Tuesday, 28 June 2016

Nyanyian Gagak (Mas Bei)



Lupakah kalian bahwa kami pernah dikirim Tuhan untuk menunjukkan kepada Qabil bagaimana cara menguburkan mayat? Ya, jenazah Habil yang mati ditangan Qabil saudaranya sendiri. Mungkin sejak saat itu pula anak – cucu Adam dan Hawa mengenalku, menganggap keberadaan atau kedatanganku sebagai pertanda peristiwa buruk. Tapi tahukah kalian kabar duka bukan semata soal kematian, sebagaimana hitam tidak selalu berarti kegelapan, horor, duka cita, kematian, atau kengerian. Kau terlalu banyak baca novel fiksi dan nonton  film horor, sampai sesempit itu pandanganmu tentang keberadaanku, peranku sebagai makhluk Tuhan, dan nyanyianku yang kalian anggap tanda kematian. Sekali lagi aku katakan, kabar buruk bukan melulu soal kematian, bisa jadi ancaman, hasil analisis gejala sosial serta dampaknya, kedok-kedok pergerakan, proyek tipu-tipu yang kini dianggap kewajaran, menurunnya fungsi panca indera akibat berlebihan memuja kemajuan jaman, dan masih banyak lagi.

Aku menyertai kejadian buruk di setiap jaman, setelah itu memberitakan pada makhluk lain agar siap dan waspada terhadap segala kemungkinan buruk yang akan menimpa mereka. Mungkin itu tugasku, tanggung jawab sebagai makhluk ciptaan Tuhan atau Tuhan memang sengaja memberikan karunia berupa daya tangkap dan insting yang tajam. Sebagaimana dua sisi mata uang logam, kelebihan tentunya harus diimbangi dengan tanggung jawab, keduanya satu paket diberikan Tuhan kepadaku, karena aku memperoleh kelebihan itu secara gratis. Aku bahagia menerima anugrah itu. Sampai tiba pada satu jaman dimana orang-orang melupakan keberadaan dan peranku, bahkan beberapa orang mulai berusaha menyingkirkan kami, tidak lagi mau membagi tempat apalagi mempersilakan kami duduk menawarkan pertemanan atau sekedar mendengar kabar dari kami.

Aku terjaga di saat orang-orang menutup mata, aku bernyanyi ketika semua telinga lelap dalam mimpi, aku terbang di gelap perkampungan mengabarkan berita duka, karena di kota tidak ada lagi tempat untukku, tidak ada lagi orang percaya kabar yang aku bawa, apalagi meluangkan waktu untuk memikirkan setiap apa yang aku sampaikan. Mereka itu lebih percaya berita takhayul yang disusupkan kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan mereka, dijejaring sosial, dimedia masa, diacara televisi, dipentas-pentas mereka, atau status keluh kesah berbau sampah milik teman-teman mereka yang sebenarnya tidak enak untuk dihirup, tapi sudah jadi barang wajar sampah menjadi menu utama, sarapan pagi orang-orang jaman sekarang, sebagai energi debat kusir didinding beranda, atau dimeja diskusi kaum terpelajar negeri ini.

Menjelang matahari terbit bagiku adalah akhir hari. Di saat kebanyakan orang mempersiapkan diri aku mulai tidur hingga matahari tenggelam, walau sebenarnya aku tidak benar-benar tidur, dalam diam aku merekam apa yang terjadi disekitar, hatiku bergetar, otakku berputar. Selepas maghrib mataku mulai terbuka, dari kejauhan mengamati, mana orang yang tepat dan kiranya bisa memahami berita yang hendak aku sampaikan. Tetapi, lagi-lagi tidak seorang pun aku dapati, semua sudah mengurung diri di layar ponsel, hanyut mengikuti iklan di tv, sibuk memenuhi tuntutan jaman baru, menyumbat telinga dengan status-status sampah kawan mereka, atau duduk sambil membagikan limbah yang mereka sendiri tidak tahu dari mana asalnya.

