Tuesday, 12 June 2018

TEATER ITU BERNAMA BIBIT (Sebuah Biografi Singkat)









JOKO 'BIBIT' SANTOSO



Baginya teater adalah kompas penunjuk arah dan orientasi hidup yang sebenarnya. Ia percaya bahwa teater memerdekakan diri. 

Lahir di Surakarta, 12 Juli 1966, lalu hidup dan berteater di negeri ini, maka ingin sisa raganya dikubur dan menyuburkan tanah di negeri ini pula. “Selayaknya yang sudah didapatkan dikembalikan lagi”, ucapnya. Maka, dari sekian cita-citanya ialah mati di negeri sendiri. Cita-cita itu penuh sudah; 14 Oktober 2016, ia berpulang dan dikebumikan di TPU Daksinoloyo Danyung, Sukoharjo.

Teater ia sadari sebagai kekuatan untuk merubah diri, kesadaran terebut didapat pada peristiwa menyapu lantai saat mempersiapkan tempat latihan. Teater tiba-tiba merubahnya, pikirnya. Ia yang selama ini tak pernah mau menyapu, tiba-tiba menjadi orang yang rajin datang lebih awal lalu menyapu. Saat itu ia baru bergabung di dalam kelompok teater Tesa. Sebuah kelompok teater kampus yang menjadi pintu gerbang pergulatannya dengan dunia teater.

Selain teater Tesa, sempat bergabung dengan beberapa teater di Surakarta, salah satunya ialah teater Gapit. Bersama Gapit ia memperoleh nama sematan ‘Bibit’ di tengah namanya. Nama yang sampai sekarang lekat dengannya tersebut merupakan nama dari salah satu tokoh dari lakon “TUK” yang ia mainkan. Sejak saat itu ia dikenal sebagai Joko “Bibit” Santoso (JBS) atau Bibit.

Keinginan untuk terus mempelajari teater membuatnya sempat berkeinginan untuk berguru kepada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Suyatna Anirun, Sardono W Kusumo, dsb. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa berguru tidak harus pada orang yang memiliki nama besar, maka ia mulai menggeser metode belajarnya; kepada siapapun ia bisa berguru. Dengan petani, penjual rongsokan, ibu-ibu, dll, ia ngelesot berguru kepada mereka. Siapapun tanpa terkecuali. Dari proses metode belajar yang demikian itulah ia menemukan kenikmatan-kenikmatan rohani —ketika menemukan sumber-sumber inspirasi kreatif berkesenian. 
Proses kreatif tersebut yang kemudian melahirkan teater Ruang pada tahun 1994, melalui sebuah pementasan naskahnya sendiri yakni Sang Pecinta. Proses kreatif di dalam penggarapan naskah tersebut merupakan cikal bakal sebuah konsep teaternya yang ia sebut dengan; minimalis-esensial-universal.

EKSPLORASI TUBUH, EKSPLORASI BENDA, DAN EKSPLORASI SOSIAL.
Minimalis-esensial-universal ialah konsep pertunjukkan yang meminimalkan alat bantu seperti properti, tata lampu dan set panggung untuk kemudian menitikberatkan tugas pertunjukkan pada kemaksimalan tubuh aktor. Dalam titik tuju kemaksimalan tersebut; tubuh diharapkan dapat memiliki nilai dan bahasa yang bersifat esensial dan universal. Maka lahirlah berbagai pertunjukkan yang memiliki ciri tersebut seperti; Doran, Senopati, Perang Bubat (1997), Napol (2000),  Sel (2002), Z (2003, dipentaskan di Jepang Festival Physical Theatre), Dudak (2006), Plencung (2007), Kumbokarno Gugur (peringatan 40 hari meninggalnya Gus Dur), Ketawang Bajingan (2008), Absurditas (2010), Megaliteaterukum (2015), TTDO (2016), dll. Selain itu tercipta juga karya berbahasa Jawa yang dipentaskan di desa-desa, seperti; Lurung Kala Bendu (1996), Dhayoh, Murwakala, juga naskah anak-anak seperti; Barisan Terik Tempe dan Maju tak Gentar.

