Daniel Soekarno |
Pada awalnya saya mendatangi rumahnya untuk mengetahui lebih banyak mengenai kesenian Wayang Rakyat yang ia geluti. Namun ternyata Wayang Rakyat hanyalah salah satu dari sekian banyak pengabdiannya untuk masyarakat.
Daniel
Soekarno, kelahiran Sukoharjo, 14 Maret
1960 sedang menyirami tanamannya ketika ditemui di rumahnya. Rumah yang ia
tinggali bersama keluarganya sejak tahun 2000 silam itu terletak di Gabahan, Kel.
Sonorejo, Kec. Sukoharjo, Sukoharjo.
Dusun
Gabahan merupakan sentra industri wayang kulit, namun Daniel melihat anak muda
di wilayah tersebut kurang tertarik terhadap kesenian wayang kulit. Berawal
dari kegelisahan tersebut , ia pun berinisiatif menciptakan wayang dengan
tokoh-tokoh dari kehidupan sehari-hari. Di dalam wayangnya terdapat tokoh anak
Punk, Pak Haji, Pak Hansip dll.
Dengan
bermediakan wayang Daniel mendongeng untuk menyampaikan pesan-pesan sosial
kepada anak-anak. Anak-anak tertarik karena tokoh-tokoh dibuat berdasar
orang-orang yang dekat dengan mereka. Selain itu, bahasa dan penceritaan yang
sederhana membuat anak-anak udah menikmati.
“ Saya lebih senang kalau wayang saya ini
dinamakan wayang rakyat, karena dekat dengan masyarakat kecil.” ungkapnya
ketika ditanya mengenai nama wayangnya.
Sempat
ia diberi tahu oleh orang, bahwa dahulu sudah ada wayang semacam itu dan
bernama Wayang Suluh. Meskipun ia bingung dengan nama wayangnya, banyak orang
menamakan wayang rayat dan ia lebih senang dengan istilah tersebut.
Ketika
melihat koleksi wayang rakyatnya, ternyata saya juga melihat Wayang Purwa. Ternyata kepemilikan
wayang tersebut itu berawal dari jalan-jalan di klitikan dan melihat
wayang-wayang tersebut.
“Waktu
saya di Klithikan Semanggi,
wayang-wayang itu umpel-umpelan ra karuan. Dari situlah saya melihat
wayang kok enggak dihargai, lalu saya beli.” ungkapnya.
Wayang sak umbruk itu hanya ia beli 30ribu,
lalu ia perbaiki wayang-wayang tersebut. Semenjak kejadian tersebut setiap ia
melihat wayang di klithikan ia beli,
ia perbaiki, namun ia enggan menjualnya kembali.
Latar
belakang sosok Daniel bukanlah dalang, ia adalah pendeta yang memutuskan untuk keluar
dari gereja dan total mengabdikan diri di masyarakat. Wayang Rakyat hanyalah
salah satu dari sekian pengabdian sosialnya. Di rumahnya yang sederhana
tersebut ia memberikan pelayanan dengan menampung orang-orang yang bermasalah.
“Saya
itu pekerja sosial. Sebenarnya saya rohaniawan tetapi ternyata jiwa sosial saya
lebih dominan.”
Ia
sering ke penjara-penjara memberikan pelayanan rohani. Dari situ ia melihat
bahwa nasib keluarga narapidana yang ditinggalkan ternyata lebih terpuruk.
“Yang
dipenjara itu kalau mau menerima kenyataan tetep bisa hidup karena diopeni oleh negara, tetapi keluarga
yang ditinggalkan itu lebih menderita lho.” ungkapnya.
Yang ia
maksudkan adalah istri para narapidana harus tetap menghidupi keluarga,
dikucilkan masyarakat, bahkan terkadang harus berhadapan dengan dekoleptor,
hakim, jaksa, dan polisi.
Melihat
kompleksitas permasalahan tersebut, ia memperluas pelayanannya tidak hanya pada
si narapidana tetapi juga kepada keluarganya. Tidak hanya sekedar memberi
penyuluhan permasalahan keluarga napi, ia juga menampung para mantan napi dan
juga keluarga napi yang terlantar. Diantaranya adalah Alex dan Dika, yang saat
ini masih tinggal di rumahnya. Alex kini ia ajari membuka wedangan di desa tersebut sedang Dika sedang dalam proses mengurus ijasah yang
hilang untuk melanjutkan pendidikannya.
Keluarga mendukung penuh dan siap menanggung resiko
Bersama istri |
Totalitas Daniel dalam kegiatan sosialnya tersebut mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Istri dan tiga anaknya telah menganggap anak binaan sebagai keluarga sendiri.“ Sudah tidak ada istilah ini urusan sosial bapak ini urusan keluarga. Jadi semua kami lakukan bersama, hati sudah sama. Pada akhirnya hati anak-anak juga bisa memahami.” ungkap bu Daniel ketika ditanya pendapatnya mengenai kegiatan suaminya.
“Setelah
mereka masuk di rumah ini, sudah bukan orang asing. Di meja makan tidak ada
yang dibedakan sama sekali.” tambah Daniel.
Selain
Alex, telah banyak orang-orang dengan berbagai macam latar belakang dan usia
yang ia bimbing di rumahnya. Banyak yang telah berhasil kembali di tengah
masyarakat dan berkeluarga tetapi ada pula yang justru membawa kabur harta dan
motornya.
“Resiko
pelayanan itu juga ada, kan saya nampung anak itu tidak semua orang baik.
Pernah saya dihabiskan entek-entekan.”
ungkapnya.
Kejadian
tersebut terjadi ketika seluruh keluarga ada acara dan si pelaku mengaku sakit
dan memilih tinggal di rumah. Padahal si pencuri itu sudah tinggal di rumahnya
selama satu tahun. Hal semacam itu terjadi berulang kali, bahkan ada anak
binaan yang berani mencuri di rumah tetangga. Dan keluarga Daniel sering
mengganti dengan uang dan meminta maaf.
“Urusan
uang sudah selesai, tetapi malunya itu lho mas.” ungkap Bu Daniel.
Meskipun
resiko tersebut sangat memungkinkan untuk terulang lagi tetapi Daniel mengaku
tidak kapok. Ia tetap menerima siapapun
dengan latar belakang apapun dan juga dari agama apapun.
“Saya
harus pandai-pandai, yang namanya sponsor tidak ada.” ungkapnya ketika ditanya
mengenai pendanaan kegiatan tersebut..
Sekarang
marak bisnis di balik kegiatan sosial. Daniel tahu adanya fenomena tersebut dan
tahu seluk beluknya tetapi ia memilih tidak mengikuti hal tersebut. Secara
pendanaan dia merasa masih sanggup untuk mencukupi keluarga besarnya tersebut.
“ Masyarakat sekarang cenderung apatis
terhadap hal-hal sosial. Saya ingin masyarakat saling memperhatikan satu dengan
yang lain. Agar generasi selanjutnya tidak kehilangan kasih dan sayang lalu
tersesat.” ungkapnya di akhir wawancara.
wawancara:
31 September 2015
Pak Daniel, merupakan orang yang patut diacungi jutaan jempol, saya salut dengan Bapak Pendeta satu ini, kegemarannya yang "nyah nyoh" untuk sesama itu lho yang membuat saya cemburu. Tuhan selalu beserta Anda Pak Daniel, dan semoga diberi kesehatan serta kekuatan selalu. Amin.
ReplyDelete