Terkadang disetiap cerita fiksi atau film horor aku ikut ambil bagian, sebagai peran pendukung, tentunya bersama tokoh-tokoh antagonis, seperti penjahat, pembunuh, penyihir, dan semacamnya. Atas dasar itukah kalian takut akan keberadaanku? Takut jika aku membawa kabar buruk untuk kalian? Takut jika kedatanganku mengusik kemapanan tatanan konyol yang kalian pelihara selama ini? Merasa terancam jika berita yang aku sampaikan tidak sejalan dengan pemikiran kalian yang sudah terseret mengikuti tren?

Jaman memang selalu berubah, sementara aku hidup dari masa ke masa, berkawan sunyi berteman gelap malam. Siang bukan untukku, terlalu bising dan banyak burung-burung lain berkicau, hingga dunia serupa pasar burung, dimana orang akan bingung ketika semua bebas berkicau. Tidak hanya burung, bahkan manusia sekarang sudah mulai gemar berkicau, tidak jelas pangkal ujung apa yang mereka sampaikan, kicauan yang membuat gaduh, tak tertata, asal bunyi, ingin didengar walau hanya sampah yang mereka lempar, atau limbah polusi yang mereka bagikan disetiap jejaring sosial dengan maksud akunnya memperoleh banyak perhatian. Tentunya perhatian semu yang akan menguap seiring munculnya postingan baru.

Haruskah aku mempertanyakan kepada Tuhan, “wahai Sang Pencipta, mengapa sedemikian rupa Kau ciptakan hamba?” pikirku waktu itu. Alangkah enaknya jadi manusia, biarpun sebenarnya tahu tapi bisa pura-pura bodoh, bisa mendapatkan pendidikan tinggi tapi ingkar pada tanggung jawab moral. Ya, memang tidak ada yang akan mempertanyakan atau menagih tentang tanggung jawab moral di dunia ini. Status pekerjaan serta nilai akhir kelulusan yang lebih jadi tolak ukur sukses tidaknya seseorang. Maka pandangan semacam itu yang tertanam dibenak mereka, sedangkan aku tidak bisa menutup rapat paruhku untuk tidak mengabarkan setiap gejala yang aku tangkap, karena aku tidak memiliki akal, tidak bisa bermain aman dengan diam.

Tapi Tuhan telah memberikanku daya adaptasi tingkat tinggi, aku mampu bertahan disegala jaman tanpa harus merubah bulu seindah Merak, atau melatih suara agar merdu seperti burung kicauan lainnya. Aku tetap menjadi aku, Gagak hitam, yang menyampaikan berita buruk, yang bertahan ditengah masyarakat hidup bersama polusi, yang siap tidak didengar atau dilempari batu cercaan ketika melintas terbang diatas proyek tipu-menipu, yang mampu hinggap di tempat manapun untuk sekedar merekam peristiwa, di gedung kesenian, di lingkungan akademik, di kantor pemerintahan, di kampung pinggiran, bahkan kini terpaksa aku mendarat di jejaring sosial, setelah tak ada lagi telinga yang sudi mendengar ditempat-tempat itu, karena manusia kini bermukim didunia maya. Maka kami datangi mereka, bukan dengan suara kami yang parau, melainkan tulisan-tulisan, ya kami sudah belajar menulis sekarang.

Jika kau dengar kabar burung, bisa jadi itu dariku atau teman-temanku. Jika kau tak percaya kabar burung, maka cukuplah menutup telinga tanpa harus mengutuk. Jika kalian merasa terusik karena syair lagu yang kami nyanyikan berarti masih ada sedikit kesadaran di hatimu. Hanya mungkin kau merasa malu untuk percaya, pada berita yang datang dari sekumpulan makhluk malam seperti kami. 

Atau bisa jadi kau sudah terlalu nyaman dengan kebahagiaan semu, takut dan berusaha menjaga kebahagiaan itu tetap abadi melekat bersamamu, kebahagiaan yang ditawarkan oleh dunia moderen, dunia yang membuatmu merasa nyaman dalam jerat kepentingan global, mengurungmu dalam layar ponsel sepanjang hari, menyuapimu dengan berita-berita adu domba, tulisan-tulisan yang bermuara pada ketakutan bila tidak kau ikuti dan kau beli produk yang mereka tawarkan. 

