Wednesday, 17 January 2018

Linier

Ya lumrah, cara mlakuku cen beda ora lurus kaya sampeyan, ora linier kaya awakmu, mlakuku muser muser, mubeng mubeng, menggak menggok, mbeker mbeker, ndhudhuk lemah, keblasuk, mblasuk, mlunjak mlunjak, ngesot, lhaya lumrah awakku kalah dhisik tekane, tur aku weruh luwih akeh!!
(Dari kutipan facebook ‘Sandilara’)

Betapa telah begitu jauh aku dari nenek moyangku, betapa telah tak mampu lagi genarasiku kenali siapa akarnya. Apa yang telah ditemukan oleh nenek moyangnya telah dianggap sebagai sebuah klenik, peninggalan masa silam yang tak lagi mampu di aplikasikan dengan peradaban masa kini. Ini salah ! jelas dan nyata ini keblinger ! tak nalar dan tak lagi masuk di akal !

Telah ratusan juta taun peradaban berlangsung, telah pula diselesaikan oleh pendahulu kita dengan gemilang, dengan keseriusan berfikir, mencari hingga menemukan. Temukan thesis, muncul anti thesis dan terus berulang, terus berfikir, dan mencari, atas nama keterbatasan, ketidaktahuan dan kegelisahaan. Para nenek moyang telah temukan pengetahuan dengan jalan ilmu, apa yang mereka mampu dan bisa. Meski tak tertulis dalam sebuah teori, atau legitimasi pengetahuan. Tapi itu tetap temuan, dari proses berfikir kreatif nenek moyang.

Sedang hari ini, para generasiku sibuk pelajari pengetehauan-pengetahuan dari negeri barat dan arab, mengaplikasikannya dalam ilmu keseharian, meyakini sebagai sebuah tuntunan. Betapa telah durhaka pada akarnya, pada siapa sebenarnya mereka, pada nenek moyangnya, melupakan falsafah kedaerahannya, menganggap rendah segala yang berbau dari dirinya sendiri, menghinakan segala yang telah ditemukan oleh para pendahulunya dari daerah masing-masing. Dan paling mentok, segala yang berbalut peninggalan, disalah pahami dalam kacau perayaan, dalam riuh atas nama melestarikan, tanpa pernah pelajari hakekatnya, kebenarannya, makna dibalik ajaran-ajarannya. Ah betapa pandir aku dan generasiku, ini ngawur, ngawur bukan karena ingin mencari kebenaran lain, alternatif lain, tapi ngawur dalam segmentasi benar-benar ngawur, yang tanpa landasan berfikir.

Maka mungkin generasi zaman now telah akan meninggalkan dirinya, meninggalkan Jawanya, Sumatranya, Kalimantanya, Papuanya. Yang saya ketahui pola berfikir nenek moyang adalah pola yang tidak linier, memandang sesuatu tidak hanya lurus kedepan, tidak seperti kacamata kuda, yang meninggalkan sisi kanan kiri dan belakang. Karena kalau pola pemikiran nenek moyang adalah linier tidak akan mungkin terjadi kebudayaan yang begini megah dan ajaib di nusantara, tidak akan mungkin tersusun alat musik gamelan, tidak akan mungkin ada persinggungan dunia kasat mata dan tak kasat mata, tidak akan ditemukan berbagai macam hal yang hingga kini masih bertahan dan ada.

Sedang generasi zaman now, telah berfikir dengan pola linier, lahir, bersekolah, bekerja di korporasi atau sekurang-kuranya menjadi abdi negara yang mengabdi pada nafsu pribadi, menikah, membangun keluarga yang dikira baik-baik saja, mekredit rumah, mobil dan menghabiskan pendapatan untuk mengkonsumsi segala yang bermerk asing, dan akhirnya tua, dan selesailah pada lubang yang ukuranya tak lebih besar dari jamban pasar. Tidak ada keberanian untuk memandang yang lain selain yang dikira adalah masa depan, sedang masa depan bangsa ini letaknya sudah berada dibelakang dan harus kita putar arah kapal untuk kembali melihat apa yang telah ditemukan oleh nenek moyang. Jangankan memandang ke nenek moyang, bercermin dan menanyakan siapa dirinya saja sudah tidak ada lagi keinginan, mempertanyakan kenapa Ia lahir di Klaten misalnya, kenapa tidak di Sumatra atau di Amerika, apakah sekedar takdir belaka, atau mungkin Tuhan iseng. Ah malah melompat jauh ke Tuhan, apa ya masih percaya terhadap Tuhan para generasi zaman now ?  

Klaten 18 Januari 2018





No comments:

Post a Comment