Saturday, 18 November 2017

Lurung Kala Bendu; Sebuah Tanda Jaman.

“Ketinggalan jaman piye? Nyipta tulisan kuwi angel ya pret! Meres uteg, meres tenaga! Tulisan arab kuwi tulisane wong arab kana! Tulisan latin kuwi tulisane wong latin kana! Kena sinau tulisane wong kana nanging aja nganti nglalekne tulisane dhewe. Kuwi ki oyodmu, kuwi ki oyodku, aja terus-terusan didhongkel nganti mati wit-witane!”

Demikian salah satu dialog mbah Sumi dalam lakon Lurung Kala Bendu karya Joko Bibit Santoso, yang menjadi salah satu perenungan kami –yang terlibat pada proses penggarapan naskah tersebut. Memang benar, jika kita sudi menilik, tulisan Jawa atau aksara Jawa ialah salah satu dari sekian yang akan kita tinggalkan. Saat ini mayoritas generasi muda mulai tidak mengenal tulisan Jawa. Membaca dialog di atas membuat kami tercenung; “Ya benar, hasil karya kerja keras bertahun-tahun dari para leluhur kita tersebut bergerak kita tinggalkan. Kita tercerabut dari akar kebudayaan.”

Aksara Jawa adalah salah satu dari beberapa akar kebudayaan yang mulai di tinggalkan. Ada hal lain-lain pula yang telah digelisahkan pula oleh Joko Bibit Santoso pada tahun 1997 –dimana naskah tersebut ditulis. Lurung Kala Bendu, yang bila diartikan secara harafiah ialah jalan menuju jaman duka, merupakan hasil dari pembacaan jaman oleh Joko Bibit, yang didasarkan pada jangka Jaya Baya dan Serat Kala Tidha (Ranggawarsita). Tentu saja masih ada beberapa dasar atau pisau yang digunakan oleh almarhum dalam membedah jaman dan akhirnya ia tuangkan kedalam naskah lakon tersebut.

Membaca tanda-tanda jaman

Tanda-tanda jaman yang menggambarkan bahwa akan datangnya jaman Kala Bendu tersebut disusun oleh Joko Bibit secara peristiwa beserta tokoh yang ia dapat dari reportase nyata di sekitarnya. Susunan tersebut lalu ia rumuskan dan simpulkan bahwa tanda-tanda tersebut merupakan penanda akan datangnya jaman Kala Bendu. Tahun 1997 ia menuliskannya, dan terjadilah Kala Bendu di tahun 1998 –sebagaimana kita tahu terjadi sebuah kekacauan yang memakan banyak korban dan kerugian di negeri ini. Saya tidak mengatakan bahwasanya Joko Bibit ialah ahli ramal. Sebagaimana Ronggowarsito dan Jayabaya pun menurut saya bukanlah ahli nujum. Mereka bagi saya seorang pujangga yang memiliki kepekaan dan kacamata visioner di jamannya masing-masing. Rasanya tidak berlebihan jika kepekaan dan kacamata tersebut membuat mereka seolah mampu melihat apa yang terjadi nanti.

Kesaksian Jaman

Setiap jaman oleh para pujangga disaksikan dan dituliskan sebagai kesaksian jaman. Bukan tanpa tujuan kesaksian jaman tersebut dituliskan. Sebagaimana kesaksian Jayabaya yang dibaca oleh Ranggawarsita dan terciptalah kesaksian jaman karya Ranggawarsita, lalu dibaca oleh Joko Bibit dan terciptalah karya Lurung Kala Bendu. Garis karya tersebut tentunya tidak linier, tetapi berkelok dan bercabang. Akan tidak mudah menyusun dan membuktikan garis karya tersebut secara ilmiah. Ada baiknya kita menilik persoalan yang lebih wigati, semisal pertanyaan berikut. Kenapa orang-orang tersebut membuat kesaksian jaman? Apa pula sikap kita terhadap tanda-tanda yang diwariskan tersebut?
Terhadap dua pertanyaan di atas, setiap orang berhak menjawab dengan cara masing-masing. Bahkan berhak pula untuk tidak turut bertanya, sebagaimana kami berhak untuk menjawab dengan cara kami. Komunitas Tanggul Budaya sepakat untuk kembali membaca lalu menggaungkan tanda-tanda tersebut melalui sebuah pementasan teater. Melalui penyutradaraan Helmi Prasetya, kami yang tergabung di dalam satu proses, sejak bulan Juli mulai membaca diri kami, membaca jaman kami, lalu berusaha mengartikulasikannya melalui sebuah pertunjukan lakon Lurung Kala Bendu Lurung Kala Bendu yang akan digelar pada tanggal 8 dan 9 Desember nanti. Harapan kami ialah tergaungkanlah tanda-tanda jaman yang dirintis kerja oleh pendahulu kami agar tertangkap oleh generasi ini. Tentunya dan saya meyakini; berikutnya akan ada yang menuliskan kesaksian jaman dengan caranya.

Griya Duhkita, 7 November 2017


Idnas Aral

No comments:

Post a Comment