Saturday, 25 May 2019

KECANDAK KOWE DADI! (Idnas Aral)


Bagi yang dulu pernah bermain playon. Tak asing dengan kalimat itu. Sebuah aturan sederhana, yang artinya, bagi pemain yang tersentuh oleh si pengejar maka ia berganti peran dengan si pengejar atau biasa disebut, sing dadi, artinya yang menjadi. Sekumpulan anak yang sedang bermain playon itu berlarian senang sembari ngece si 'dadi'.

Mereka senang menjadi bagian dari mayoritas dan akan berusaha keras untuk tidak 'kecandhak'. Sebaliknya si pengejar akan berusaha keras untuk nyandhak salah satu dari mayoritas untuk bertukar peran, untuk melepas tugas mengejar lalu ganti dikejar dan kemudia bergabung dengan kelompok mayoritas. Serunya permainan ini akan terus terjaga selama kelompok bermain tersebut, semuanya tidak ingin 'dadi', semua berusaha menghindari peran pengejar yang hanya satu-satunya, semua ingin menjadi mayoritas. Kalau mereka justru sukarela bahkan berebutan untuk kecandhak dan semua kepengen dadi, jadi tak seru lagi.

Anak-anak yang memang suka playon, ditampung oleh beberapa permainan tradisional yang biasanya berpola pertentangan dua peran pokok, yakni ‘yang-dadi dan tidak-dadi, yang mengejar dan dikejar, seorang vs banyak orang. Ini sekedar keseruan permainan yang tercipta oleh aturan main sederhana dan mudah dipahami. Tetapi situasi tersebut tidak akan tercipta jika tidak ada kecenderungan orang untuk memilih dan berusaha menjadi bagian dari mayoritas dan ketidaksudian menjadi satu-satunya atau minoritas.

Tetapi terkadang keasyikan permainan itu menjadi tragis dan kejam ketika terjadi ketidakseimbangan kekuatan. Yakni, ketika anak yang lemah itu dikungkum sak bubare atau terus menerus berperan sebagai seolah aib yang dijauhi kawan-kawan yang wegah nyedhak ndak kecandhak.

Posisi minoritas, sendirian, dihindari, ditambah dikeroyok dengan olokan, ingin nyandhak tak mampu, kalah fisik, psikologi terpojok, itulah kondisi seorang anak yang sedang dikungkum sak bubare. Situasi menyedihkan si minor itu, kalau tidak terempati oleh kawan-kawan sepermainannya, biasanya ia menangis dan bubar, atau tetap ngampet tetapi jadi trauma atau kapok bermain lagi.

Atau dan mungkin.
Biasanya muncul sosok pahlawan cilik dari salah satu mayoritas itu. Ia menangkap kesedihan, ketakberdayaan, ketertindasan keadaan anak yang dikungkum itu.

Ia mendengar jeritan minta tolong yang tak diucapkan itu.

Maka ia pun merelakan diri untuk kecandhak dan menggantikan peran, memikul tanggung jawab itu.

Ia berani, sebab ia tahu bahwa ia memiliki kemampuan yang telah ia takar, ketika  harus mengorbankan diri untuk 'dadi', ia sanggup melakoninya. Dan memang seperti itulah seorang pahlawan itu, selain berkepekaan tinggi, ia memiliki power lebih dari yang lain untuk memikul tanggungjawab, memiliki kemampuan dan skill untuk merubah keadaan. Ketika dua syarat itu termiliki, maka sore itu, lahirlah seorang pahlawan cilik dari sebuah permainan playon.

Anak seperti itu sepengalamku, selalu ada di setiap segerombolan geng dolanan. Heroisme tumbuh di dalam dirinya secara naluriah. Sebab itulah, secara tidak formal ia akan diangkat sebagai pemimpin oleh rombongan bermain kami tanpa harus menawar-nawarkan diri. Tanpa mencalonkan diri, ia terpilih sebagai panutan. Tanpa mengucapkan apapun, ia memikul tanggung jawab lebih tanpa perlu mengeluh.

Sebab, ia adalah seorang pahlawan maka ia menjadi pemimpin.

Jika pemimpin bukan seorang pahlawan maka ia tak mungkin sanggup memimpin, ia hanya memerintah atau justru menindas.
Pemimpin lahir dari jiwa kepahlawanan.
Pahlawan adalah kepekaan dan keempatian yang ditopang power untuk berbuat merubah keadaan.
Tanpa power pahlawan hanyalah konsep dan angan-angan.
Tanpa kepekaan dan keempatian, power hanya akan menjadi wenang yang sewenang-wenang.
Bibit pahlawan dan pemimpin akan selalu ada di setiap generasi anak-anak kita, tinggal bagaimana mekanisme "kecandhak" lalu "dadi" kita, akankah sampai pada pundak yang tepat.
Bismillah! Sahur-sahur!

Catatan Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral

No comments:

Post a Comment