Wednesday, 3 August 2016

Cerpen: Impian dan Kepastian (A. Nain)

Langit mendung, kilat bergejolak, dan  nampaknya, hujan akan memuntahkan kepastian!
Hhmm?! Untuk apa harus takut menghadapi sebuah kepastian? Sepertinya aku harus belajar berpura-pura diam hingga akhirnya akan diam tuk selamanya. Kini tiada lagi satu halpun yang kumiliki dan tiada satupun yang musti diperjuangkan, harapan itu kini tinggal sebuah cerita; tentang penantian akan hadirnya kepastian yang telah pasti dan musti dirasakan oleh setiap makhluk yang bernyawa. Kenapa harus takut kehilangan sementara sedari awal kita tak pernah memiliki apa-apa, kenapa harus menyembunyikan dengan seribu dusta bila nantinya segala kebenaran akan terungkap dan justru semakin menyakitkan ketika terbongkar.

Mungkin ini tulisan terakhirku, mungkin juga bisa menjadi yang pertama siapa yang tahu? Lagipula, aku tak memiliki satupun alasan untuk tetap mempertahankan apapun atawa siapapun yang kucintai, tidak sesuatupun. Mungkin, aku ini orang terbodoh yang pernah dilahirkan. Orang bodoh yang melulu mengharapkan kebahagiaan akan hadir dan menjamahku, biarpun aku tahu dan mengerti bahwa mimpi semacam itu hanyalah dusta. Hidup ini terlalu singkat, bila hanya digunakan untuk melakukan hal yang tak berguna lagi membuang-buang waktu. Sementara waktu adalah harta satu-satunya yang kumiliki saat ini. “Aku berada di titik nadir”.

Semua ini seharusnya tak perlu terjadi, buat apa Tuhan menyiksaku dengan berbagai macam hal dan peristiwa yang tak harusnya kuharap dan impikan, karena akhirnya semua hal yang berawal dari ketiadaan akan berakhir kepada ketiadaan, lantas dosa apa yang telah kuperbuat hingga Tuhan menyiksaku dengan umur panjang. Jika boleh meminta, aku akan meminta untuk tak pernah dilahirkan, dan jika boleh memohon aku akan memohon kepastian ini dipercepat datangnya, semua yang berawal dari tiada memang haruslah kembali ke ketiadaan.

Impian, harapan, cita-cita, hanyalah fatamorgana yang begitu menyilaukan, silau dan memabukkan. Hingga terkadang kita lupa bahwa semuanya akan kembali kepada hari yang biasa, aku memang sudah tak memiliki impian apapun saat ini, selain pergi meninggalkan kalian semua dalam kedamaian dan  terlepas dari kedustaan. Yaa, kedustaan yang selalu aku ucapkan, hanya untuk menghibur hatiku, sendirian yang dalam penantian. Kedustaan yang membuatku tersadar tuk melepaskan semua mimpi dan cita-cita, kedustaan yang selalu membuatku bersemangat hanya untuk menciptakan topeng suka cita agar kegundahan dan kegelisahan ini tak mempengaruhi mereka-mereka yang tak tahu menahu tentang diriku. Dan diriku, yang selama ini hanya berada dalam penantian tentang kepastian akan hadirnya ketetapan dari-Nya, ketetapan yang akan membuat mereka kecewa, patah hati, tak bersemangat dan ingin menemaniku selama yang mereka bisa, namun itu semua hanyalah topeng-topeng dari mereka yang ingin menghiburku dalam menanti terbitnya gelap.
Tidak, tentu tidak. Tidak perlu aku melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri terhadap diriku sendiri. Sebab, segala kepastian itu sebentar lagi akan datang kepadaku tanpa perlu kukejar. He..he..he.. tawa getir yang membahana dalam jiwaku inilah yang membuatku mengerti. Setidaknya biarpun aku harus pergi, ada beberapa hal yang harus kulakukan sebelum pergi ini jadi realita.

Maka, jadilah aku yang sekarang. Seorang pria yang tak memiliki harapan apapun lagi tentang dunia. Seorang pria, yang tak lagi percaya tentang impian. Pria, yang telah mampu menerima dirinya “seutuhnya” sebelum tak dapat dan takkan sempat mengucapkan perpisahan. Akan kujalani seluruh tanggung jawab ini sebelum pergi, dan mungkin suatu saat nanti. Takkan ada lagi yang akan mengingatku dan mengirimkan karangan bunga ke tempat persinggahanku yang terakhir.

Aku cuma berdo’a ketika kepastian itu datang, aku benar-benarlah sendiri, hingga tak ada satu manusia-pun yang menjadi repot karena pergiku itu, sungguh takkan merubah dunia ini menjadi lebih baik, atawa lebih buruk. Semua kan terasa romantis, indah, biarpun yang ada hanya kesunyian. Sunyi yang membungkamku dalam kegelapan yang abadi. He..he..he.. kunikamti rasa pusing yang teramat dahsyat yang membenamkanku dalam imaji tentang cinta yang romantis, tentang kebahagiaan yang tiada akhir, dan tentang kepastian yang sebentar lagi datang.