Selain itu ada yang lebih konyol, status keluh kesah urusan remeh teman- teman jejaring sosialmu, yang sebagian besar tak kau kenal didunia nyata, entah itu kawan atau musuh asalkan muncul dilayar ponsel ketika kau membukanya, kau mengerti atau tidak apa yang mereka tulis atau bagikan, jarimu akan otomatis menekan kata ‘like’ atau suka, juga unggahan foto-foto yang lagi-lagi membuat jari telunjukmu gatal jika tak menyentuh pilihan ‘like’ atau ‘menyukai’, sebagai tanda kau suka apa yang dia unggah. Mungkin itu sebuah bentuk kepedulian model baru, kau dan mereka akan merasa diperhatikan serta memperoleh kebanggaan ketika banyak jempol muncul disetiap apa yang baru saja kau unggah, kau dan orang-orang itu akan bergantian “menyukai” layaknya orang hajatan mendapat sumbangan, lalu bergantian memberi sumbangan ketika yang lain punya hajat, tanpa lebih dulu mengerti untuk apa itu harus dilakukan. 

            Dulu ketika teknologi moderen belum terlalu merampas waktu manusia, aku tinggal bersama mereka, meski ku atur jarak agar mereka tidak takut jika pada suatu malam tiba-tiba berjumpa denganku. Tidak ada masalah, tidak ada persoalan, manusia masih percaya sepenuhnya pada Tuhan dan menghormati semua ciptaannya, setiap aku datang membawa pesan mereka mengerti, lalu segera mengambil langkah antisipasi atau mempersiapkan diri jika dalam waktu dekat kejadian buruk akan datang. Sampai kepercayaan terhadap bahasa alam terganti oleh media berita, lambat laun kemampuan membaca pertanda yang dimiliki manusia mulai menurun. Aku dianggap burung pembawa sial, yang masih percaya pada pertanda yang aku bawa dianggap orang kuno dan musyrik. Oleh karenanya aku segera mencari tempat baru, aku pindah rumah, menuju gedung-gedung kesenian. Bukankah orang kesenian adalah orang yang memiliki ketajaman rasa? Pasti mereka masih bisa mengerti segala gejala dan pertanda, barangkali bisa mereka olah sebagai karya, mengangkatnya ke atas panggung, menerjemahkan apa yang aku beritakan tentang kabar-kabar buruk agar masyarakat umum bisa mengerti.

Tapi ternyata harapanku itu terlalu berlebihan, mereka terlalu sibuk untuk mendengarku, apalagi mengolah beritaku dan mengangkatnya sebagai karya diatas panggung. Mereka lebih senang berbicara soal barang dagangan, yang jauh dari persoalan hidup disekitar atau minimal diluar lingkungan mereka, satu sama lain berlomba-lomba mengimpor bahan baku dari jejaring sosial, hiburan televisi atau berebut juragan untuk kerjasama dagang. Akhirnya aku terbang meninggalkan gedung-gedung kesenian, ketika tempat itu sudah terlalu terang dipenuhi agenda kelompok kesenian program kerja, badut-badut pertunjukan, makelar seni, dan corong “pekerja kebudayaan” yang kerasnya melebihi suara speaker iklan obat moon light di Pasar Klewer. Di gedung kesenian, disetiap pementasan, diatas mimbar diskusi, bahkan dijejaring sosial, mereka para makelar dan “pekerja kebudayaan” berjualan dengan kedok pelestarian seni tradisi dan kebudayaan.
 
Di lingkungan pemerintahan, aku saksikan orang sudah duduk dengan nyaman, merasa berhasil memperoleh posisi aman, merasa pendidikan yang mereka bayar dengan mahal tertebus dengan gaji tinggi di setiap bulan, belum lagi tunjangan untuk mereka yang sudah menyandang predikat pegawai negeri. Tapi belum sempat aku mengetuk pintu ruangan pak kepala, pegawai-pegawai bawahannya sudah mengusirku, karena aku menolak ketika mereka menawarkan makan. Aku tahu itu makanan yang akan membuatku bisu, oleh karenanya aku menolak, aku hanya ingin menawarkan persahabatan, memberi informasi kejadian buruk yang akan datang, memperingatkan agar jangan terlalu sering memanfaatkan orang miskin atau kelompok kesenian diatas kertas proposal demi mengucurkan dana dari pusat, bukankah tujuan kami baik?

