Sunday, 25 October 2015

Daniel Soekarno: Membina Orang-Orang Bermasalah Sebagai Anaknya

Daniel Soekarno

Pada awalnya saya mendatangi rumahnya untuk mengetahui lebih banyak mengenai kesenian Wayang Rakyat yang ia geluti. Namun ternyata Wayang Rakyat hanyalah salah satu dari sekian banyak pengabdiannya untuk masyarakat.

Daniel Soekarno, kelahiran Sukoharjo,  14 Maret 1960 sedang menyirami tanamannya ketika ditemui di rumahnya. Rumah yang ia tinggali bersama keluarganya sejak tahun 2000 silam itu terletak di Gabahan, Kel. Sonorejo, Kec. Sukoharjo, Sukoharjo.
Dusun Gabahan merupakan sentra industri wayang kulit, namun Daniel melihat anak muda di wilayah tersebut kurang tertarik terhadap kesenian wayang kulit. Berawal dari kegelisahan tersebut , ia pun berinisiatif menciptakan wayang dengan tokoh-tokoh dari kehidupan sehari-hari. Di dalam wayangnya terdapat tokoh anak Punk, Pak Haji, Pak Hansip dll.
Dengan bermediakan wayang Daniel mendongeng untuk menyampaikan pesan-pesan sosial kepada anak-anak. Anak-anak tertarik karena tokoh-tokoh dibuat berdasar orang-orang yang dekat dengan mereka. Selain itu, bahasa dan penceritaan yang sederhana membuat anak-anak udah menikmati.
 “ Saya lebih senang kalau wayang saya ini dinamakan wayang rakyat, karena dekat dengan masyarakat kecil.” ungkapnya ketika ditanya mengenai nama wayangnya.
Sempat ia diberi tahu oleh orang, bahwa dahulu sudah ada wayang semacam itu dan bernama Wayang Suluh. Meskipun ia bingung dengan nama wayangnya, banyak orang menamakan wayang rayat dan ia lebih senang dengan istilah tersebut.
Ketika melihat koleksi wayang rakyatnya, ternyata saya juga melihat Wayang Purwa. Ternyata kepemilikan wayang tersebut itu berawal dari jalan-jalan di klitikan dan melihat wayang-wayang tersebut.
“Waktu saya di Klithikan Semanggi, wayang-wayang itu umpel-umpelan ra karuan. Dari situlah saya melihat wayang kok enggak dihargai, lalu saya beli.” ungkapnya.
Wayang sak umbruk itu hanya ia beli 30ribu, lalu ia perbaiki wayang-wayang tersebut. Semenjak kejadian tersebut setiap ia melihat wayang di klithikan ia beli, ia perbaiki, namun ia enggan menjualnya kembali.
Latar belakang sosok Daniel bukanlah dalang, ia adalah pendeta yang memutuskan untuk keluar dari gereja dan total mengabdikan diri di masyarakat. Wayang Rakyat hanyalah salah satu dari sekian pengabdian sosialnya. Di rumahnya yang sederhana tersebut ia memberikan pelayanan dengan menampung orang-orang yang bermasalah.
“Saya itu pekerja sosial. Sebenarnya saya rohaniawan tetapi ternyata jiwa sosial saya lebih dominan.”
Ia sering ke penjara-penjara memberikan pelayanan rohani. Dari situ ia melihat bahwa nasib keluarga narapidana yang ditinggalkan ternyata lebih terpuruk.
“Yang dipenjara itu kalau mau menerima kenyataan tetep bisa hidup karena diopeni oleh negara, tetapi keluarga yang ditinggalkan itu lebih menderita lho.” ungkapnya.
Yang ia maksudkan adalah istri para narapidana harus tetap menghidupi keluarga, dikucilkan masyarakat, bahkan terkadang harus berhadapan dengan dekoleptor, hakim, jaksa, dan polisi.
Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, ia memperluas pelayanannya tidak hanya pada si narapidana tetapi juga kepada keluarganya. Tidak hanya sekedar memberi penyuluhan permasalahan keluarga napi, ia juga menampung para mantan napi dan juga keluarga napi yang terlantar. Diantaranya adalah Alex dan Dika, yang saat ini masih tinggal di rumahnya. Alex kini ia ajari membuka wedangan di desa tersebut sedang Dika  sedang dalam proses mengurus ijasah yang hilang untuk melanjutkan pendidikannya.


Keluarga mendukung penuh dan siap menanggung resiko

Bersama istri

Totalitas Daniel dalam kegiatan sosialnya tersebut mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Istri dan tiga anaknya telah menganggap anak binaan sebagai keluarga sendiri.“ Sudah tidak ada istilah ini urusan sosial bapak ini urusan keluarga. Jadi semua kami lakukan bersama, hati sudah sama. Pada akhirnya hati anak-anak juga bisa memahami.” ungkap bu Daniel ketika ditanya pendapatnya mengenai kegiatan suaminya.

“Setelah mereka masuk di rumah ini, sudah bukan orang asing. Di meja makan tidak ada yang dibedakan sama sekali.” tambah Daniel.
Selain Alex, telah banyak orang-orang dengan berbagai macam latar belakang dan usia yang ia bimbing di rumahnya. Banyak yang telah berhasil kembali di tengah masyarakat dan berkeluarga tetapi ada pula yang justru membawa kabur harta dan motornya.
“Resiko pelayanan itu juga ada, kan saya nampung anak itu tidak semua orang baik. Pernah saya dihabiskan entek-entekan.” ungkapnya.
Kejadian tersebut terjadi ketika seluruh keluarga ada acara dan si pelaku mengaku sakit dan memilih tinggal di rumah. Padahal si pencuri itu sudah tinggal di rumahnya selama satu tahun. Hal semacam itu terjadi berulang kali, bahkan ada anak binaan yang berani mencuri di rumah tetangga. Dan keluarga Daniel sering mengganti dengan uang dan meminta maaf.
“Urusan uang sudah selesai, tetapi malunya itu lho mas.” ungkap Bu Daniel.
Meskipun resiko tersebut sangat memungkinkan untuk terulang lagi tetapi Daniel mengaku tidak kapok. Ia tetap menerima siapapun dengan latar belakang apapun dan juga dari agama apapun.
“Saya harus pandai-pandai, yang namanya sponsor tidak ada.” ungkapnya ketika ditanya mengenai pendanaan kegiatan tersebut..
Sekarang marak bisnis di balik kegiatan sosial. Daniel tahu adanya fenomena tersebut dan tahu seluk beluknya tetapi ia memilih tidak mengikuti hal tersebut. Secara pendanaan dia merasa masih sanggup untuk mencukupi keluarga besarnya tersebut.

 “ Masyarakat sekarang cenderung apatis terhadap hal-hal sosial. Saya ingin masyarakat saling memperhatikan satu dengan yang lain. Agar generasi selanjutnya tidak kehilangan kasih dan sayang lalu tersesat.” ungkapnya di akhir wawancara. 

wawancara: 31 September 2015

1 comment:

  1. Pak Daniel, merupakan orang yang patut diacungi jutaan jempol, saya salut dengan Bapak Pendeta satu ini, kegemarannya yang "nyah nyoh" untuk sesama itu lho yang membuat saya cemburu. Tuhan selalu beserta Anda Pak Daniel, dan semoga diberi kesehatan serta kekuatan selalu. Amin.

    ReplyDelete