Meski
karena kebesaranmu, tentu kau sangat tak perlu aku meminta maaf. Tetapi untuk
tulisan ini aku tetap memilih mengawalinya dengan permintaan maaf.
Seperti malam-malam biasanya kita berkumpul untuk
berbicara apa saja. Malam ini pun kita saling bercerita dan tertumpahlah segala
kegelisahanku. Aku ceritakan segala pengalamanku akhir ini.
Aku mengatakan bahwasanya orang seperti kita ini ialah
minoritas.
Kau berkata, “memang tak mudah menjadi elang, ia selalu
terbang sendiri untuk mencari mangsa, lalu diam menyendiri di gunung. Lebih
mudah menjadi burung-burung kebanyakan, hidup bergerombol dan penuh kicauan.”
Analog elang belum redakan gelisahku, karena nyatanya aku
belum menjadi elang. Aku sekedar emprit yang sedang belajar bagaimana menjadi
elang darimu. Betapa sungguh aku kepingin menjadi elang sepertimu.
Kau ialah elang yang senantiasa terbang sendiri mencatat
kehidupan. Kau memilih berjarak dari apa yang mereka kata kewajaran. Dari ruang
sepimu kau bisa merenungkan lalu melakukan apa yang musti dilakukan, bukan
untukmu seorang, untuk siapa saja. Kau elang yang telah berjiwa elang, sedang
aku hanya sekedar emprit yang pengen menjadi elang. Maka senantiasa aku gelisah
dan gelisah.
Memang dasar aku masih emprit yang baru mencoba tinggal
di sarang elang, sedikit belajar terbang sebagai elang pada ketinggian elang. Tapi
sungguh aku masih sangat emprit! Maka sebab itu masih selalu aku di rundung
gelisah dan hampir menyerah.
Kau sabar mendengar keluh kesahku tentang cara hidup
elang yang terasing dan kesepian oleh hidup yang diperjuangkan.
Aku yang seperti kanak-kanak, kau kata, “memang
seringkali kita harus seperti kanak-kanak dan kembali belajar tentang ketulusan
yang menyatu bukan sekedar keikhasan yang dikata.
Aku yang penuh ketidakmampuan, kau katakan, “bahwasanya
seperti pohon, kepasrahan dan dekat dengan alam, lalu tumbuh.”
Betapa benar kata-katamu itu, tapi betapa tetap aku
gelisah. Kau tentu tahu segala kegelisahanku adalah sebab kualitasku yang masih
minimal, tapi senantiasa sabar engkau mendengarkan. Tetap kau tunjukkan
kerendahan diri untuk membesarkan diriku yang teramat kecil dan kerdil.
Aku terus mengoceh, mengeluh, berkata dan berkata. Dasar
aku emprit yang sungguh emprit tanpa sadar telah kukicaukan bahwasanya
perjuanganku yang baru seumur jagung ini serasa sia-sia.
Dan kau yang telah berjuang seumur beringin kuburan
berkata, “kadang aku berpikir tentang hasil dari apa yang aku lakukan tidak
seperti ini. Tetapi ialah rumah, mobil, dan istri cantik.”
Aku diam hanya bisa diam, aku harus diam! Nyamuk-nyamuk
yang menggigiti tubuh aku pukul sangat keras, keras, keras sekali. Bukan untuk
membunuh nyamuk nakal, tapi kupukul untuk menghukum diriku yang goblok.
Sungguh ternyata aku lebih rendah dari emprit , yakni
aku. Aku ialah manusia yang lebih tolol dari emprit. Kukatakan apa yang aku
lakukan adalah sia-sia, sungguh menyiratkan perjuangan menahunnya ialah
sia-sia. Ia yang menolak tuntutan norma dan kewajaran terasing, bahkan ku telah
mengasingkannya.
Aku diam, merasa bersalah. Andai punya sejuta tangan kan
kupukulkan sekeras-kerasnya kepada tubuhku sendiri.
27Maret 2016
No comments:
Post a Comment