Sunday, 20 March 2016

Menjaga Intensitas Nabuh Gamelan di Baluwarti

Profil  Tri Hastotomo


Kota Surakarta memiliki kesenian musik tradisi karawitan. Seni karawitan adalah seni musik tradisi yang memainkan berbagai macam perangkat alat yang disebut gamelan. Perangkat gamelan tradisi memiliki dua laras, yaitu slendro dan pelog.  Ada berbagai macam alat di setiap laras yang memainkannya pun juga berbeda-berbeda, seperti saron, demung yang dipukul dengan alat tabuh, rebab yang digesek, siter yang dipetik, dan lain-lain.
Setiap alat gamelan memiliki fungsi dan cara memainkan yang berbeda-beda di dalam pembentukan keharmonisan gending. Oleh sebab itu, gamelan harus dimainkan secara berkelompok agar dapat dinikmati secara utuh.
Memiliki kesenian tradisi tentu saja tidak sekedar dengan mencatat atau meng-klaim bahwa kesenian tersebut pernah lahir di kebudayaan kita. Tetapi bagaimana kesenian tersebut masih menjadi bagian dari masyarakat. Mengenai kesadaran tersebut ada beberapa orang yang sadar dan membentuk komunitas-komunitas karawitan, salah satunya ialah Tri Hastotomo, akrab dipanggil dengan Pak Tri.
Saya berkesempatan menemuinya pada selasa (11/8/2015), di Purwodiningratan, Kelurahan Baluwarti ketika akan latihan untuk mengiringi dalang cilik Daniel Satryo Bagus Pinandhito yang akan memainkan lakon Lahirnya Wisanggeni di Pendopo Suryo Hamijayan besok tanggal 18/8/2015.
Sebelum latihan dimulai Pak Tri bersedia berbincang dengan saya. Ia lahir di Klaten, 21 Februari 1956. Memulai pendidikan karawitannya di Lembaga Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta (sekarang SMK8) dan lulus pada tahun 1975. Kemudian mengajar di beberapa sekolah antara lain SMPN 1 Klaten dan SPG Negeri Klaten.
Tahun 1977 ke Jakarta dan mulai aktif di berbagai lembaga karawitan, salah satunya di Pepadi (Persatuan Pedhalangan Indonesia). Setelah sekitar 3 tahun di Jakarta, Pak Tri kembali ke Surakarta untuk masuk di Aski (saat itu masih di Sasana Mulya, Keraton)  dan lulus pada 1985.
Pengalamanan pendidikan dan keorganisasiannya membuat ia dipercaya menangani bidang kesenian seksi penyiaran di RRI Surakarta. Selain bertanggung jawab mengenai kepenyiaran ia juga menjadi tim
Pak Tri mulai bergabung dengan pengrawit keraton pada 1985, yaitu masa paska kebakaran kraton.
“ Saat itu banyak penabuh yang sudah tua, sehingga tidak memenuhi satu tim. Awalnya membantu kemudian saya masuk sebagai pengrawit keraton”
Pada masa itu juga masa transisi PKJT (Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, sekarang TBJT). Karena seringnya ditugasi PKJT membantu pengrawit keraton sehingga ketika telah resmi masuk sebagai tim pengrawit keraton Pak Tri mempunyai keinginan agar pengrawit keraton dapat mencukupi tim penabuh untuk gamelan sekaten.
“ Keraton dulu itu sampai nabuh sekaten dibantu PKJT, setelah saya masuk saya berusaha untuk melakukan tabuhan sekaten itu dapat mencukupi pengrawitnya.Kebetulan 85 itu juga masa transisi PKJT ke Kentingan sehingga peran saya cukup banyak untuk berusaha menjaga keraton tetap eksis sebagai pusat kebudayaan”
Sekarang Pak Tri aktif di Sanggar Sekar Budaya, ia bertanggung jawab sebagai kordinator karawitan. Sekar Budaya menyelenggarakan kegiatan rutin mingguan antara lain ketoprak, tari, dan karawitan.
Mengenai perkembangan jaman yang mengalami diamika kebudayaan. Pengaruh kebudayaan luar yang dengan mudah masuk membuat semakin sedikit masyarakat luas yang melek kesenian sehingga ia mengharapkan agar latihan rutin tetap diadakan agar membuka pintu belajar dan apresiasi masyarakat.
“Melalui Sekar Budaya yang memiliki beberapa kegiatan ini, kehidupan kesenian di Baluwarti mulai hidup dan mudah-mudahan bagus.”
Pak Tri juga mengharapkan para seniman karawitan untuk mau membuka diri untuk mengajari dan mengadakan latihan rutin (tidak sekedar job) agar mendekatkan kembali karawitan kepada masyarakat.
Berkat intensitasnya di bidang karawitan pada tahun 1993, ia berkeliling Eropa dan Asia. Terakhir ia kembali ke Jepang pada Desember 2014.
Dari pengalamannya ke beberapa negara, ia mempunyai pendapat sendiri mengenai banyaknnya muncul seni karawitan kontemporer.
““Bagus saja, cuman saya menghormati apapun yang muncul tetapi jangan lupa dengan yang tradisi, masalahnya kenapa jepang bisa maju semacam itu, dia masih eksis dengan peradaban dunia tetapi tradisinya masih dipegang kuat.”

Sekitar jam 19.30 para pengrawit Sekar Budaya sudah berkumpul. Latihan pun akan segera di mulai dan perbincangan kami harus diakhiri. Pak Tri bergabung dengan timnya yang hanya dua orang yang belum berambut putih. Rata-rata para penabuh sudah berumur di atas 50 tahun. Semoga melaui komunitas Sekar Budaya, regenerasi yang diharapkan Pak Tri akan terlaksana.

No comments:

Post a Comment