Profil Tri Hastotomo
Kota Surakarta memiliki
kesenian musik tradisi karawitan. Seni karawitan adalah seni musik tradisi yang
memainkan berbagai macam perangkat alat yang disebut gamelan. Perangkat gamelan
tradisi memiliki dua laras, yaitu slendro
dan pelog. Ada berbagai macam alat di setiap laras yang
memainkannya pun juga berbeda-berbeda, seperti saron, demung yang dipukul
dengan alat tabuh, rebab yang digesek, siter yang dipetik, dan lain-lain.
Setiap alat gamelan memiliki
fungsi dan cara memainkan yang berbeda-beda di dalam pembentukan keharmonisan
gending. Oleh sebab itu, gamelan harus dimainkan secara berkelompok agar dapat
dinikmati secara utuh.
Memiliki kesenian tradisi tentu
saja tidak sekedar dengan mencatat atau meng-klaim bahwa kesenian tersebut
pernah lahir di kebudayaan kita. Tetapi bagaimana kesenian tersebut masih
menjadi bagian dari masyarakat. Mengenai kesadaran tersebut ada beberapa orang
yang sadar dan membentuk komunitas-komunitas karawitan, salah satunya ialah Tri
Hastotomo, akrab dipanggil dengan Pak Tri.
Saya berkesempatan menemuinya
pada selasa (11/8/2015), di Purwodiningratan, Kelurahan Baluwarti ketika akan
latihan untuk mengiringi dalang cilik Daniel Satryo Bagus Pinandhito yang akan
memainkan lakon Lahirnya Wisanggeni di Pendopo Suryo Hamijayan besok tanggal
18/8/2015.
Sebelum latihan dimulai Pak Tri
bersedia berbincang dengan saya. Ia lahir di Klaten, 21 Februari 1956. Memulai
pendidikan karawitannya di Lembaga Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta
(sekarang SMK8) dan lulus pada tahun 1975. Kemudian mengajar di beberapa
sekolah antara lain SMPN 1 Klaten dan SPG Negeri Klaten.
Tahun 1977 ke Jakarta dan mulai
aktif di berbagai lembaga karawitan, salah satunya di Pepadi (Persatuan
Pedhalangan Indonesia). Setelah sekitar 3 tahun di Jakarta, Pak Tri kembali ke
Surakarta untuk masuk di Aski (saat itu masih di Sasana Mulya, Keraton) dan lulus pada 1985.
Pengalamanan pendidikan dan
keorganisasiannya membuat ia dipercaya menangani bidang kesenian seksi
penyiaran di RRI Surakarta. Selain bertanggung jawab mengenai kepenyiaran ia
juga menjadi tim
Pak Tri mulai bergabung dengan
pengrawit keraton pada 1985, yaitu masa paska kebakaran kraton.
“ Saat itu banyak penabuh yang
sudah tua, sehingga tidak memenuhi satu tim. Awalnya membantu kemudian saya
masuk sebagai pengrawit keraton”
Pada masa itu juga masa
transisi PKJT (Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, sekarang TBJT). Karena seringnya
ditugasi PKJT membantu pengrawit keraton sehingga ketika telah resmi masuk
sebagai tim pengrawit keraton Pak Tri mempunyai keinginan agar pengrawit
keraton dapat mencukupi tim penabuh untuk gamelan sekaten.
“ Keraton dulu itu sampai nabuh
sekaten dibantu PKJT, setelah saya masuk saya berusaha untuk melakukan tabuhan
sekaten itu dapat mencukupi pengrawitnya.Kebetulan 85 itu juga masa transisi
PKJT ke Kentingan sehingga peran saya cukup banyak untuk berusaha menjaga
keraton tetap eksis sebagai pusat kebudayaan”
Sekarang Pak Tri aktif di
Sanggar Sekar Budaya, ia bertanggung jawab sebagai kordinator karawitan. Sekar
Budaya menyelenggarakan kegiatan rutin mingguan antara lain ketoprak, tari, dan
karawitan.
Mengenai perkembangan jaman
yang mengalami diamika kebudayaan. Pengaruh kebudayaan luar yang dengan mudah
masuk membuat semakin sedikit masyarakat luas yang melek kesenian sehingga ia mengharapkan agar latihan rutin tetap
diadakan agar membuka pintu belajar dan apresiasi masyarakat.
“Melalui
Sekar Budaya yang memiliki beberapa kegiatan ini, kehidupan kesenian di
Baluwarti mulai hidup dan mudah-mudahan bagus.”
Pak Tri
juga mengharapkan para seniman karawitan untuk mau membuka diri untuk mengajari
dan mengadakan latihan rutin (tidak sekedar job) agar mendekatkan kembali
karawitan kepada masyarakat.
Berkat
intensitasnya di bidang karawitan pada tahun 1993, ia berkeliling Eropa dan
Asia. Terakhir ia kembali ke Jepang pada Desember 2014.
Dari
pengalamannya ke beberapa negara, ia mempunyai pendapat sendiri mengenai
banyaknnya muncul seni karawitan kontemporer.
““Bagus saja, cuman saya
menghormati apapun yang muncul tetapi jangan lupa dengan yang tradisi,
masalahnya kenapa jepang bisa maju semacam itu, dia masih eksis dengan
peradaban dunia tetapi tradisinya masih dipegang kuat.”
Sekitar
jam 19.30 para pengrawit Sekar Budaya sudah berkumpul. Latihan pun akan segera
di mulai dan perbincangan kami harus diakhiri. Pak Tri bergabung dengan timnya
yang hanya dua orang yang belum berambut putih. Rata-rata para penabuh sudah
berumur di atas 50 tahun. Semoga melaui komunitas Sekar Budaya, regenerasi yang
diharapkan Pak Tri akan terlaksana.
No comments:
Post a Comment