Aku tak lagi dapat berpikir tentang cinta ataupun berpengharapan untuk hadirnya, aku juga tak lagi berharap tentang dunia sempurna, yang kelak akan ditinggali kita berdua, sementara kita terduduk melihat anak-anak kita bermain dengan riang, dan menikmati secangkir kopi hitam ataupun teh panas sembari diiringi dengan obrolan-obrolan yang renyah dan menggugah semangat kita untuk tetap bertahan hidup dalam dunia yang pasti, dengan segala ketidakpastiannya.

 Hhmm, iya-iyaa!! mungkin kau memang benar Cukring, “Semua hal di dunia ini akhirnya akan menjadi sesuatu yang lalu!”. Hal yang lalu, yang takkan layak lagi diperbincangkan ataupun dikenang, karena memang tak pantas buat itu. Hanya akan meninggalkan bekas luka dan sakit hati, hanya akan memperburuk keadaan dengan meninggalkan sayatan-sayatan dibatinku, sebab aku telah tak berdaya dan terkalahkan oleh kepastian itu.

Aku telah memiliki rencana, akupun telah memiliki selembar kertas putih dan pena yang akan kutuliskan didalamnya sebuah nama. Yaa, mungkin hanya sebuah nama, nama seseorang yang sangat kucintai untuk saat ini. Namun, apalah dayaku. Aku benar-benar ingin membahagiakannya kendatipun aku hanyalah orang terburuk buat kelangsungan hidupnya, dan bila dia menerima tawaran bodohku, tentulah yang didapatinya hanyalah penyesalan. Penyesalan tiada akhir yang akan membawanya jatuh sakit kemudian menyusul orang-orang macam aku yang telah menerima kedamaian.

Aaargh..! Tak terasa kini pipiku telah basah mengurai lagi segalanya. Segala pengalaman yang menyesakkan, namun telah kupilih tuk kulakukan agar aku tak lagi membuatnya menderita. Keputusasaanku, kuingin mengajaknya membicarakan semuanya, namun selalu tak pernah jadi suatu hal yang baik dan menyenangkan, dia begitu jujur dan bodoh, meski dia tahu kejujurannya hanya akan menambahkan luka didalam hatiku, dia tetap saja akan mengucapkannya, karena dia tak tahu ketakutan macam apa yang menghantuiku dan dengan segera njelma jadi kepastian yang tak lagi dapat dipungkiri dunia ini. Aduuh.. duuh.. [agak merintih], sepertinya sakit kepalaku makin mejadi-jadi dan pandanganku mulai kabur menatap tulisan-tulisan yang sepertinya tidak akan rampung kutulis.

Heei, sebelum aku mendapati kepastian itu bolehkah aku bertanya tentang apa-apa yang harus kuperbuat dan kupersiapkan untuk menerima takdir? Tenang saja, hanya pertanyaan simpel yang takkan membuatmu menjadi sakit kepala macam diriku, pertanyaan Pertama: pantaskah manusia hidup, sementara sepanjang hidupnya hanya akan membuat kerusakan, dan saling menyakiti satu sama lain? Kedua:  Apakah di dunia ini ada sebuah kebahagiaan yang benar-benar membuat seorang manusia merasa bahagia? Ketiga: Dapatkah seorang manusia hidup tanpa mengenakan topeng-topeng kepalsuan dan dusta? Keempat: Dimanakah perjalanan manusia akan berlanjut, ketika seorang manusia telah menemui ketetapannya? Dan terakhir: Apakah saat seorang manusia menghadapi ketetapan yang sebentar lagi menghampirinya dengan simpul senyum yang begitu indah, sesuatu yang dicintai dan diinginkannya akan datang lagi?

He..he..he.. Lalu aku mulai berpikir. Gila!. Andai saja aku dapat menikmati ulang tahunku yang ke-23, atau aku masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk melihat kembang api saat tahun baru tiba. Atau mungkin, aku akan disiksa dengan umur panjang yang kunikmati sendiri dan benar-benar sendiri, hingga akhirnya aku lupa bagaimana cara untuk berkomunikasi dengan makhluk lain. Lantas hal apakah yang akan kulakukan tuk mengisi penantian yang benar-benar melelahkan dan memuakkan itu?

Ugh!..kini kesadaranku mulai hilang, dan penglihatanku telah sepekat malam, malam yang begitu kelam tanpa ada satupun cahaya dari bintang-bintang. Urrghh!! suaraku makin serak.. Dadaku tiba-tiba menjadi sesak, semakin sesak, semakin sesak, sesak yang tak dapat kugambarkan dengan ungkapan apapun. Lalu, tibalah udara di kerongkonganku, lalu kuucapkan kedua kalimat secara terbata-bata…Dan, bayangmu muncul, lagi, lagi, dan lagi…ingin kuucap kata berpisah, “selamat tinggal!, selamat jalan! atau terima kasih!” namun lidahku kelu, mati rasa, dan telah kaku nampaknya, kemudian… Bruuk!!!... badanku rebah...

Lamat-lamat, kudengar langkah kaki seseorang, setengah berlari, menghampiri tubuhku, diiringi hujan yang dibawa dibelakangnya…
***
Sekretariat Teater Tesa, 11 – Maret – 2015.

No comments:

Post a Comment