“Selamat
datang di Ibu Kota, Met, selamat menikmati Ibu Kota”
Slamet
yang baru pertama kali datang di Ibu Kota di jemput oleh sepupunya. Ia akan
mengadu nasib, mencari peruntungan untuk mencari pekerjaan, seorang sarjana
pertanian yang tak punya ladang yang terpaksa ke Ibu Kota untuk mencari
sisa-sisa pekerjaan di Ibu Kota.
“Banyak
ya balihonya, ada telepisi-telepisi besar banyak khusus buat iklan”
“Hlo,
di solo apa tidak ada?”
“Ada,
tapi tidak sebanyak ini”
Slamet
mulai pembicaraan dengan sepupunya di dalam mobil, Ia melihat banyak
papan-papan iklan, yang lebih banyak dari kota asalnya, Solo.
“Tukang
Iklannya bule-bule ya, Om”
“Iya
dong, Ibu Kota, sasarannya internasional, dan wajah-wajah bule kan lebih sip, lebih
menjual Met!”
Memang,
wajah bule selalu dipandang lebih sip, lebih sedap dipandang mata, putih-putih,
hidung macung, badan tinggi tegap, gagah tanpa cacat. Dan Slamet, yang bekulit
sawo matang cenderung hitam menilai dirinya jelek, tidak ada potongan gagah
sama sekali, dekil lagi.
Tapi,
Slamet kembali berfikir.
“Hlo,
tapi kenapa harus bule yang dipandang gagah dan cantik, kenapa harus bule yang
berhidung mancung yang dianggap cantik dan ganteng, apa yang hidung pesek itu
pasti jelek, yang pendek pasti tidak gagah, yang hitam sudah tentu tidak
ganteng ? Hla siapa yang menentukan itu ? kok bisa begitu ? atas dasar apa dan
dengan metode seperti apa itu dapat dinyatakan benar ? atas perintah siapa kita
bersepakat dengan hal-hal sedemikian rupa ? kenapa juga yang gondrong lokal selalu
dianggap tidak wajar, tapi kok bule yang gondrong dianggap sah-sah saja ? orang
Indonesia brewokan dicurigai teroris, bule brewokan dianggap tatanan gaya
modern? Siapa ? siapa yang menentukan itu semua”
Slamet
grundel entah ke siapa, sepupunya bingung, ndak tau apa yang dikatakan Slamet.
Dan sepertinya Slamet akan repot tingggal di Ibu Kota akibat pikirannya yang
asing di belantara kebalau riuh Ibu Kota.
Klaten, 27032016.
No comments:
Post a Comment