Bagi
yang dulu pernah bermain playon. Tak asing dengan kalimat itu. Sebuah aturan
sederhana, yang artinya, bagi pemain yang tersentuh oleh si pengejar maka ia
berganti peran dengan si pengejar atau biasa disebut, sing dadi, artinya yang menjadi. Sekumpulan anak yang sedang
bermain playon itu berlarian senang sembari ngece
si 'dadi'.
Mereka
senang menjadi bagian dari mayoritas dan akan berusaha keras untuk tidak 'kecandhak'. Sebaliknya si pengejar akan
berusaha keras untuk ‘nyandhak’ salah satu dari
mayoritas untuk bertukar peran, untuk melepas tugas mengejar lalu ganti dikejar
dan kemudia bergabung dengan
kelompok mayoritas. Serunya permainan ini akan terus terjaga selama kelompok
bermain tersebut, semuanya tidak ingin 'dadi',
semua berusaha menghindari peran pengejar yang hanya satu-satunya, semua ingin
menjadi mayoritas. Kalau mereka justru sukarela bahkan berebutan untuk
kecandhak dan semua kepengen dadi, jadi tak seru lagi.
Anak-anak
yang memang suka playon, ditampung oleh beberapa permainan tradisional yang
biasanya berpola pertentangan dua peran pokok, yakni ‘yang-dadi’ dan ‘tidak-dadi’, yang mengejar dan dikejar, seorang vs banyak
orang. Ini sekedar keseruan permainan yang tercipta oleh aturan main sederhana
dan mudah dipahami. Tetapi situasi tersebut tidak akan tercipta jika tidak ada
kecenderungan orang untuk memilih
dan berusaha menjadi bagian dari mayoritas dan ketidaksudian menjadi satu-satunya
atau minoritas.
Tetapi
terkadang keasyikan
permainan itu menjadi tragis dan kejam
ketika terjadi ketidakseimbangan kekuatan. Yakni, ketika anak yang lemah
itu ‘dikungkum
sak bubare’ atau terus menerus berperan sebagai seolah
aib yang dijauhi kawan-kawan yang wegah
nyedhak ndak kecandhak.
Posisi
minoritas, sendirian, dihindari, ditambah dikeroyok dengan olokan, ingin
nyandhak tak mampu, kalah fisik, psikologi terpojok, itulah kondisi seorang
anak yang sedang dikungkum sak bubare.
Situasi menyedihkan si minor itu, kalau tidak terempati oleh kawan-kawan
sepermainannya, biasanya ia
menangis dan bubar, atau tetap ngampet tetapi jadi trauma atau kapok bermain lagi.
Atau dan mungkin.
Biasanya
muncul sosok pahlawan cilik dari salah satu mayoritas itu. Ia menangkap
kesedihan, ketakberdayaan, ketertindasan keadaan anak yang dikungkum itu.
Ia mendengar jeritan minta tolong yang tak diucapkan itu.
Maka ia
pun merelakan diri untuk kecandhak dan menggantikan peran, memikul tanggung
jawab itu.
Ia
berani, sebab ia tahu bahwa ia memiliki
kemampuan yang telah ia takar, ketika harus
mengorbankan diri untuk 'dadi', ia sanggup melakoninya. Dan memang
seperti itulah seorang pahlawan itu, selain berkepekaan tinggi, ia memiliki
power lebih dari yang lain untuk memikul tanggungjawab, memiliki kemampuan dan
skill untuk merubah keadaan. Ketika dua syarat itu termiliki, maka sore itu,
lahirlah seorang pahlawan cilik dari sebuah permainan playon.
Anak
seperti itu sepengalamku, selalu ada di setiap segerombolan geng dolanan.
Heroisme tumbuh di dalam dirinya secara naluriah. Sebab itulah, secara tidak
formal ia akan diangkat sebagai pemimpin oleh rombongan bermain kami tanpa harus menawar-nawarkan diri. Tanpa mencalonkan
diri, ia terpilih sebagai panutan. Tanpa mengucapkan apapun, ia memikul
tanggung jawab lebih tanpa perlu
mengeluh.
Sebab,
ia adalah seorang pahlawan maka ia menjadi pemimpin.
Jika
pemimpin bukan seorang pahlawan maka ia tak mungkin sanggup memimpin, ia hanya
memerintah atau justru menindas.
Pemimpin
lahir dari jiwa kepahlawanan.
Pahlawan
adalah kepekaan dan keempatian yang ditopang power untuk berbuat merubah
keadaan.
Tanpa
power pahlawan hanyalah konsep dan angan-angan.
Tanpa
kepekaan dan keempatian, power hanya akan menjadi wenang yang sewenang-wenang.
Bibit
pahlawan dan pemimpin akan selalu
ada di setiap generasi anak-anak kita, tinggal bagaimana mekanisme
"kecandhak" lalu "dadi" kita, akankah sampai pada pundak
yang tepat.
Bismillah!
Sahur-sahur!
Catatan
Gumam, 26 Mei 2019
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment