Dulu, di waktu yang itu. Di satu tahun yang lalu, tapi lebih. Tepatnya di bulan januari Tahun 2015. Hujan mengguyur lebat desa Semin, Wonogiri, di pukul 5 sore lebih 30 menit. Datang seorang Bapak dengan mantel hujannya, mengayuh sepeda dari rumahnya ke posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya saat itu.
Ia yang
datang setengah basah, dan saya setengah tidak percaya bahwa itu adalah Ia. Ia
yang saya maksud adalah Bapak itu, yang tempo hari saya datang ke rumahnya dan
Ia tidak ada, namanya Bapak Min. Saat saya datang kerumahnya beliau tidak ada,
dan yang ada hanya istrinya, dengan istrinya saya berjanji akan datang lagi
besok, pukul 4 sore guna membahas keperluan acara yang saya akan laksanakan di
dukuh Pak Min, karena beliau adalah seorang kepala Dukuh itu.
‘Hloh
Pak, kok hujan begini kesini’
Tanya
Ibu Kepala desa yang menjadi tuan rumah atas tempat yang saya tinggali saat
ber-KKN.
‘Saya
mau mencari Mas KKN, katanya mau datang ke rumah jam 4 sore, tapi sampai jam 5
kok belum datang juga. Maka saya putuskan kesini, Bu’
Saya
yang merasa mempunyai janji seketika kaget sekaligus malu, dan lalu saya.
‘Aduh, ngapunten Pak, saya yang kemarin ke
rumah Bapak, dan saya yang berjanji akan ke rumah Bapak jam 4 sore, saya tidak
jadi ke rumah Bapak karena hujan, maaf ya Pak. Dan saya mau mengabari Bapak
tapi, Bapak tidak punya HandPhone .
Niat saya Besok pagi mau ke rumah Bapak’
‘Owalah
Mas, saya kira Mas-KKN itu sakit, jatuh atau ada halangan yang lain, kok tidak
jadi ke rumah. Saya pikir Mas-KKN ada masalah besar sampai-sampai membatalkan
berkunjung ke rumah saya. Saya ini mau sekalian menengok, kalau-kalau Mas-KKN
sakit, jatuh atau bagaimana.’
Diluar
hujan masih cukup deras, petir tidak ada. Tapi kok, rasanya omongan Pak Min seperti
petir yang menampar-nampar saya. Saya, yang notabene lebih menghabiskan waktu
dan tumbuh di kota kecil, mera biasa saja untuk membatalkan janji. Rasanya mudah
saja, hanya dengan mengirim pesan singkat dan semua selesai, batal perjanjian
yang sudah di buat. Tapi di Desa Semin, di desa yang penuh bebatuan, yang
sangat jauh dari hingar bingar kehidupan kota.
Janji adalah janji, janji batal karena memang
keadaan mendesak seperti sakit, atau mungkin malah karena meninggal, yang
memang tidak bisa benar-benar dipaksakan. Di Desa yang kecil dan benar-benar
jauh dari peradapan modern itu, janji masih dianggap polos sebagai janji yang
murni, yang harus dan wajib hukumnya untuk ditepati. Sedangkan saya, saya masih
sering menginjak-injak martabat orang yang saya pernah beri janji, dengan cara
tidak menepatinya. Masih saja enteng saja mengabaikan janji-janji yang telah
saya sendiri sepakati. Apakah kalian juga begitu ? masih saja menganggap janji
hanya sekedar ucap ? yang meski tidak ada hitam diatas putih dengan enteng saja
dilanggar. Begitukah ?
Idnas Aral.
No comments:
Post a Comment