Akan
kuberi tahu satu hal tentang masa depan. Tolong kau dengarkan terlebih dahulu,
meskipun hal ini sulit untuk kau percaya. Bukan sesuatu yang perlu
dibesar-besarkan memang, karena hal ini hanya menyangkut hilangnya perbendaharaan
kata. Tetapi aku yakin, kau akan berpikir duakali setelah mendengar ceritaku.
***
Di masa
depan, di masa aku hidup. Saat usiaku menginjak tigabelas tahun, aku mendengar
cerita bahwa dunia telah kehilangan satu istilah dalam kamus: melamun. Aku
mendengar cerita hilangnya istilah ini dari kakekku. Sama sepertimu, aku tidak dengan
mudah langsung mempercayai kakekku, dan menganggap itu hanyalah lelucon kuno,
lelucon masa kecil kakekku. Namun ketika cerita itu berakhir, aku terdiam
beberapa saat, mematung sepersekian detik, mulutku menganga sepersekian senti, dan
mataku terbelalak. Jika kau melihatnya tentu akan tertawa melihat keanehan raut
wajahku saat itu.
“Di dunia
ini ada dua hal yang dapat memberikan kenikmatan batin, yakni masturbasi dan
melamun,” kata kakekku, sebelum ia memulai ceritanya
“masturbasi
itu apa, Kek?” tanyaku dengan polos
“Untuk
yang hal yang pertama, kau tak usah tahu karena kau kelak akan mengetahui itu
dengan sendirinya, bukan saat ini. Sementara hal yang kedua, tentu kau takkan
pernah bisa mengetahuinya, meskipun kau cari istilah itu di kamus besar edisi
seratus tahun terakhir, karena memang istilah itu sudah tidak masuk lagi di
entri kamus”
Ketika
kakek seusiaku, ia sangat suka melamun. Saking sukanya dengan melamun,
ia selalu menyempatkan untuk melakukan hal itu. Ya, sering sekali. Kira-kira
sehari minimal satu jam. Bahkan ia bisa melakukannya sepanjang hari, ketika
hari libur. Tanpa peduli apakah ia sudah makan siang atau belum. Beruntung,
ibunya selalu mengingatkan ia untuk tak melupakan makan siang.
Masih
menurut kakekku. Rutinitas keseharian melamun pertama kali ia lakukan saat baru
terbangun dari tidur. Biasanya, ia lakukan untuk menyelesaikan mimpi yang
sempat terputus di malam itu. Jika pada malam itu yang ia alami justru mimpi
buruk, tentu ia tidak mencoba menyelesaikan mimpi itu. Bisa-bisa ia absen tidur
selama seminggu. Ia masih punya pilihan untuk membayangkan hal-hal menyenangkan
lainnya.
“Tapi
kau harus tahu, bahwa melamun tidak sesempit dari arti kata membayangkan”
Aku mengangguk-angguk menyimak pernyataan kakekku.
Kedua,
melamun ia lakukan ketika sepulang dari sekolah. Tetapi pernah juga—karena
tidak sabarnya ingin segera cepat-cepat melamun, ia melakukan itu di jalan,
ketika pulang dari sekolah menuju rumah (omong-omong soal sekolah, di masa aku
hidup, istilah ini juga sudah tidak ada). Tentu itu adalah hal konyol yang
mungkin hanya dilakukan oleh anak-anak golongan indigo, katanya. Dan sayangnya,
ia bukanlah salah satunya bagian dari golongan itu. Gara-gara kejadian konyol
itu, kakinya terperosok di selokan pinggir jalan dan celana seragam yang
seharusnya ia pakai sampai hari Sabtu berhasil dibasahkannya. Untung, tak ada
orang yang melihat peristiwa itu. Karena bisa jadi, ia tak akan melewati jalan
itu lagi karena malu. Dan ibunya—sehari setelah kejadian itu—menghukumnya
dengan menghambat jalur lalulintas uang jajan selama sehari. Aku
tersenyum-senyum sampai pada cerita ini
Ketiga,
ia akan melamun menjelang tidur. Pada jam ini, katanya, ia akan mereka-reka
masa-masa yang akan datang. Masa depan. Tentang siapa yang nantinya akan
menjadi isterinya, tentang rencananya membangun rumah megah, punya mobil mewah,
dan kantor yang besar. Dan lucunya, ia tidak pernah memikirkan akan dibeli
dengan apa rumah megah dan mobil mewah tersebut. Ia juga pernah tidak tidur
semalaman, karena apa yang dilamunkan sangat menyenangkan, dan hal itu
membuatnya terlambat masuk sekolah.
“Kakek,
mana mungkin ada seorang yang bisa melakukan hal seperti yang kakek ceritakan,
kecuali mereka adalah orang-orang bodoh,” bantahku, aku masih sulit mempercayai
apa yang diiceritakan kakek.
Sama
seperti kakekku, pasti kau berniat menyangkal dan mengejek pendapatku mengenai melamun.
Tidak apa-apa, aku tak merasa tersinggung jika kau mengatakan itu. Kakekku
menegaskan lagi satu hal ketika aku membantah pernyataannya, bahwa melamun
tidak sesempit dari arti kata membayangkan. Kau juga pasti tahu, mungkin
imajinasiku belum terlalu kuat untuk bisa menerima istilah itu sewaktu kakek
menceritakan hal itu.
Mengenai
pernyataanku, kemudian kakekku mencoba melanjutkan ceritanya tentang bagaimana
hilangnya istilah melamun di planet ini. Meskipun sebelumnya aku mengatakan
bahwa itu adalah hal yang bodoh dan sulit dipercaya, tetapi aku tetap penasaran
dengan kebiasaan melamun yang dilakukan kakek itu. Aku mengangguk sesekali
ketika kakek menawarkan cerita itu.