Kreatifitas yang terus dikembangkan beserta kesadaran yang ia dapat dari kacamata berteaternya membuat karyanya berkembang atau terus tumbuh. Kekritisannya dalam menyikapi keadaan negerinya ia tuangkan dalam peristiwa-peristiwa yang ia sebut sebagai ‘eksplorasi sosial’. Antara lain; Upacara Watu Tugu, Upacara Keprihatinan Budaya, Upacara Kemerdekaan (tolak semen), dan yang terakhir bersama teater Ruang membeli sebidang tanah di Wonogiri (kira-kira 8ribu meter) untuk memulai konsep ‘teater dan tani’. Selain itu, ia juga menggagas beberapa komunitas antara lain; JTS, Teater Waroeng, Komunitas Tanggul Budaya, Teater Sangir, dll.

Selain karya yang sebagian telah disebutkan di atas, ia juga meninggalkan karya persinggungan antar manusia yang akhirnya meninggalkan kesan. Demikian kesan dari beberapa orang yang sempat bersinggungan dengan beliau.

Kang Bibit MemBibitkan Hutan perlawanan.... Subuh itu, dia menanam pohon.Dan kelak saat dia pergi, pohon itu berubah jadi hutan...” - W Haryanto

Beliau adalah orang yang akan terkagum-kagum bila menemui seorang jujur dan "baik" di dlm gempuran2 sosial yg bertubi.” –Dwi Hariningsih

Joko Bibit adalah sosok gerilyawan yang berani sepi. Sosok yang mengingatkan dia kepada ajaran Rendra tentang 'kegagahan dalam kemiskinan” -Hanindawan

Joko Bibit adalah seorang 'jawara'. Seorang yang memegang ucapannya, yang akan mempertahankan ucapannya tersebut, berani mengutarakannya tanpa tedheng aling-aling, mendebatkannya, bahkan jika harus... pun berani jika harus berkelahi secara fisik!Mbah Prapto (Suprapto Suryodarmo) 

"Bibit itu orang y
ang punya adeg-adeg, dan menjalani hidup berlandas adeg-adeg tsb". - Pak Wi (ST Wiyono)

adalah guru bukan hanya sekedar guru...beliau almarhum ada cara yang unik saat memberikan ilmu atau cara mendidiknya...memang saat pertama saat menerima ilmu beliau pasti tidak paham apa maksudnya tapi setelah 2 tahun baru kita sadar ...dan paham apa yang dimaksud beliau ...sungguh luar biasa cara mendidiknya...” aji owot

“....terus terang saya merasa belum mengenalnya. Namun dari seorang Joko Bibit, saya tergiring untuk bisa mengenali diri saya sendiri.” –yudi dodok

sungguh sebuah kehormatan pernah mengilmu padanya..” rias viri

saya orang yang takut pertama kali melihat beliau, lebih tepatnya tatapan mata beliau.” kicuk

Beliau bisa menggali kemampuan yang terpendam dari diri kami anak muda,yang selalu dikalahkan oleh pikiran kami sendiri.” –Oki

 Ide dan gagasannya masih dan akan slalu kami gunakan dalam upacara rakyat.” Azis Wisanggeni

Dan sekarang, orang baik itu telah berpulang, hampir 1 tahun yang lalu.
Diantara frase 'orang penting' atau 'orang besar', aku lebih suka memilih 'orang baik'.
Karena apa yg dia tunjukkan dalam laku hidupnya sepanjang yg aku tahu, dia tak berpikir untuk menjadi orang penting ataupun orang besar, melainkan sekedar upaya untuk menjadi orang baik saja.
Dan bukankah kebaikan itu bukanlah hal besar, karena bukankah memang harus begitu?
” -Purwanto

 Idnas Aral


No comments:

Post a Comment