Wednesday, 6 April 2016

Aku Emprit dan Kau Elang (Idnas Aral)

Meski karena kebesaranmu, tentu kau sangat tak perlu aku meminta maaf. Tetapi untuk tulisan ini aku tetap memilih mengawalinya dengan permintaan maaf.
Seperti malam-malam biasanya kita berkumpul untuk berbicara apa saja. Malam ini pun kita saling bercerita dan tertumpahlah segala kegelisahanku. Aku ceritakan segala pengalamanku akhir ini.
Aku mengatakan bahwasanya orang seperti kita ini ialah minoritas.
Kau berkata, “memang tak mudah menjadi elang, ia selalu terbang sendiri untuk mencari mangsa, lalu diam menyendiri di gunung. Lebih mudah menjadi burung-burung kebanyakan, hidup bergerombol dan penuh kicauan.”
Analog elang belum redakan gelisahku, karena nyatanya aku belum menjadi elang. Aku sekedar emprit yang sedang belajar bagaimana menjadi elang darimu. Betapa sungguh aku kepingin menjadi elang sepertimu.
Kau ialah elang yang senantiasa terbang sendiri mencatat kehidupan. Kau memilih berjarak dari apa yang mereka kata kewajaran. Dari ruang sepimu kau bisa merenungkan lalu melakukan apa yang musti dilakukan, bukan untukmu seorang, untuk siapa saja. Kau elang yang telah berjiwa elang, sedang aku hanya sekedar emprit yang pengen menjadi elang. Maka senantiasa aku gelisah dan gelisah.
Memang dasar aku masih emprit yang baru mencoba tinggal di sarang elang, sedikit belajar terbang sebagai elang pada ketinggian elang. Tapi sungguh aku masih sangat emprit! Maka sebab itu masih selalu aku di rundung gelisah dan hampir menyerah.
Kau sabar mendengar keluh kesahku tentang cara hidup elang yang terasing dan kesepian oleh hidup yang diperjuangkan.
Aku yang seperti kanak-kanak, kau kata, “memang seringkali kita harus seperti kanak-kanak dan kembali belajar tentang ketulusan yang menyatu bukan sekedar keikhasan yang dikata.
Aku yang penuh ketidakmampuan, kau katakan, “bahwasanya seperti pohon, kepasrahan dan dekat dengan alam, lalu tumbuh.”
Betapa benar kata-katamu itu, tapi betapa tetap aku gelisah. Kau tentu tahu segala kegelisahanku adalah sebab kualitasku yang masih minimal, tapi senantiasa sabar engkau mendengarkan. Tetap kau tunjukkan kerendahan diri untuk membesarkan diriku yang teramat kecil dan kerdil.
Aku terus mengoceh, mengeluh, berkata dan berkata. Dasar aku emprit yang sungguh emprit tanpa sadar telah kukicaukan bahwasanya perjuanganku yang baru seumur jagung ini serasa sia-sia.
Dan kau yang telah berjuang seumur beringin kuburan berkata, “kadang aku berpikir tentang hasil dari apa yang aku lakukan tidak seperti ini. Tetapi ialah rumah, mobil, dan istri cantik.”
Aku diam hanya bisa diam, aku harus diam! Nyamuk-nyamuk yang menggigiti tubuh aku pukul sangat keras, keras, keras sekali. Bukan untuk membunuh nyamuk nakal, tapi kupukul untuk menghukum diriku yang goblok.
Sungguh ternyata aku lebih rendah dari emprit , yakni aku. Aku ialah manusia yang lebih tolol dari emprit. Kukatakan apa yang aku lakukan adalah sia-sia, sungguh menyiratkan perjuangan menahunnya ialah sia-sia. Ia yang menolak tuntutan norma dan kewajaran terasing, bahkan ku telah mengasingkannya.
Aku diam, merasa bersalah. Andai punya sejuta tangan kan kupukulkan sekeras-kerasnya kepada tubuhku sendiri.
27Maret 2016

No comments:

Post a Comment