Sunday, 20 March 2016

Kesadaran ialah kegilaan di negeriku

Mbah Paiman dalam Pentas Megaliteaterikum (T.Ruang)

Seusai sebuah pementasan teater dilakukan dikusi oleh penyaji, nara sumber, dan penonton. Dari diskusi tersebut terbukalah wacana yang selama ini hanya sekedar rasa gatal bagi kami para anak muda. Perhelatan kesenian yang menolak mengikuti tren gegap gempita panggung itu, telah menjadi pintu kesadaran baru. Pertunjukan dan diskusi menguliti satu persatu ketidaktahuan, dan menyakitkan memang! Meski tidak tahu harus bagaimana langkah setelah kesadaran ini, setidaknya darah muda kami bergelora, idealis kami tertantang, meski kami tidak kemana-mana, tetap duduk khusyuk tertunduk.

Yah, sebagaimana biasanya peristiwa dan orang-orang di dalamnya. Ada yang biasa saja, ada yang membenak, ada yang tadi terbangkitkan tapi lupa sesudahnya, ada yang pura-pura paham, ada yang pura-pura tidak paham biar tidak dosa karena aman memilih diam, ada yang masih lunglai ejakulasi, ada yang merdeka dari kesadaran, macam-macam. Dan ada yang berkata, “Itu tadi kumpulan orang-orang frustasi!”

Mendengar itu, aku marah! Ya, aku marah semarah-marahnya, dan merah semerah-merahnya. Kami yang mau berpikir untuk tidak hanya diri sendiri, tidak untuk satu generasi, untuk bangsa dan negara justru dikata frustasi. Wah itu moncong !

Kuhampiri ia, kukumpulkan mesiu-mesiu amarah untuk kuledakkan ke moncongnya. Apa bentuk ledakkan itu aku berserah. Yak, amarah telah memuncak inilah saatnya.....

Lhoh!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aku justru tertawa, terpingkal-pingkal, hampir aku terjungkal. Ini siapa yang tertawa, aku sedang marah kok ini aku malah tertawa?

Wah konslet ini syaraf. Tegangan marah terlalu tinggi, sedang syaraf sudah terlalu lelah karena diskusi barusan. Walhasil, inilah saya tertawa setawa-tawanya padahal dalam dada ada amarah yang sebegitu dasyatnya. Sementara orang-orang di sekitar semua menatapku curiga, curiga aku gila!

Bagaimana iniiii??????? Ini bagaimana !!!!!!

Aku tidak mampu mengontrol tawaku, tetapi kemarahan di benak juga enggan hilang, ada pula rasa malu yang harus kutanggung sebab tawaku yang kebangetan. Orang-orang yang tadinya memberi tatapan aneh terhadapku itu kini merubah tatapannya dengan tatapan marah. Yah, dapat kumaklumi kemarahan mereka. Pantas mereka marah, keprihatinan mereka atas negeri hasil dari diskusi barusan justru aku tertawakan.

Dalam perasaan yang nano-nano ini, justru tawaku semakin menjadi-jadi. Meski belum satupun yang mengungkap, kini kurasai kemarahan terhadapku telah teracung dari segala penjuru.

“Hei aku juga marah seperti kalian !” tapi tak mampu terkata itu, sebab tawa sudah berkuasa penuh atas tubuh dan simbol-simbolku.

Aku menyerah, pasrah, biarlah, aku bakal diludah, dan aku tetap terbahak. Lalu aku mendengar suara tawa, lagi, lagi, lagi, semakin keras, keras, keras, dan menjadi-jadi. Semua yang marah kini tertawa, layaknya tawaku. Semua konslet juga ternyata. Tempat itu kini jadi lautan tawa, dengan gelegak ombak bahak. Semakin menjadi dan menjadi lalu berangsur surut, surut, dan akhirnya hanya ada suara napas panjang kelelahan.

Kulihat pose-pose lelah itu, kuamati, ya hampir semua yang marah akhirnya tertawa. Hanya satu yang tidak, tak lain tak bukan ialah pemuda yang mengatakan kami adalah orang-orang frustasi tadi. Kini ia berkata, “Ini kumpulan orang-orang sinting!”

Seusai ucap ia ngeloyor pergi sambil geleng-geleng sepuas-puasnya. Ia pergi meninggalkan kami para sinting. Ia pergi menuju orang-orang waras, orang-orang mayoritas, orang-orang yang pendapatnya telah ia wakili: bahwasanya kami sinting.
 20 Maret 2016 
Idnas Aral



  

No comments:

Post a Comment