            Aku sempat singgah dilingkungan kampus, bertengger dibawah papan nama kelompok-kelompok kesenian mahasiswa, berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, sekedar menyaksikan proses latian hingga hadir disetiap pementasan mereka. Lingkungan kampus lingkungan akademik, pasti para penghuninya lebih bisa memahami apa yang ingin aku ceritakan, berharap ada telinga yang sudi mendengar kabar buruk yang aku bawa, lalu mereka akan tergerak untuk ikut memikirkannya,harapanku ketika itu. Apalagi menurutku mereka itu sangat gagah, berorasi ketika unjuk rasa didekat balai kota atau didalam kampus mereka sendiri, calon-calon sarjana ini pasti akan senang berkawan dengan ku karena akan dapat banyak bahan untuk mereka olah sesuai bidang masing-masing, terlebih aku, akan lebih senang lagi karena mendapat kesempatan berkawan dengan kaum terpelajar. Tapi ternyata mereka sama saja, bahkan kebanyakan dari mereka acuh terhadap wacana yang aku bawa, sudah merasa bangga jadi mahasiswa yang terjebak pada teori-teori kuliah, adat pergaulan kampus, perburuan nilai kelulusan, gerakan sosial musiman dan terlalu sibuk mengurus proyek tahunan kelompok kesenian mereka.

Selain itu banyak diantara mereka habis waktunya di meja rapat, lupa kalau aku sudah bertengger ditempat biasa menunggu mereka datang. Mengapa sekarang mahasiswa lebih sibuk di meja rapat? Mengapa diskusi-diskusi yang mereka adakan tidak berujung pada tindakan? Mengapa isu-isu global hanya jadi obrolan selingan? Tapi ya berhenti pada obrolan saja, mengapa sekarang terlalu sibuk bicara soal pendanaan? Cari dana acara, nyusun anggaran nulis proposal. Ternyata itu kegiatan baru yang lebih menyenangkan daripada memikirkan wacana yang aku bawa, lebih menguntungkan secara materi, meningkatkan kebanggaan diri tanpa repot bersusah payah turun ke kubangan lumpur bersamaku. Ada yang lebih parah lagi mereka yang sama sekali tidak mengikuti kegiatan selain kuliah, mereka tidak jauh beda dengan anak-anak smp yang hobi memburu wi-fi duduk berjamaah di kelurahan, otak mereka sudah terjerat sinyal jaringan internet, dimanapun berada pandangan mata tidak akan lepas dari layar ponsel, sibuk berbincang dengan kawan jejaring sosial atau memainkan game-game terbaru, tak peduli kawan disamping, tak ada tegur sapa apalagi berdiskusi. Lagi-lagi tak ada tempat untukku.

Detik ini menjelang matahari terbit, aku selesaikan tulisan ini karena aku percaya tidak semua bebal, masih ada yang mau mendengar berita buruk dari kami, berkeanan memikirkan wacana yang dibawa oleh kami, serombongan Gagak yang terjaga dan berkumpul di kala malam, meski sebagian besar anak cucu Adam mulai melupakan, menyingkirkan, mencurigai setiap gerak kami, dan merasa terusik oleh nyanyian kami. Dimanapun terbang kami tidak menebar teror atau mengancam peradaban yang kalian bangun wahai anak cucu Adam dan Hawa, tidak pula hendak berusaha mengancam atau membuat kaum bebal percaya, kami tahu di otak kalian telah tertanam istilah kabar burung, telinga telah tersumbat sampah jaman, mata telah buta karena norma, dan hati telah membatu termakan isu.

 Karena Tuhan menyayangi dan memberi anugrah serta tanggungjawab ini, maka kami akan tetap terbang dan bernyanyi dikala malam, setelah ku pastikan tak ada satu pun telinga yang mendengar, tak ada seorang pun yang melihat kami terbang melayang diatas perkampungan, mengabarkan berita kematian dan kedukaan untuk kalian.


           


 Surakarta, 29 Juni 2016 dini hari

No comments:

Post a Comment