Wednesday, 1 June 2016

Kamus Besar Bahasa Indonesia 2075 (Anamnesis)

Akan kuberi tahu satu hal tentang masa depan. Tolong kau dengarkan terlebih dahulu, meskipun hal ini sulit untuk kau percaya. Bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan memang, karena hal ini hanya menyangkut hilangnya perbendaharaan kata. Tetapi aku yakin, kau akan berpikir duakali setelah mendengar ceritaku.

***
Di masa depan, di masa aku hidup. Saat usiaku menginjak tigabelas tahun, aku mendengar cerita bahwa dunia telah kehilangan satu istilah dalam kamus: melamun. Aku mendengar cerita hilangnya istilah ini dari kakekku. Sama sepertimu, aku tidak dengan mudah langsung mempercayai kakekku, dan menganggap itu hanyalah lelucon kuno, lelucon masa kecil kakekku. Namun ketika cerita itu berakhir, aku terdiam beberapa saat, mematung sepersekian detik, mulutku menganga sepersekian senti, dan mataku terbelalak. Jika kau melihatnya tentu akan tertawa melihat keanehan raut wajahku saat itu.
“Di dunia ini ada dua hal yang dapat memberikan kenikmatan batin, yakni masturbasi dan melamun,” kata kakekku, sebelum ia memulai ceritanya
“masturbasi itu apa, Kek?” tanyaku dengan polos
“Untuk yang hal yang pertama, kau tak usah tahu karena kau kelak akan mengetahui itu dengan sendirinya, bukan saat ini. Sementara hal yang kedua, tentu kau takkan pernah bisa mengetahuinya, meskipun kau cari istilah itu di kamus besar edisi seratus tahun terakhir, karena memang istilah itu sudah tidak masuk lagi di entri kamus”
Ketika kakek seusiaku, ia sangat suka melamun. Saking sukanya dengan melamun, ia selalu menyempatkan untuk melakukan hal itu. Ya, sering sekali. Kira-kira sehari minimal satu jam. Bahkan ia bisa melakukannya sepanjang hari, ketika hari libur. Tanpa peduli apakah ia sudah makan siang atau belum. Beruntung, ibunya selalu mengingatkan ia untuk tak melupakan makan siang.
Masih menurut kakekku. Rutinitas keseharian melamun pertama kali ia lakukan saat baru terbangun dari tidur. Biasanya, ia lakukan untuk menyelesaikan mimpi yang sempat terputus di malam itu. Jika pada malam itu yang ia alami justru mimpi buruk, tentu ia tidak mencoba menyelesaikan mimpi itu. Bisa-bisa ia absen tidur selama seminggu. Ia masih punya pilihan untuk membayangkan hal-hal menyenangkan lainnya.
“Tapi kau harus tahu, bahwa melamun tidak sesempit dari arti kata membayangkan” Aku mengangguk-angguk menyimak pernyataan kakekku.
Kedua, melamun ia lakukan ketika sepulang dari sekolah. Tetapi pernah juga—karena tidak sabarnya ingin segera cepat-cepat melamun, ia melakukan itu di jalan, ketika pulang dari sekolah menuju rumah (omong-omong soal sekolah, di masa aku hidup, istilah ini juga sudah tidak ada). Tentu itu adalah hal konyol yang mungkin hanya dilakukan oleh anak-anak golongan indigo, katanya. Dan sayangnya, ia bukanlah salah satunya bagian dari golongan itu. Gara-gara kejadian konyol itu, kakinya terperosok di selokan pinggir jalan dan celana seragam yang seharusnya ia pakai sampai hari Sabtu berhasil dibasahkannya. Untung, tak ada orang yang melihat peristiwa itu. Karena bisa jadi, ia tak akan melewati jalan itu lagi karena malu. Dan ibunya—sehari setelah kejadian itu—menghukumnya dengan menghambat jalur lalulintas uang jajan selama sehari. Aku tersenyum-senyum sampai pada cerita ini
Ketiga, ia akan melamun menjelang tidur. Pada jam ini, katanya, ia akan mereka-reka masa-masa yang akan datang. Masa depan. Tentang siapa yang nantinya akan menjadi isterinya, tentang rencananya membangun rumah megah, punya mobil mewah, dan kantor yang besar. Dan lucunya, ia tidak pernah memikirkan akan dibeli dengan apa rumah megah dan mobil mewah tersebut. Ia juga pernah tidak tidur semalaman, karena apa yang dilamunkan sangat menyenangkan, dan hal itu membuatnya terlambat masuk sekolah.
“Kakek, mana mungkin ada seorang yang bisa melakukan hal seperti yang kakek ceritakan, kecuali mereka adalah orang-orang bodoh,” bantahku, aku masih sulit mempercayai apa yang diiceritakan kakek.
Sama seperti kakekku, pasti kau berniat menyangkal dan mengejek pendapatku mengenai melamun. Tidak apa-apa, aku tak merasa tersinggung jika kau mengatakan itu. Kakekku menegaskan lagi satu hal ketika aku membantah pernyataannya, bahwa melamun tidak sesempit dari arti kata membayangkan. Kau juga pasti tahu, mungkin imajinasiku belum terlalu kuat untuk bisa menerima istilah itu sewaktu kakek menceritakan hal itu.
Mengenai pernyataanku, kemudian kakekku mencoba melanjutkan ceritanya tentang bagaimana hilangnya istilah melamun di planet ini. Meskipun sebelumnya aku mengatakan bahwa itu adalah hal yang bodoh dan sulit dipercaya, tetapi aku tetap penasaran dengan kebiasaan melamun yang dilakukan kakek itu. Aku mengangguk sesekali ketika kakek menawarkan cerita itu.
