Ekalaya adalah salah satu tokoh di cerita
Mahabarata. Keahlian memanahnya lebih hebat dari Arjuna. Padahal cara
belajarnya hanya dengan melihat latihan memanahnya Arjuna yang diajar oleh Guru
Durna. Setelah melihat latihan Arjuna, Ekalaya kemudian berlatih sendiri dengan
patung. Dengan cara berlatih seperti itu, ia memiliki kemampuan memanah yang
lebih hebat dibanding dengan Arjuna.
Saya
kembali teringat kisah itu, ketika Bu Dwi (guru dari si anak) datang menceritakan
perihal Nino yang mengajari dan menyutradarai teman-teman sekelasnya bermain
Teater. Nino yang baru saya tahu dari cerita Bu Dwi ternyata adalah salah satu
anak yang selalu memperhatikan ketika saya melatih teater di halaman rumah
saya. Dari melihat latihan itu, Nino merekam, menafsir, lalu menuangkan kepada
teman-temannya.
Tanpa
disadari oleh si anak, ia telah mempraktikkan proses kreatif pertunjukan teater,
yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh anak-anak yang berlatih langsung dengan
saya, atau bahkan anak dewasa sekalipun. Dan tentunya keberhasilan itu tidak
akan tercipta tanpa dukungan teman-teman Nino yang turut serta menggarap
pertujukan tersebut. Mereka telah menunjukkan kemampuan berorganisasi, yang
tidak semua orang mampu dan mau, karena kecenderungan yang berkembang saat ini
adalah sikap individualis.
Maka melalui tulisan ini saya ingin mengungkapkan
kekaguman dan kebanggaan saya kepada anak-anak yang telah menggarap karya saya
yang berjudul “Dedolanan” --yang baru
saya tahu ketika diberitahu oleh Bu Dwi.
Di tengah gempuran arus informasi televisi dan dunia
maya, ternyata kemurnian masih dimiliki anak-anak TK. Maka, saya semakin yakin
bahwasanya akan kembali lahir pemimpin-pemimpin besar seperti Soekarno, Hata,
Syahrir, pula seperti Mahatma Gandhi di India.
Oleh sebab itu, ketika saya diminta untuk menonton lalu
memperbaiki pertunjukan itu oleh Bu Dwi, saya menolak karena saya tidak lebih
hebat dari mereka. Di usia mereka yang dini, mereka telah menunjukkan karakter
dan bibit-bibit kepemimpinan tanpa mereka sadari. Maka adalah tugas kita, para
pendidik, entah guru atau orang tua untuk mengembangkan karakter tersebut.
Peristiwa ini adalah fenomena manusiawi di tengah narasi
besar reduksi kemanusiaan. Sebab sedang maraknya pendidikan karakter yang
justru lebih mengindikasikan penyeragaman karakter. Seringkali membuat saya
bertanya-tanya, kita ini dididik untuk menjadi apa? Karena hanya kepatuhan,
kepatuhan, dan kepatuhan yang terus ditanamkan.
Kepatuhan memang sangat diperlukan dalam proses
pendidikan, tetapi bukanlah satu-satunya asas yang harus dipenuhi. Bukan pula
merupakan sebuah lawan dari sikap kritis, yang artinya kepatuhan bisa disertai
dengan sikap kritis. Karena tanpa adanya pendidikan sikap kritis untuk para
generasi muda, muskil akan ada perubahan untuk Indonesia yang seperti “ini”.
Apa yang dilakukan oleh Nino dan
kawan-kawannya adalah pembuktian bahwa bibit-bibit manusia berkarakter yang
akan memimpin bangsa masih ada. Pemimpin-pemimpin berkarakter akan kembali
hadir menggantikan para pemimpin-pemimpin yang hanya menjadi objek jaman.
Tetapi semua harapan besar itu muskil terealisasikan
tanpa kesadaran para pendidik untuk mengolah bibit-bibit unggul. Para pendidik
harus senantiasa menjadi tanah yang “organik”, yang juga tidak tergantung oleh
racun-racun jaman edan. Dari situlah bibit-bibit semacam Nino akan tumbuh untuk
menyelesaikan krisis kepemimpinan di negeri ini.
Fenomena Ekalaya yang saya temui ini hanyalah satu di
antara sekian fenomena bibit kepemimpinan. Nino hanyalah salah satu anak yang
telah menunjukkan kualitasnya secara murni. Saya percaya ada berjuta tersebar
di seantero nusantara. Jika jutaan bibit itu tidak lahir satu pemimin-pun, maka
kita wajib mengutuki diri sendiri.
Demikian tulisan dan harapan saya. Semoga di jenjang
pendidikan berikutnya mereka akan mendapatkan tempat yang dapat mengembangkan
bakat-bakat kepemimpinan mereka. Karena untuk Indonesia ke depan, merekalah
yang akan memimpin. Lahir atau tidaknya seorang pemimpin adalah tanggung jawab
kita bersama.
No comments:
Post a Comment