Masih
menurut ingatan kakek, bahwa detik-detik punahnya istilah melamun adalah
ketika planet A, atau penduduk di planet A berpikiran seolah-olah mereka menuju
ke arah moderenitas. Di mana pada masa itu kebutuhan-kebuhan tersier berhasil
naik pangkat menjadi kebutuhan sekunder, salah satunya adalah telepon genggam.
“Maaf,
hanya kakek yang menyebutnya dengan telepon genggam, orang lain menyebutnya
dengan telepon pintar,” katanya “telingamu pasti mendengar sesuatu yang ganjil
ketika kakek mengatakan bahwa telepon genggam adalah gejala-gejala moderenitas.
Memang, pada masa sekarang ini, hal itu tentu kuno sekali. Tolong kamu hiraukan
dulu.”
Aku
mengangguk mencoba memaklumi. Ketika ia di sekolah, selain uang jajan, telepon
pintar menjadi bekal yang wajib dibawa oleh siswa. Katanya, ia terkadang
membayangkan apakah sebelum berangkat ke sekolah ibu dari siswa-siswa itu
selalu berpesan untuk membawa telepon genggam.
“Nak,
jangan lupa telepon pintarmu dibawa. Tapi ingat, pulsanya jangan langsung
dihabiskan,”
Ia iri
sekali kepada kawan-kawan lain yang sudah bisa memiliki telepon genggam waktu
itu, dan menjadikannya bekal wajib berangkat sekolah. Namun, ia tidak diam
begitu saja, ia ikut-ikutan minta pada ibunya untuk dibelikan telepon genggam.
“Tunggu,
Kek, tunggu sebentar...” kataku menghentikan cerita kakek, “Sekolah itu apa,
Kek?”
Ia lupa satu
hal lagi, bahwa pada masa ini sekolah bukan lagi proses belajar yang harus
ditempuh oleh orang-orang di planet ini dan pemerintah tak lagi
menggembar-gemborkan wajib belajar sembilan tahun.
“Maaf
jika cerita kakek sangat menguras pikiranmu. Baik. Anggap saja sekolah adalah
tempat di mana orang-orang berkumpul seakan-akan untuk mencari sesuatu yang
hilang dari dalam diri seseorang itu. Dari timur, barat, selatan, utara, semua
orang yang merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya dikumpulkan di tempat ini.
Kita sepakati, orang-orang itu disebut siswa,” lanjutnya
Semakin
hari, ketergantungan orang-orang terhadap telepon genggam menjadi semakin
mengganas. Kakekku menggambarkan, bahwa hampir semua orang pada masa itu selalu
menundukkan kepalanya ketika ia berjalan, seakan-akan menundukkan kepala adalah
suatu kebanggaan yang paling membanggakan dan harus dimiliki oleh setiap
manusia di planet ini. Kakek membandingkan kebanggaan berjalan sambil menundukkan
kepala setara dengan berjalan tegap yang dilakukan pasukan baris-berbaris
ketika upacara bendera. Tentu aku tak punya gambaran mengenai upacara bendera
dan pasukan baris-berbaris itu.
“Mereka
senang mengelus-elus layar di telepon genggamnya sambil berjalan tanpa peduli
ada peluh yang harus dielus pada dahinya”
Jantungku
berdetak kencang dari biasanya saat cerita kakek tiba pada bagian ini. Selain
hal itu tak bisa kubayangkan juga aku tak habis pikir dengan berjalan sembari
menundukkan kepala. Hal itu tentu sangat sulit untuk dilakukan oleh orang-orang
di masa aku hidup.
Ia pernah
merasakan hal janggal sewaktu berada di meja makan bersama teman-teman
sejawatnya, ketika mereka mengisi waktu istirahat kerja dengan berkumpul dan
makan bersama, tetapi anehnya, setelah itu tak ada satu pun kata-kata keluar
dari bibir mereka. Mereka malah saling sibuk mengusap-usap layar telepon
genggamnya, tanpa peduli seharusnya yang mereka usap adalah bekas makanan di
tepi mulut mereka terlebih dahulu. Kau tentu tak asing dengan adegan seperti
ini.
“Seolah-olah
telepon genggam telah menyumbat rapat mulut mereka. Mereka sendiri bingung
tentang apa yang harus dibicarakan,” tegas kakekku.
“Dan
kakek yakin, bahkan yang ia sentuh adalah tombol menu dan back
yang diulang-ulang sebanyak detik yang mereka habiskan,”
Mereka
tak lagi tahu bahwa ada satu hal yang bisa memberikan kenikmatan batin: melamun,
terlebih ketika meraka sedang berada sendirian, tetapi justu mereka lebih
memilih melakukan satu hal bodoh yang tak mampu memberikan kenikmatan
samasekali.
“Begitulah
bagaimana punahnya istilah melamun di planet ini. Tentunya, tidak hanya
istilah melamun yang akan punah, semakin hari, aku yakin akan ada istilah
lainnya yang ikut terbawa menuju ke pembaringannya” tutupnya.
***
“Baik,
sebelum jam kunjunganku ke masa ini habis dan aku tak bisa lagi kembali ke
masaku, atau dengan kata lain, aku bisa merusak keberlangsungan kehidupan manusia
di masa yang akan datang, aku ingin
berpesan satu hal kepadamu. Tolong... aku mohon sekali padamu, tolong
jangan...”
Tepat sebelum
aku menyelesaikan kalimatku, aku sudah terbang, terhisap kembali ke masa di
mana aku hidup, di masa depan. Terakhir kali yang aku lihat darimu adalah kau sedang
mematung, mulutmu menganga, dan matamu terbelalak.
29052016
Untuk handphone-ku
selamat
istirahat
No comments:
Post a Comment