
dari kedustaan. Yaa, kedustaan yang selalu aku ucapkan, hanya untuk menghibur
hatiku, sendirian yang dalam penantian. Kedustaan yang membuatku tersadar tuk
melepaskan semua mimpi dan cita-cita, kedustaan yang selalu membuatku
bersemangat hanya untuk menciptakan topeng suka cita agar kegundahan dan
kegelisahan ini tak mempengaruhi mereka-mereka yang tak tahu menahu tentang diriku.
Dan diriku, yang selama ini hanya berada dalam penantian tentang kepastian akan
hadirnya ketetapan dari-Nya, ketetapan yang akan membuat mereka kecewa,
patah hati, tak bersemangat dan ingin menemaniku selama yang mereka bisa, namun
itu semua hanyalah topeng-topeng dari
mereka yang ingin menghiburku dalam menanti terbitnya gelap.
Tidak, tentu tidak. Tidak perlu aku
melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri terhadap diriku sendiri. Sebab, segala
kepastian itu sebentar lagi akan datang kepadaku tanpa perlu kukejar. He..he..he.. tawa getir yang membahana dalam jiwaku inilah yang
membuatku mengerti. Setidaknya biarpun aku harus pergi, ada beberapa hal yang
harus kulakukan sebelum pergi ini jadi realita.
Aku cuma
berdo’a ketika kepastian itu datang, aku benar-benarlah sendiri, hingga
tak ada satu manusia-pun yang menjadi repot karena pergiku itu,
sungguh takkan merubah dunia ini menjadi lebih baik, atawa lebih buruk. Semua kan terasa romantis, indah, biarpun
yang ada hanya kesunyian. Sunyi
yang membungkamku dalam kegelapan yang abadi. He..he..he.. kunikamti rasa
pusing yang teramat dahsyat yang membenamkanku dalam imaji tentang cinta yang
romantis, tentang kebahagiaan yang tiada akhir, dan tentang kepastian yang
sebentar lagi datang.
Aku tak lagi dapat berpikir tentang cinta
ataupun berpengharapan untuk hadirnya, aku juga tak lagi berharap tentang dunia sempurna,
yang kelak akan ditinggali kita berdua, sementara kita terduduk melihat
anak-anak kita bermain dengan riang, dan menikmati secangkir kopi hitam ataupun
teh panas sembari diiringi dengan obrolan-obrolan yang renyah dan menggugah
semangat kita untuk tetap bertahan hidup dalam dunia yang pasti,
dengan segala ketidakpastiannya.
Hhmm, iya-iyaa!! mungkin kau
memang benar Cukring, “Semua hal di dunia ini
akhirnya akan menjadi sesuatu yang lalu!”. Hal
yang lalu, yang takkan layak lagi diperbincangkan ataupun dikenang, karena
memang tak pantas buat itu. Hanya akan meninggalkan bekas luka
dan sakit hati, hanya akan memperburuk keadaan dengan
meninggalkan sayatan-sayatan dibatinku, sebab aku telah tak berdaya dan terkalahkan
oleh kepastian itu.
Aku telah memiliki rencana, akupun
telah memiliki selembar kertas putih dan pena yang akan kutuliskan didalamnya
sebuah nama. Yaa, mungkin hanya sebuah nama, nama seseorang
yang sangat kucintai untuk saat ini. Namun, apalah dayaku. Aku benar-benar
ingin membahagiakannya kendatipun aku hanyalah orang terburuk buat
kelangsungan hidupnya, dan bila dia menerima tawaran bodohku, tentulah yang
didapatinya hanyalah penyesalan. Penyesalan tiada akhir yang akan membawanya
jatuh sakit kemudian menyusul orang-orang macam aku yang telah menerima
kedamaian.
Aaargh..! Tak
terasa kini pipiku telah basah mengurai lagi segalanya. Segala pengalaman yang
menyesakkan, namun telah kupilih tuk kulakukan agar aku tak lagi membuatnya
menderita. Keputusasaanku, kuingin
mengajaknya membicarakan semuanya, namun selalu tak
pernah jadi suatu hal yang baik dan menyenangkan, dia
begitu jujur dan bodoh, meski dia tahu kejujurannya hanya akan menambahkan luka
didalam hatiku, dia tetap saja akan mengucapkannya, karena dia tak tahu
ketakutan macam apa yang menghantuiku dan dengan segera njelma jadi kepastian
yang tak lagi dapat dipungkiri dunia ini. Aduuh.. duuh.. [agak merintih], sepertinya
sakit kepalaku makin mejadi-jadi dan pandanganku mulai kabur menatap tulisan-tulisan
yang sepertinya tidak akan rampung kutulis.
Heei, sebelum aku mendapati
kepastian itu bolehkah aku bertanya tentang apa-apa yang harus kuperbuat dan
kupersiapkan untuk menerima takdir? Tenang saja, hanya pertanyaan simpel yang
takkan membuatmu menjadi sakit kepala macam diriku,
pertanyaan Pertama: pantaskah manusia hidup, sementara sepanjang hidupnya hanya
akan membuat kerusakan, dan saling
menyakiti satu sama lain? Kedua: Apakah di
dunia ini ada sebuah kebahagiaan yang benar-benar membuat seorang manusia
merasa bahagia? Ketiga: Dapatkah seorang manusia hidup tanpa mengenakan
topeng-topeng kepalsuan dan dusta? Keempat: Dimanakah perjalanan manusia akan
berlanjut, ketika seorang manusia telah
menemui ketetapannya? Dan terakhir: Apakah saat seorang manusia menghadapi
ketetapan yang sebentar lagi menghampirinya dengan simpul senyum yang begitu
indah, sesuatu yang dicintai dan diinginkannya akan datang lagi?
He..he..he.. Lalu aku mulai
berpikir. Gila!. Andai saja aku dapat menikmati ulang tahunku yang
ke-23, atau aku masih diberi kesempatan oleh-Nya
untuk melihat kembang api saat tahun baru tiba. Atau mungkin, aku akan disiksa
dengan umur panjang yang kunikmati sendiri dan benar-benar sendiri, hingga
akhirnya aku lupa bagaimana cara untuk berkomunikasi
dengan makhluk lain. Lantas hal apakah yang akan kulakukan tuk mengisi
penantian yang benar-benar melelahkan dan memuakkan itu?
Ugh!..kini kesadaranku mulai hilang, dan penglihatanku telah sepekat malam, malam yang begitu kelam tanpa
ada satupun cahaya dari
bintang-bintang. Urrghh!! suaraku makin serak.. Dadaku
tiba-tiba menjadi sesak, semakin sesak, semakin sesak, sesak yang tak dapat kugambarkan
dengan ungkapan apapun. Lalu, tibalah udara di kerongkonganku, lalu kuucapkan
kedua kalimat secara terbata-bata…Dan, bayangmu muncul, lagi, lagi, dan
lagi…ingin kuucap kata berpisah, “selamat tinggal!, selamat jalan!” atau “terima kasih!” namun lidahku
kelu, mati rasa, dan telah kaku nampaknya, kemudian… Bruuk!!!... badanku rebah...
Lamat-lamat, kudengar langkah kaki seseorang, setengah
berlari, menghampiri tubuhku, diiringi hujan yang dibawa dibelakangnya…
***
Sekretariat Teater Tesa, 11 – Maret – 2015.
No comments:
Post a Comment