Ya lumrah, cara mlakuku cen beda ora lurus kaya sampeyan, ora
linier kaya awakmu, mlakuku muser muser, mubeng mubeng, menggak menggok, mbeker
mbeker, ndhudhuk lemah, keblasuk, mblasuk, mlunjak mlunjak, ngesot, lhaya
lumrah awakku kalah dhisik tekane, tur aku weruh luwih akeh!!
(Dari kutipan facebook ‘Sandilara’)
Betapa telah
begitu jauh aku dari nenek moyangku, betapa telah tak mampu lagi genarasiku
kenali siapa akarnya. Apa yang telah ditemukan oleh nenek moyangnya telah
dianggap sebagai sebuah klenik, peninggalan
masa silam yang tak lagi mampu di aplikasikan dengan peradaban masa kini. Ini
salah ! jelas dan nyata ini keblinger ! tak nalar dan tak lagi masuk di akal !
Telah ratusan
juta taun peradaban berlangsung, telah pula diselesaikan oleh pendahulu kita
dengan gemilang, dengan keseriusan berfikir, mencari hingga menemukan. Temukan
thesis, muncul anti thesis dan terus berulang, terus berfikir, dan mencari,
atas nama keterbatasan, ketidaktahuan dan kegelisahaan. Para nenek moyang telah
temukan pengetahuan dengan jalan ilmu, apa yang mereka mampu dan bisa. Meski
tak tertulis dalam sebuah teori, atau legitimasi pengetahuan. Tapi itu tetap
temuan, dari proses berfikir kreatif nenek moyang.
Sedang hari ini,
para generasiku sibuk pelajari pengetehauan-pengetahuan dari negeri barat dan
arab, mengaplikasikannya dalam ilmu keseharian, meyakini sebagai sebuah
tuntunan. Betapa telah durhaka pada akarnya, pada siapa sebenarnya mereka, pada
nenek moyangnya, melupakan falsafah kedaerahannya, menganggap rendah segala
yang berbau dari dirinya sendiri, menghinakan segala yang telah ditemukan oleh
para pendahulunya dari daerah masing-masing. Dan paling mentok, segala yang
berbalut peninggalan, disalah pahami dalam kacau perayaan, dalam riuh atas nama
melestarikan, tanpa pernah pelajari hakekatnya, kebenarannya, makna dibalik
ajaran-ajarannya. Ah betapa pandir aku dan generasiku, ini ngawur, ngawur bukan
karena ingin mencari kebenaran lain, alternatif lain, tapi ngawur dalam
segmentasi benar-benar ngawur, yang tanpa landasan berfikir.
Maka mungkin generasi
zaman now telah akan meninggalkan
dirinya, meninggalkan Jawanya, Sumatranya, Kalimantanya, Papuanya. Yang saya
ketahui pola berfikir nenek moyang adalah pola yang tidak linier, memandang
sesuatu tidak hanya lurus kedepan, tidak seperti kacamata kuda, yang
meninggalkan sisi kanan kiri dan belakang. Karena kalau pola pemikiran nenek
moyang adalah linier tidak akan mungkin terjadi kebudayaan yang begini megah
dan ajaib di nusantara, tidak akan mungkin tersusun alat musik gamelan, tidak
akan mungkin ada persinggungan dunia kasat mata dan tak kasat mata, tidak akan
ditemukan berbagai macam hal yang hingga kini masih bertahan dan ada.
Sedang generasi zaman now, telah berfikir dengan pola
linier, lahir, bersekolah, bekerja di korporasi atau sekurang-kuranya menjadi
abdi negara yang mengabdi pada nafsu pribadi, menikah, membangun keluarga yang
dikira baik-baik saja, mekredit rumah, mobil dan menghabiskan pendapatan untuk
mengkonsumsi segala yang bermerk asing, dan akhirnya tua, dan selesailah pada
lubang yang ukuranya tak lebih besar dari jamban pasar. Tidak ada keberanian
untuk memandang yang lain selain yang dikira adalah masa depan, sedang masa depan
bangsa ini letaknya sudah berada dibelakang dan harus kita putar arah kapal
untuk kembali melihat apa yang telah ditemukan oleh nenek moyang. Jangankan memandang
ke nenek moyang, bercermin dan menanyakan siapa dirinya saja sudah tidak ada
lagi keinginan, mempertanyakan kenapa Ia lahir di Klaten misalnya, kenapa tidak
di Sumatra atau di Amerika, apakah sekedar takdir belaka, atau mungkin Tuhan
iseng. Ah malah melompat jauh ke Tuhan, apa ya masih percaya terhadap Tuhan
para generasi zaman now ?
Klaten 18
Januari 2018
No comments:
Post a Comment