Saya berkuliah di sebuah universitas yang sedang
gencar-gencarnya mengupgrade diri agar
berpredikat World Class University. Dana-dana
dikucurkan di sana-sini untuk kegiatan-kegiatan berskala besar, program-program
bergengsi yang sarat akademisi di sana-sini, dosen-dosen membagi motivasi di
sela perkuliahan agar mahasiswa/i segera berprestasi, semua diarahkan dan
disesuai-sesuaikan untuk akreditasi World
Class University (WCU).
Sebelum
saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin menekankan bahwasanya tulisan ini
bersifat subjektiv, karena mengenai perasaan pribadi.
Semua bergelora, semua bersemangat, bersepakat untuk
meraih itu, World Class University! Betapa bangga jika itu tercapai, karena
dosennya akan menjadi dosen kelas dunia, mahasiswanya-mahasiswa kelas dunia,
jajaran pemimpin kelas dunia, sampai pada satpam, tukang sapu, pegawai kantin
kelas dunia. Semua sudut di kampusku akan menjadi sudut kelas dunia!
Di tengah
hingar bingar para calon penghuni kamar itu, saya merasa kesepian dan menjadi
rindu pada ruang kelas SD-ku dulu.
Perasaan rindu yang tiba-tiba, kenapa? Tiba-tiba saja
bisa rindu pada ruang kelas yang mungil dan sederhana itu. Pada guru-guru, yang
baru digantikan setelah satu tahun. Pada teman-teman yang sangat kukenal dan
mengenal pada jenjang itu. Pada meja kayu, lemari, papan tulis, penggaris kayu,
dan segala benda yang menyertakan cap “inpres” di tubuhnya.
Bukan, kerinduan ini bukanlah kerinduan pada keindahan
bentuk orang-orang atau benda-benda yang kusebutkan itu. Bukan kerinduan
semacam rindu kepada kerling manis gadis idaman. Tapi ini adalah kerinduan pada
komposisi orang-orang dan benda-benda yang sebenarnya sudah tak kuingat
detailnya, tetapi ini kerinduan pada suatu keadaan. Keadaan kelasku di jenjang
Sekolah Dasar dulu.
Perasaan
rindu ini adalah suatu akibat dari suatu sebab.
Berdasar nalarku yang terbatas mengenai sebab rindu.
Sebab rindu yang sedang menjangkit ini saya coba simpulkan dengan dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah keadaan kelas di SD dulu memang nyaman
dan kemungkinan kedua adalah rindu muncul sebab saya sedang dalam keadaan yang
kurang nyaman.
Dengan berbahasa sentimentil dan sangat tidak ilmiah,
saya katakan seperti ini. Kenyamanan yang saya rindukan adalah kemesraan
hubungan guru dan murid di Sekolah Dasar dulu. Tentu saja kemesraan disini
berbeda dengan kemesraan muda-mudi yang sedang menjalin asmara. Tetapi
kemesraan orang tua terhadap anak, seperti yang sering kita dengar bahwa guru
adalah orang tua kita di sekolah. Kemesraan yang lahir sebuah hubungan antara
tanggung jawab pendidik dan kepercayaan siswa pada gurunya.
Hubungan itu mungkin terjadi karena intensitas bertemu
yang cukup banyak, karena di SD saya dulu wali kelas mengampu semua mata
pelajaran kecuali agama dan olah raga. Sebab pertemuan tatap muka yang sering
itu terciptalah keadaan saling mengenali. Dari saling mengenal itulah yang oleh
berjalannya waktu meningkat menjadi sangat mengenal.
Ya, dalam suatu hubungan yang baik –saya sebut mesra-
muskil tanpa keadaan saling mengenal. Meskipun tentu saja di tataran SD,
gurulah yang memiliki kualitas lebih dalam mengenali ketimbang si murid. Tetapi
bagi saya itu sudah cukup untuk menghindarkan kebijakan atau keputusan “pukul
rata” terhadap siswanya.
Setiap individu memiliki ke-khasan atau karakteristik
yang berbeda. Setelah menjumpai suatu nama yang berbeda, apabila kita mengenal
seseorang akan semakin kita temukan perbedaan ketimbang persamaan seseorang
dengan yang lainnya.
Ketika saya sangat dikenal oleh guru saya, saya merasa
nyaman karena keputusan yang diambil oleh guru saya berdasarkan karakteristik
saya. Dan daya mengenal yang sangat baik dimiliki oleh guru saya ketika di
sekolah dasar dulu.
Seorang
guru apabila telah sangat mengenal muridnya tidak akan tega menerapkan
kebijakan pukul rata. Ia sangat sadar bahwa dari 30 siswanya tentu ada 30 nama.
Kembali pada soal rindu saya, rindu yang dirasakan
seorang penumpang gerbong yang berencana lepas landas untuk menuju World Class University. Lalu apa
hubungan antara ambisi WCU dan rindu?
Sebenarnya kerinduan ini adalah kerinduan seorang manusia
–yang sedang berstatus mahasiswa- terhadap proses yang tidak mereduksi dirinya
menjadi angka. Sedang World Class
University adalah mengenai akreditasi, dan akreditasi ialah mengenai
angka-angka. Setiap unsur yang akan dinilai dalam akreditasi akan di skalakan
dengan poin-poin. Lalu teciptalah data-data di dalam tabel. Angka-angka itu
dihitung-hitung lalu muncullah skala yang akan menentukan pantas tidaknya untuk
meraih predikat World Class University.
-
Lalu apa
salahnya dan apa masalahnya?
-
Tidak ada
yang salah dan tidak masalah! Hanya saja saya sedang dirundung rindu.
-
Lalu
kenapa kau kaitkan dengan kampus kita yang sedang bersemangat untuk meraih
predikat WCU?
-
Karena
saya percaya bahwasanya segalanya terkait meski terkadang berada di dalam
tataran subjektiv.
-
Jadi
tulisan ini mengada-ada!
-
Ya tulisan
ini memang mengada-ada tapi nyatanya tulisan ini ada. Ada di dalam deretan
angka NIM saya, meskipun tidak sedikitpun mampu merubah satu angkapun. Karena
angka-angka yang selalu mewakili nilai saya itu tidak bertelinga dan tidak
mampu berbicara, ia hanya bisa menjadi bagian dari rumus matematika. Tapi
nyatanya ialah yang selalu mewakili saya di gerbong yang siap lepas landas
menuju World Class University ini.
-
Ah, kamu !
-
Ya! Ah
saya! Saya yang hanya seperti ini ingin berpesan kepada sebuah institusi besar
dan terhormat. “Terbanglah tinggi-setingginya, raihlah World Class University atau bahkan Galaksi Bima Sakti Class University ! Terbanglah tapi jangan
tinggalkan di landasan nama-nama di balik angka-angka itu.”
Kemudian
saya pun terbang pada peristiwa di mana saya menyanyikan Hymne Guru ketika
acara perpisahan SD. Saya menahan tangis karena malu dianggap cengeng oleh
teman-teman yang juga sedang berusaha keras menahan tangis.
10 Juni 2016
No comments:
Post a Comment