Thursday, 9 June 2016

Mahasiswa Gagap Akreditasi (Idnas Aral)

Saya berkuliah di sebuah universitas yang sedang gencar-gencarnya mengupgrade diri agar berpredikat World Class University. Dana-dana dikucurkan di sana-sini untuk kegiatan-kegiatan berskala besar, program-program bergengsi yang sarat akademisi di sana-sini, dosen-dosen membagi motivasi di sela perkuliahan agar mahasiswa/i segera berprestasi, semua diarahkan dan disesuai-sesuaikan untuk akreditasi World Class University (WCU).
Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin menekankan bahwasanya tulisan ini bersifat subjektiv, karena mengenai perasaan pribadi.
Semua bergelora, semua bersemangat, bersepakat untuk meraih itu, World Class University! Betapa bangga jika itu tercapai, karena dosennya akan menjadi dosen kelas dunia, mahasiswanya-mahasiswa kelas dunia, jajaran pemimpin kelas dunia, sampai pada satpam, tukang sapu, pegawai kantin kelas dunia. Semua sudut di kampusku akan menjadi sudut kelas dunia!
Di tengah hingar bingar para calon penghuni kamar itu, saya merasa kesepian dan menjadi rindu pada ruang kelas SD-ku dulu.
Perasaan rindu yang tiba-tiba, kenapa? Tiba-tiba saja bisa rindu pada ruang kelas yang mungil dan sederhana itu. Pada guru-guru, yang baru digantikan setelah satu tahun. Pada teman-teman yang sangat kukenal dan mengenal pada jenjang itu. Pada meja kayu, lemari, papan tulis, penggaris kayu, dan segala benda yang menyertakan cap “inpres” di tubuhnya.
Bukan, kerinduan ini bukanlah kerinduan pada keindahan bentuk orang-orang atau benda-benda yang kusebutkan itu. Bukan kerinduan semacam rindu kepada kerling manis gadis idaman. Tapi ini adalah kerinduan pada komposisi orang-orang dan benda-benda yang sebenarnya sudah tak kuingat detailnya, tetapi ini kerinduan pada suatu keadaan. Keadaan kelasku di jenjang Sekolah Dasar dulu.
Perasaan rindu ini adalah suatu akibat dari suatu sebab.
Berdasar nalarku yang terbatas mengenai sebab rindu. Sebab rindu yang sedang menjangkit ini saya coba simpulkan dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah keadaan kelas di SD dulu memang nyaman dan kemungkinan kedua adalah rindu muncul sebab saya sedang dalam keadaan yang kurang nyaman.
Dengan berbahasa sentimentil dan sangat tidak ilmiah, saya katakan seperti ini. Kenyamanan yang saya rindukan adalah kemesraan hubungan guru dan murid di Sekolah Dasar dulu. Tentu saja kemesraan disini berbeda dengan kemesraan muda-mudi yang sedang menjalin asmara. Tetapi kemesraan orang tua terhadap anak, seperti yang sering kita dengar bahwa guru adalah orang tua kita di sekolah. Kemesraan yang lahir sebuah hubungan antara tanggung jawab pendidik dan kepercayaan siswa pada gurunya.
Hubungan itu mungkin terjadi karena intensitas bertemu yang cukup banyak, karena di SD saya dulu wali kelas mengampu semua mata pelajaran kecuali agama dan olah raga. Sebab pertemuan tatap muka yang sering itu terciptalah keadaan saling mengenali. Dari saling mengenal itulah yang oleh berjalannya waktu meningkat menjadi sangat mengenal.
Ya, dalam suatu hubungan yang baik –saya sebut mesra- muskil tanpa keadaan saling mengenal. Meskipun tentu saja di tataran SD, gurulah yang memiliki kualitas lebih dalam mengenali ketimbang si murid. Tetapi bagi saya itu sudah cukup untuk menghindarkan kebijakan atau keputusan “pukul rata” terhadap siswanya.
Setiap individu memiliki ke-khasan atau karakteristik yang berbeda. Setelah menjumpai suatu nama yang berbeda, apabila kita mengenal seseorang akan semakin kita temukan perbedaan ketimbang persamaan seseorang dengan yang lainnya.
Ketika saya sangat dikenal oleh guru saya, saya merasa nyaman karena keputusan yang diambil oleh guru saya berdasarkan karakteristik saya. Dan daya mengenal yang sangat baik dimiliki oleh guru saya ketika di sekolah dasar dulu.
Seorang guru apabila telah sangat mengenal muridnya tidak akan tega menerapkan kebijakan pukul rata. Ia sangat sadar bahwa dari 30 siswanya tentu ada 30 nama.
Kembali pada soal rindu saya, rindu yang dirasakan seorang penumpang gerbong yang berencana lepas landas untuk menuju World Class University. Lalu apa hubungan antara ambisi WCU dan rindu?
Sebenarnya kerinduan ini adalah kerinduan seorang manusia –yang sedang berstatus mahasiswa- terhadap proses yang tidak mereduksi dirinya menjadi angka. Sedang World Class University adalah mengenai akreditasi, dan akreditasi ialah mengenai angka-angka. Setiap unsur yang akan dinilai dalam akreditasi akan di skalakan dengan poin-poin. Lalu teciptalah data-data di dalam tabel. Angka-angka itu dihitung-hitung lalu muncullah skala yang akan menentukan pantas tidaknya untuk meraih predikat World Class University.
-         Lalu apa salahnya dan apa masalahnya?
-         Tidak ada yang salah dan tidak masalah! Hanya saja saya sedang dirundung rindu.
-         Lalu kenapa kau kaitkan dengan kampus kita yang sedang bersemangat untuk meraih predikat WCU?
-         Karena saya percaya bahwasanya segalanya terkait meski terkadang berada di dalam tataran subjektiv.
-         Jadi tulisan ini mengada-ada!
-         Ya tulisan ini memang mengada-ada tapi nyatanya tulisan ini ada. Ada di dalam deretan angka NIM saya, meskipun tidak sedikitpun mampu merubah satu angkapun. Karena angka-angka yang selalu mewakili nilai saya itu tidak bertelinga dan tidak mampu berbicara, ia hanya bisa menjadi bagian dari rumus matematika. Tapi nyatanya ialah yang selalu mewakili saya di gerbong yang siap lepas landas menuju World Class University ini.
-         Ah, kamu !
-         Ya! Ah saya! Saya yang hanya seperti ini ingin berpesan kepada sebuah institusi besar dan terhormat. “Terbanglah tinggi-setingginya, raihlah World Class University atau bahkan Galaksi Bima Sakti Class University ! Terbanglah tapi jangan tinggalkan di landasan nama-nama di balik angka-angka itu.”
Kemudian saya pun terbang pada peristiwa di mana saya menyanyikan Hymne Guru ketika acara perpisahan SD. Saya menahan tangis karena malu dianggap cengeng oleh teman-teman yang juga sedang berusaha keras menahan tangis.
 10 Juni 2016


No comments:

Post a Comment