Wednesday, 1 June 2016

Perempuan Berkalung Sampur (Mas Bei)



Seperangkat gamelan yang tidak lengkap jumlahnya telah dibunyikan,suara rebab menyayat telinga, samar terdengar mengawali repertoar lagu pembuka pertunjukan.Kau mulai menari, bergerak mengikuti irama yang lambat mengalun,membawa tungku kecil dengan bara arang yang membakar kemenyan,asapnya membumbung tinggi keangkasa, menimbulkan aroma khas yang magis.Kau terus menari ditengah panggung pertunjukan hingga asap kemenyan mereda,beberapa saat  seiring repertoar lagu sampai pada akhir kalimat.Lalu pementasan sebuah naskah dimulai.
Di awal adegan kau melantunkan tembang macapat,tentang permohonan dan doa kepada Tuhan pencipta dunia seisinya.(catatan pentas naskah “Lelayu” dikampung Dawan, Karanganyar, 23 Agustus 2014)

            Sore itu, pertengahan bulan Oktober 2013, musim penghujan mulai tiba. Sinar matahari tidak terlalu menyengat, mendung mulai datang dari arah utara langit kota Surakarta, sebagian berhenti tepat diatas sebuah bangunan pendhopo, tempat dimana kami hendak mengadakan latihan. Hari itu ada yang berbeda, gamelan sudah tertata rapi, tampak beberapa orang menunggu rekan yang lain, ada yang tiduran, minum kopi, merokok dan ada yang tertawa sangat keras. Sementara di tengah pendhopo tampak beberapa perempuan berusia belasan berlatih menari dengan iringan kaset pita. Kau salah satunya diantara mereka yang menari. Sore itu jadi kali pertama aku melihatmu. Lalu aku sandarkan punggung disalah satu pilar, mengubah posisi duduk menghadap kebarat, mulai melakukan hobi mengamati dan “meneliti” perempuan secara sembunyi-sembunyi, meski sangat jarang berakhir dengan menawarkan diri untuk berkenalan, karena bagiku adalah hal yang sangat tabu menanyakan nama secara langsung kepada wanita. Beberapa saat berlalu terdengar iringan hampir selesai, gerak mereka melambat mengikuti irama hingga akhir ketukan. Rambutmu lurus panjang hingga dibawah pinggul, jatuh terurai ketika kau lepas tali pengikatnya, bergerak pelan kekanan-kiri mengikuti langkah kakimu. Setelah itu kau duduk bersama teman-temanmu tidak jauh dari tempatku menyandarkan punggung. Aku lihat kau tampak senang, bercanda, tertawa, sesekali  tersenyum lebar dengan sampur mengalung ditengkukmu. Hingga hari-hari berikutnya, meski tanpa tahu siapa namamu, pemandangan yang sama tidak pernah ku lewatkan.
Tidak lama setelah itu akhirnya kita saling mengenal, tapi tidak pernah berbicara lama. Beberapa bulan usai “proyek-proyek” pementasan itu berlalu, berakhir pula kegiatan “mengamati dan meneliti” karena semua kembali pada kegiatan masing-masing, sementara kami memutuskan untuk tidak lagi melibatkan diri pada “proyek-proyek” selanjutnya karena suatu alasan. Ketika itu kelompok teater kami akan memulai proses naskah baru. Rombongan kesenian yang memutuskan untuk berpentas dikampung-kampung bukan digedung kesenian, tidak pernah meminta atau menerima bayaran, sengaja mendatangi masyarakat umum untuk menyampaikan setiap wacana dan gagasan melalui pementasan. Saat itu kami kekurangan pemain wanita. Awalnya atas dasar subyektifitas perasaan pribadi, dengan alasan logat Jawa-nya yang masih murni, aku segera mengusulkan untuk mengajaknya bergabung, kebetulan salah seorang teman memiliki pandangan yang sama, “dialog Jawa-ne entuk, pas dadi tokoh iki, dijak melu wae”. Akhirnya tawaran ku sampaikan dan dia bersedia untuk bergabung.

                Dalam berproses kami percaya bahwa energi positif harus selalu dimunculkan. Salah satu orang saja turun semangatnya dapat mempengaruhi rekan yang lain. Setiap orang yang berminat boleh ikut, tidak ada honor atau uang transport. Istilah profesionalitas tidak ada dalam kamus kelompok kami, karena kami tidak bergerak sebagai penjual jasa kesenian, dan istilah tersebut lebih sering digunakan oleh orang-orang "proyek", sedangkan kami lebih sering memakai istilah komitmen, bagaimana kita mencoba sebaik mungkin ingat pada janji diawal rencana, sebelum memulai suatu proses, baik itu jangka panjang maupun pendek yang berkaitan dengan arah tujuan kelompok. Latihan berjalan dua bulan, babak demi babak telah selesai, tiba saatnya mencari tempat pementasan. Akhirnya hingga empat kali naskah "Lelayu" dipentaskan ditempat berbeda.

               Hadirmu memberi warna tersendiri bagi kelompok kami, perbedaan usia, tingkat pendidikan dan terbatasnya waktu tidak jadi soal, kau tetap mengikuti setiap jadwal latihan kami dengan kesungguhan hati, meski jadwal sekolah dan kegiatanmu ditempat lain tergolong cukup menyita waktu. Tidak pernah tampak beban diwajahmu mengikuti latihan kami, sesekali air matamu pernah menetes, ketika gerbang pintu tempatmu tinggal sudah terkunci, karena kami terlambat beberapa menit untuk mengantarmu pulang. Selebihnya kau selalu tampak ceria dan bersemangat disetiap perjumpaan.

               Ada pertemuan pasti ada perpisahan, begitu kiranya pepatah lama yang pernah ada di buku pelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar. Telah habis masa belajarmu di kota ini. Kau lanjutkan pendidikan tinggi di kota lain. Kebersamaan singkat tapi amat membekas. Mengenal mu membuat aku tahu, bahwa di dalam proses berkesenian ada satu pelajaran lagi, di mana kita dapat mencintai siapa pun tanpa harus mengikatnya, karena ada yang lebih indah dari keinginan memiliki, yaitu dapat menyayangi dan bekerja sama untuk sebuah proses berkarya hingga pementasan tiba. Sebagaimana bunyi mengiringi gerak, rasa kagum, sayang dan rindu itu ada tapi tidak nampak wujudnya, seperti bait-bait nada yang berbicara dengan caranya.

           Kini diantara pamflet pementasan kelompok-kelompok kesenian program kerja, yang ditempel diberbagai sudut, yang kejar setoran sebelum bulan ramadhan, kami merindukanmu, mengenang keberadaanmu, sebagai bagian dari perjalanan kelompok teater kami dan pasti selalu “hadir” ketika kerja ginjal lebih cepat dari biasanya. Maka terus menarilah, mengikuti nada hati dan irama detak jantungmu, tanpa terpengaruh irama jaman dan nada modernisasi yang diciptakan atas nama industri, menyeret kita jauh meninggalkan nilai tradisi. Pada suatu hari nanti, walau mungkin tidak bersama kami, semoga kau akan kembali, mendatangi kampung-kampung, menebarkan pengetahuan tentang seni tradisi, kepada anak-anak yang lahir dan tumbuh tercemari sihir televisi, agar mereka tidak terlalu jauh tenggelam ditelan arus jaman.

No comments:

Post a Comment