Saturday, 23 February 2019

AGUAMA (Turun di sebuah Semester Pendek)


AGUAMA sebenarnya lebih senang saya sebut variabel ketimbang judul lakon. Sebab AGUAMA tidak memiliki makna, ia hanyalah nama. Tapi mosok ya, “Teater Tesa mempersembahkan sebuah lakon dengan variabel…...” Jadi tetaplah sebut itu judul saja.

Misal, AGUAMA adalah A, maka pertunjukkan itu nanti adalah  (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F,

jadi A=(Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F

atau AGUAMA= (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F

Maka, apa yang diadegankan, didialogkan, dipertunjukkan, divisualkan, dimunculkan dalam pertunjukan itu nanti adalah (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F),

atau bisa disebut variabel A (AGUAMA) tidak akan nampak sama sekali di rangkaian peristiwa panggung tersebut.

AGUAMA adalah SEBUAH VARIABEL untuk kami menyuarakan atau berbicara mengenai Q, Y, U, X, T, B, C, F beserta rumus atau tawaran POLA PIKIR yang mentertainya.

PRA variabel AGUAMA

Bermula dari sebuah candaan di sore, “kalau dulu anak-anak teater kampus butuh semester pendek untuk mengejar nilai akademisnya, kalau sekarang semester pendek dibutuhkan untuk mengejar belajar teaternya.” Melihat kondisi dimana sekarang IPK mereka lancar dan cepat lulus, yang berakibat (entah baik/buruk) peluang intensitas mereka terhadap kerja pemanggungan berkurang.

Dari sebuah bercanda, sesuatu pun terjadi….. (ini tidak seperti ketika tuhan menciptakan kehidupan. Yang kata (siapa? aku lupa!), bahwa kehidupan ini adalah hasil dari candaan tuhan yang paling tragis.)

….. maka saya tawarkan sebuah proses dengan tajuk Semester Pendek kepada siapa saja yang berani kemaki untuk tidak “menghabiskan waktu” liburan tetapi “mengolah waktu” untuk memproduksi pertunjukkan. Bagaimana?

Lalu dengan secara berangsur, Salam, Bobi, Hasan, Naim, Sigit, dan kemudian juga berangsur kemayu; Bibit masuk.

Waktu pun berjalan, latihan-latihan mereka yang bisa hampir setiap hari karena tidak terganggu tugas kuliah itu kemudian sampai pada sebuah tuntutan untuk saya segera menentukan naskah yang akan dimainkan.

Saya memiliki pemahaman, bahwa naskah yang akan dimainkan harus menjadi sebuah ‘kran’ yang akan dibuka untuk mengalirkan apa yang hendak para pelaku ‘ekspresikan’. Dan ekspresi adalah bentuk dari menyampaikan ‘sesuatu’. Pendeknya, kata bung Neitsche, seni adalah cara berbicara, cara mengungkap.

Maka sampailah saya pada sebuah pertanyaan, “apakah kita benar-benar memiliki “sesuatu” yang ingin disampaikan itu?

“apakah kita benar-benar memiliki keinginan untuk “menyampaikan” sesuatu itu?

Pertanyaan itu belum terjawab, sudah muncul pertanyaan lagi,

“apakah “sesuatu” itu dapat kita ungkapkan? Penting untuk diungkapkan? Untuk apa diungkapkan?”

Memang boleh saja kita mengambil naskah yang sudah ada, “kran” yang sudah jadi sepaket dengan “air”nya, agar efektif dan kita bisa segera fokus untuk latihan menjadi peralon atau selang. Toh, sekedar jadi peralon itu juga tidak gampang, mangsamuk! Tapi saya tetap kepengin untuk tidak bernaung di bawah atap “sekedar” kalaupun harus ambyar dan bubar jalan.

Tumpukan pertanyaan masih belum terjawab, timbul tenggelam di antara Salam, Bobi, Hasan, Naim, Sigit, dan Bibit yang latihan. Kadang Alimi dan Bana ikut, tapi seringnya tidak. Rutinitas latihan setiap malam, menambah metode atau mengulang materi dan evaluasi. Makin sering hal tersebut dilakukan, kami semakin tahu bahwa betapa masih begitu jauh kami dari “menjadi seorang aktor” (jika merujuk bacaan dan wejangan). Mungkin tahapnya memang begitu, latihan teater sebelum membawa kita pada kondisi ‘memperbaiki’ atau meningkatkan kemampuan, kita harus melalui tahap mengenali kekurangan-kekurangan diri dahulu. Semua itu adalah bagian dari mengenali diri sendiri, maka dasar-dasar latihan teater tidak pernah lepas dari “usaha membaca diri sendiri”.

Dari situlah, saya mendapatkan kesimpulan, bahwa ternyata kami sudah melakukan tahap “reading”! Kami membaca diri kami, kami berdialog dengan diri kami, kami berdialog dengan tubuh kami. Kami menemukan pertempuran di tubuh kami, menemu konflik, menemu drama, menemu tragedi, menemu komedi,……

Ya, teater adalah sebuah alat baca, metoda, pisau bedah, yang tidak hanya memantulkan bayangan kita tetapi juga mendedah, bahkan mendiagnosa, meski tak harus menjanjikan obat.

Sebab terpancing oleh kesimpulan itu, AGUAMA pun turun sebagai variabel untuk merumuskan hasil pembacaan tersebut agar menjadi sebuah susunan cerita, sebuah usaha dramatik (naskah) yang akan dimainkan oleh Bobi yang memerankan Bobi, Naim sebagai Naim, Hasan sebagai Hasan, Sigit sebagai Sigit, dan Bibit sebagai Bibit.   

AGUAMA disepakati sebagai naskah yang akan kami tunaikan di Sanggar Teater Tesa, 7,8, dan 9 Maret 2019, 20.00 WIB.

Kami akan berbicara mengenai diri kami, apakah akan menjadi diri anda?
Kami akan berbicara mengenai teater kami, apakah akan menjadi teater kita? teater kampus? teater amatir? teater politik? teater negara? teater agama? dan segala teater lainnya?
Kami akan mempertunjukkan diri kami, apakah akan menjadi pertunjukkan diri anda?

Jadi pertanyaannya,
Jika A = (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F,  apakah  (Q+Y+UX)×T⅛÷B–C+F = Anda?

Sukoharjo, 24 February 2019
Idnas Aral



  


No comments:

Post a Comment