Masih menurut ingatan kakek, bahwa detik-detik punahnya istilah melamun adalah ketika planet A, atau penduduk di planet A berpikiran seolah-olah mereka menuju ke arah moderenitas. Di mana pada masa itu kebutuhan-kebuhan tersier berhasil naik pangkat menjadi kebutuhan sekunder, salah satunya adalah telepon genggam.
“Maaf, hanya kakek yang menyebutnya dengan telepon genggam, orang lain menyebutnya dengan telepon pintar,” katanya “telingamu pasti mendengar sesuatu yang ganjil ketika kakek mengatakan bahwa telepon genggam adalah gejala-gejala moderenitas. Memang, pada masa sekarang ini, hal itu tentu kuno sekali. Tolong kamu hiraukan dulu.”
Aku mengangguk mencoba memaklumi. Ketika ia di sekolah, selain uang jajan, telepon pintar menjadi bekal yang wajib dibawa oleh siswa. Katanya, ia terkadang membayangkan apakah sebelum berangkat ke sekolah ibu dari siswa-siswa itu selalu berpesan untuk membawa telepon genggam.
“Nak, jangan lupa telepon pintarmu dibawa. Tapi ingat, pulsanya jangan langsung dihabiskan,”
Ia iri sekali kepada kawan-kawan lain yang sudah bisa memiliki telepon genggam waktu itu, dan menjadikannya bekal wajib berangkat sekolah. Namun, ia tidak diam begitu saja, ia ikut-ikutan minta pada ibunya untuk dibelikan telepon genggam.
“Tunggu, Kek, tunggu sebentar...” kataku menghentikan cerita kakek, “Sekolah itu apa, Kek?”
Ia lupa satu hal lagi, bahwa pada masa ini sekolah bukan lagi proses belajar yang harus ditempuh oleh orang-orang di planet ini dan pemerintah tak lagi menggembar-gemborkan wajib belajar sembilan tahun.
“Maaf jika cerita kakek sangat menguras pikiranmu. Baik. Anggap saja sekolah adalah tempat di mana orang-orang berkumpul seakan-akan untuk mencari sesuatu yang hilang dari dalam diri seseorang itu. Dari timur, barat, selatan, utara, semua orang yang merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya dikumpulkan di tempat ini. Kita sepakati, orang-orang itu disebut siswa,” lanjutnya
Semakin hari, ketergantungan orang-orang terhadap telepon genggam menjadi semakin mengganas. Kakekku menggambarkan, bahwa hampir semua orang pada masa itu selalu menundukkan kepalanya ketika ia berjalan, seakan-akan menundukkan kepala adalah suatu kebanggaan yang paling membanggakan dan harus dimiliki oleh setiap manusia di planet ini. Kakek membandingkan kebanggaan berjalan sambil menundukkan kepala setara dengan berjalan tegap yang dilakukan pasukan baris-berbaris ketika upacara bendera. Tentu aku tak punya gambaran mengenai upacara bendera dan pasukan baris-berbaris itu.
“Mereka senang mengelus-elus layar di telepon genggamnya sambil berjalan tanpa peduli ada peluh yang harus dielus pada dahinya”
Jantungku berdetak kencang dari biasanya saat cerita kakek tiba pada bagian ini. Selain hal itu tak bisa kubayangkan juga aku tak habis pikir dengan berjalan sembari menundukkan kepala. Hal itu tentu sangat sulit untuk dilakukan oleh orang-orang di masa aku hidup.
Ia pernah merasakan hal janggal sewaktu berada di meja makan bersama teman-teman sejawatnya, ketika mereka mengisi waktu istirahat kerja dengan berkumpul dan makan bersama, tetapi anehnya, setelah itu tak ada satu pun kata-kata keluar dari bibir mereka. Mereka malah saling sibuk mengusap-usap layar telepon genggamnya, tanpa peduli seharusnya yang mereka usap adalah bekas makanan di tepi mulut mereka terlebih dahulu. Kau tentu tak asing dengan adegan seperti ini.
“Seolah-olah telepon genggam telah menyumbat rapat mulut mereka. Mereka sendiri bingung tentang apa yang harus dibicarakan,” tegas kakekku.
Lain lagi ketika seseorang itu sedang sendirian berada pada suatu tempat. Tanpa pikir panjang, sudah pasti orang itu akan langsung mengeluarkan telepon genggam dari dalam kantong celananya.
“Dan kakek yakin, bahkan yang ia sentuh adalah tombol menu dan back yang diulang-ulang sebanyak detik yang mereka habiskan,”
Mereka tak lagi tahu bahwa ada satu hal yang bisa memberikan kenikmatan batin: melamun, terlebih ketika meraka sedang berada sendirian, tetapi justu mereka lebih memilih melakukan satu hal bodoh yang tak mampu memberikan kenikmatan samasekali.
“Begitulah bagaimana punahnya istilah melamun di planet ini. Tentunya, tidak hanya istilah melamun yang akan punah, semakin hari, aku yakin akan ada istilah lainnya yang ikut terbawa menuju ke pembaringannya” tutupnya.

***
“Baik, sebelum jam kunjunganku ke masa ini habis dan aku tak bisa lagi kembali ke masaku, atau dengan kata lain, aku bisa merusak keberlangsungan kehidupan manusia di masa yang akan datang,  aku ingin berpesan satu hal kepadamu. Tolong... aku mohon sekali padamu, tolong jangan...”
Tepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku, aku sudah terbang, terhisap kembali ke masa di mana aku hidup, di masa depan. Terakhir kali yang aku lihat darimu adalah kau sedang mematung, mulutmu menganga, dan matamu terbelalak.


29052016
Untuk handphone-ku
selamat istirahat


No comments:

Post a Comment