Sunday, 20 March 2016

Teater Sangir: Lahir Ketika Kesenian Lesung Mulai Dilupakan

Pentas Teater Sangir di Delanggu
Setiap masyarakat akan melahirkan kebudayaan dengan kesenian di dalamnya. Masyarakat kita yang agraris memiliki sebuah kesenian tradisi lesung. Lesung adalah alat tradisional untuk mengolah gabah menjadi padi. Proses pengolahan tersebut dilakukan dengan cara memasukkan gabah di cekungan lesung lalu gabah ditumbuk dengan tongkat kayu (alu) berulang-ulang hingga  beras terpisah dari sekam.
Ketukan alu pada lesung tersebut membentuk sebuah ritme sehingga mengundang para penumbuk untuk bernyanyi dan menari dalam ritme tersebut. Berawal dari hal itu maka bentuk tersebut pun dikemas untuk sebuah pertunjukan kesenian yang biasanya dipentaskan pada malam gerhana bulan.
Pertunjukan lesung pada malam purnama mengandung sebuah mitos dimana gerhana bulan adalah akibat Betara Kala yang memakan bulan. Maka lesung adalah tubuh betara kala dan lesung dimainkan dengan dipukul-pukul adalah harapan agar Betara Kala mau melepaskan bulan.
Saat ini kesenian lesung mulai pudar bersama perubahan masyarakat kita yang cenderung menuju masyarakat industri. Selain itu lesung tidak lagi digunakan untuk menumbuk padi, karena sudah digantikan dengan mesin modern. Teater Sangir pun lahir dengan mencoba mengolah kesenian lesung dengan teater agar kesenian tersebut mampu diterima kembali oleh masyarakat modern

Teater Sangir (Penggabungan Seni Lesung dan Teater)
Teater Sangir terbentuk sekitar dua tahun yang lalu. Sanggar mereka terletak di Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen. Berbeda dengan para penggiat teater yang memulainya pada usia anak-anak atau remaja. Teater Sangir memulai kegiatan Teaternya pada usia di atas 30 tahun bahkan 70 tahun. Di sela-sela kegiatan mereka sebagai petani dan pedagang di daerah  Museum Sangiran mereka berlatih bersama Eri Aryani.

Bentuk pertunjukan Teater Sangir adalah kolaborasi permainan perkusi lesung dengan teater. Sebelumnya para ibu-ibu anggota Teater Sangir adalah pemain perkusi lesung yang biasanya pentas di acara kampung.
“kula tani, biasanipun nggih klotekan lesung pas malem purnama.” ucap Sonowainem anggota yang paling tua.
Perempuan 72 tahun tersebut juga menceritakan bagaimana dulu sangat sering berpentas di acara-acara kampungnya. Dan dia juga sangat senang karena sekarang bisa sering berpentas lagi dengan lesung.
Pembentukan Teater Sangir berawal dari kolaborasi para anggota dengan Teater Ruang pada acara Srawung Seni di Sangiran. Setelah acara tersebut berlanjut dengan terbentuknya Teater Sangir dengan para anggota yang terdiri dari pemusik : Sutiyah (52), Sugiyarti (58), Supiyatini (58), Sonowainem (72) dan pemain teater: Siti (34), Wanti (31), Suginem (56), Sugiyem (60).
Teater Sangir telah berpentas di berbagai tempat antara lain Pacitan, Sragen, Pati, TIM (Jakarta), dan lain-lain. Terakhir mereka berpentas di Gabahan, Kelurahan Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo (25 Agustus) dan di Jogosatron, Kelurahan Sabrang, Kec. Delanggu, Klaten (27/8).
Eri Aryani sebagai penggagas dan sutradara Teater Sangir menjelaskan bahwa proses penggarapannya mengikuti karakter para pemain.
“Jadi naskah saya tulis mengikuti orangnya seperti apa. Kalau diminta menjadi karakter tokoh seperti apa akan kesulitan.” Ungkapnya
Ia juga menjelaskan bahwa kendalanya adalah karena para pemain adalah ibu rumah tangga yang tentunya banyak urusan mengenai keluarga lebih sulit untuk fokus dalam menghapal dialog dan adegan.
Teater Sangir telah mementaskan dua naskah karya Eri Aryani antara lain “Balung Buto” dan “Guest”. Naskah-naskah yang dimainkan tersebut biasanya bercerita tentang kemajuan industri yang tidak mengindahkan keasrian budaya dan alam.
Sambutan masyarakat terhadap pementasan Teater Sangir baik. Salah satunya  Tuginem (70), ia melihat pertunjukan Teater Sangir di Gabahan (25/8) dan ikut memainkan lesung sebelum pertujukan.
Ia menjelaskan bahwa dulu sangat sering memainkan lesung pada acara-acara kampungnya. Dia juga sangat senang dengan hadirnya Teater Sangir di desanya.
“saget nambani kangen kula..” ungkapnya
Teater Sangir merupakan warna baru dalam kesenian teater Indonesia. Dengan hadirnya Teater Sangir diharapkan mampu merangsang kita untuk kembali menggali kesenian tradisi kita yang sangat kaya. Selain itu, lesung yang dihadirkan adalah pengingat kita bahwa kita adalah masyarakat agraris.   



No comments:

Post a Comment