Mbah Paiman dalam Pentas Megaliteaterikum (T.Ruang) |
Seusai sebuah pementasan teater dilakukan dikusi oleh
penyaji, nara sumber, dan penonton. Dari diskusi tersebut terbukalah wacana
yang selama ini hanya sekedar rasa gatal bagi kami para anak muda. Perhelatan
kesenian yang menolak mengikuti tren gegap gempita panggung itu, telah menjadi
pintu kesadaran baru. Pertunjukan dan diskusi menguliti satu persatu
ketidaktahuan, dan menyakitkan memang! Meski tidak tahu harus bagaimana langkah
setelah kesadaran ini, setidaknya darah muda kami bergelora, idealis kami tertantang,
meski kami tidak kemana-mana, tetap duduk khusyuk tertunduk.
Yah, sebagaimana biasanya peristiwa dan orang-orang di
dalamnya. Ada yang biasa saja, ada yang membenak, ada yang tadi terbangkitkan
tapi lupa sesudahnya, ada yang pura-pura paham, ada yang pura-pura tidak paham
biar tidak dosa karena aman memilih diam, ada yang masih lunglai ejakulasi, ada
yang merdeka dari kesadaran, macam-macam. Dan ada yang berkata, “Itu tadi
kumpulan orang-orang frustasi!”
Mendengar itu, aku marah! Ya, aku marah semarah-marahnya,
dan merah semerah-merahnya. Kami yang mau berpikir untuk tidak hanya diri
sendiri, tidak untuk satu generasi, untuk bangsa dan negara justru dikata
frustasi. Wah itu moncong !
Kuhampiri ia, kukumpulkan mesiu-mesiu amarah untuk kuledakkan ke moncongnya. Apa bentuk ledakkan itu aku berserah. Yak, amarah telah memuncak inilah saatnya.....
Lhoh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Aku justru tertawa, terpingkal-pingkal, hampir aku
terjungkal. Ini siapa yang tertawa, aku sedang marah kok ini aku malah tertawa?
Wah konslet ini syaraf. Tegangan marah terlalu tinggi,
sedang syaraf sudah terlalu lelah karena diskusi barusan. Walhasil, inilah saya
tertawa setawa-tawanya padahal dalam dada ada amarah yang sebegitu dasyatnya.
Sementara orang-orang di sekitar semua menatapku curiga, curiga aku gila!
Bagaimana iniiii??????? Ini bagaimana !!!!!!
Aku tidak mampu mengontrol tawaku, tetapi kemarahan di
benak juga enggan hilang, ada pula rasa malu yang harus kutanggung sebab tawaku
yang kebangetan. Orang-orang yang tadinya memberi tatapan aneh terhadapku itu
kini merubah tatapannya dengan tatapan marah. Yah, dapat kumaklumi kemarahan
mereka. Pantas mereka marah, keprihatinan mereka atas negeri hasil dari diskusi
barusan justru aku tertawakan.
Dalam perasaan yang nano-nano ini, justru tawaku semakin
menjadi-jadi. Meski belum satupun yang mengungkap, kini kurasai kemarahan terhadapku
telah teracung dari segala penjuru.
“Hei aku juga marah seperti kalian !” tapi tak mampu
terkata itu, sebab tawa sudah berkuasa penuh atas tubuh dan simbol-simbolku.
Aku menyerah, pasrah, biarlah, aku bakal diludah, dan aku
tetap terbahak. Lalu aku mendengar suara tawa, lagi, lagi, lagi, semakin keras,
keras, keras, dan menjadi-jadi. Semua yang marah kini tertawa, layaknya tawaku.
Semua konslet juga ternyata. Tempat itu kini jadi lautan tawa, dengan gelegak
ombak bahak. Semakin menjadi dan menjadi lalu berangsur surut, surut, dan
akhirnya hanya ada suara napas panjang kelelahan.
Kulihat pose-pose lelah itu, kuamati, ya hampir semua
yang marah akhirnya tertawa. Hanya satu yang tidak, tak lain tak bukan ialah
pemuda yang mengatakan kami adalah orang-orang frustasi tadi. Kini ia berkata, “Ini
kumpulan orang-orang sinting!”
Seusai ucap ia ngeloyor pergi sambil geleng-geleng
sepuas-puasnya. Ia pergi meninggalkan kami para sinting. Ia pergi menuju
orang-orang waras, orang-orang mayoritas, orang-orang yang pendapatnya telah ia
wakili: bahwasanya kami sinting.
20 Maret 2016
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment