“Ketinggalan jaman piye? Nyipta tulisan
kuwi angel ya pret! Meres uteg, meres tenaga! Tulisan arab kuwi tulisane wong
arab kana! Tulisan latin kuwi tulisane wong latin kana! Kena sinau tulisane
wong kana nanging aja nganti nglalekne tulisane dhewe. Kuwi ki oyodmu, kuwi ki
oyodku, aja terus-terusan didhongkel nganti mati wit-witane!”
Demikian
salah satu dialog mbah Sumi dalam lakon Lurung
Kala Bendu karya Joko Bibit Santoso, yang menjadi salah satu perenungan
kami –yang terlibat pada proses penggarapan naskah tersebut. Memang benar, jika
kita sudi menilik, tulisan Jawa atau aksara
Jawa ialah salah satu dari sekian yang akan kita tinggalkan. Saat ini mayoritas generasi muda mulai
tidak mengenal tulisan Jawa. Membaca dialog di atas membuat kami tercenung; “Ya
benar, hasil karya kerja keras bertahun-tahun dari para leluhur kita tersebut
bergerak kita tinggalkan. Kita tercerabut dari akar kebudayaan.”
Aksara Jawa adalah salah satu dari beberapa akar kebudayaan yang mulai
di tinggalkan. Ada hal lain-lain pula yang telah digelisahkan pula oleh Joko
Bibit Santoso pada tahun 1997 –dimana naskah tersebut ditulis. Lurung Kala Bendu, yang bila diartikan
secara harafiah ialah jalan menuju jaman duka, merupakan hasil dari pembacaan
jaman oleh Joko Bibit, yang didasarkan pada jangka
Jaya Baya dan Serat Kala Tidha (Ranggawarsita).
Tentu saja masih ada beberapa dasar atau pisau yang digunakan oleh almarhum
dalam membedah jaman dan akhirnya ia tuangkan kedalam naskah lakon tersebut.
Membaca
tanda-tanda jaman
Tanda-tanda
jaman yang menggambarkan bahwa akan datangnya jaman Kala Bendu tersebut disusun
oleh Joko Bibit secara peristiwa beserta tokoh yang ia dapat dari reportase
nyata di sekitarnya. Susunan tersebut lalu ia rumuskan dan simpulkan bahwa
tanda-tanda tersebut merupakan penanda akan datangnya jaman Kala Bendu. Tahun
1997 ia menuliskannya, dan terjadilah Kala Bendu di tahun 1998 –sebagaimana
kita tahu terjadi sebuah kekacauan yang memakan banyak korban dan kerugian di
negeri ini. Saya tidak mengatakan bahwasanya Joko Bibit ialah ahli ramal.
Sebagaimana Ronggowarsito dan Jayabaya pun menurut saya bukanlah ahli nujum.
Mereka bagi saya seorang pujangga yang memiliki kepekaan dan kacamata visioner
di jamannya masing-masing. Rasanya tidak berlebihan jika kepekaan dan kacamata
tersebut membuat mereka seolah mampu melihat apa yang terjadi nanti.
Kesaksian
Jaman
Setiap
jaman oleh para pujangga disaksikan dan dituliskan sebagai kesaksian jaman.
Bukan tanpa tujuan kesaksian jaman tersebut dituliskan. Sebagaimana kesaksian
Jayabaya yang dibaca oleh Ranggawarsita dan terciptalah kesaksian jaman karya
Ranggawarsita, lalu dibaca oleh Joko Bibit dan terciptalah karya Lurung Kala Bendu. Garis karya tersebut
tentunya tidak linier, tetapi berkelok dan bercabang. Akan tidak mudah menyusun
dan membuktikan garis karya tersebut secara ilmiah. Ada baiknya kita menilik
persoalan yang lebih wigati, semisal
pertanyaan berikut. Kenapa orang-orang tersebut membuat kesaksian jaman? Apa
pula sikap kita terhadap tanda-tanda yang diwariskan tersebut?
Terhadap
dua pertanyaan di atas, setiap orang berhak menjawab dengan cara masing-masing.
Bahkan berhak pula untuk tidak turut bertanya, sebagaimana kami berhak untuk
menjawab dengan cara kami. Komunitas Tanggul Budaya sepakat untuk kembali
membaca lalu menggaungkan tanda-tanda tersebut melalui sebuah pementasan
teater. Melalui penyutradaraan Helmi Prasetya, kami yang tergabung di dalam
satu proses, sejak bulan Juli mulai membaca diri kami, membaca jaman kami, lalu
berusaha mengartikulasikannya melalui sebuah pertunjukan lakon Lurung Kala Bendu Lurung Kala Bendu yang
akan digelar pada tanggal 8 dan 9 Desember nanti. Harapan kami ialah
tergaungkanlah tanda-tanda jaman yang dirintis kerja oleh pendahulu kami agar
tertangkap oleh generasi ini. Tentunya dan saya meyakini; berikutnya akan ada
yang menuliskan kesaksian jaman dengan caranya.
Griya Duhkita, 7 November 2017
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment