Aku
segerakan ikhtiar penulisan sejarah kelompokku, Sandilara. Sebab kita tak tahu
mati kapan, entah mati sebagai aku atau mati sebagai kelompok.
Setiap
peristiwa kematian hendaknya kita renungkan. Agar duka tak sia-sia! Kami sedang
berduka; ayahanda kawan kami (Item) meninggal tempo hari. Satu lagi peristiwa
yang sudah pasti telah mewujud sejarah. Satu ketakutan telah kau lewatkan tem!
Satu tingkat pendewasaan telah kau tuntaskan!
Bagaimana
denganku, bagaimana dengan Sandilara, yang tentu juga turut berduka? Saat ini
memang aku hanya bisa berkata-kata!
Aku
renungkan peristiwa pendewasaan itu, duka itu. Salah satunya, kesadaran untuk
menjadi lebih bersiap untuk meninggalkan atau ditinggalkan. Ya, aku telah
bersiap dan akan menjadi semakin siap. Sebab ditinggalkan adalah kepastian
sebagaimana meninggalkan atau kematian. Suatu
yang pasti bagi pilihan sikap; untuk kukuh menempati keyakinan. Ialah
Sandilara, sebuah ruang hunian dimana tertampung dan tersuarakan kegelisahanku
sebagai anak jaman. Aku masih bertempat tinggal di Sandilara bersama yang
tersisa. Jangan kau kasihani aku, aku telah kenyang dengan paradoks!
Selamat
jalan kawan yang usai berpamitan, kita tidak bermusuhan.
Aku
bukanlah personifikasi kebenaran! Tetapi dalam konteks Sandilara, yakni
kesadaran kolektif, komitmen, sikap, dan pandangan; tidak mengenal pemakluman.
Sebab Sandilara tidak lagi menjadi Sandilara jika melakukan pemakluman pada
sikap Sandilara-nya. Sebagaimana kebenaran sudah lagi bukan kebenaran ketika
dikompromikan! Sekali lagi kami bukanlah personifikasi kebenaran, tetapi kami
terlanjur sadar harus ada yang dilawan. Perlawanan itu adalah alasan kenapa
Sandilara didirikan, maka jika tidak lagi melawan tak perlu lagi sebagai
Sandilara. Perlawanan itu nyatanya harus melawan diri kita sendiri. Ada di dalamku
dan ada di dalam dirimu. Sebagai Sandilara, aku harus melawan diriku dan kau
harus melawan dirimu sendiri. Nyatanya begitu, sebab kita sama-sama korban
keadaan, jadi jika kau berpamitan, usah merasa kita bermusuhan. Kita sama-sama
korban keadaan! Aku melanjutkan dan kau pun punya pilihan.
Aku
telah kenyang dengan paradoks!
Oksigen
yang menghidupi adalah yang membusukkan kita. Sebab kita berjumpa, maka kita
berpisah. Tapi mana mungkin kita tidak bernapas, mana mungkin pula kita tidak
memilih berjumpa. Aku sadar betul konsekuensi-konsekuensi atas pilihan dan
sikap. Aku memilih berkelompok ketimbang berindividu dalam kesenian. Pada
tingkat kesadaran berikutnya, aku memilih kelompok yang kelompok bukan sekedar
kelompok ala baju (bebas dilepas dan dipakai kapan saja!) Sampai sekarang aku masih
mencoba bertahan pada pilihan tersebut, entah nanti aku tak tahu. Setidaknya
semua berlandaskan pada kesadaran, jadi aku tak pernah ragu kepada setiap
kehadiran pun kepergian. Kami akan senang menyambut siapa saja, tetapi kami
tidak menjanjikan kebahagian di sini.
Kebahagian?
Kebahagian
yang dipilihkan MTV, penata rias, iklan, Madona, Raisya, Hollywod, Bollywood,
diskotik, sales asuransi (dunia atau akhirat), tidak dijanjikan di Sandilara.
Sudah terpampang di muka pintu. Sebab ini soal daya cipta, bukan ruang hiburan atau
pelarian-pelarian. Kami memiliki kebahagian sendiri di dalam kesadaran kolektif
yang menjadi benteng selama empat tahun ini. Di luar sana memang sedang ada
arus deras, yang membentuk cita rasa bahagia yang distandarkan untu kepentingan
produk pasar ekstasi. Kita menjadi cengeng dan takut tidak bahagia, agar mudah
diiming-imingi standar iklan. Lalu beli, beli, beli, tumbas, dan jajan! Kita
takut tidak memenuhi standar orang kebanyakan, takut berbeda, takut dikata
ketinggalan jaman. Maka kita lakukan apa saja untuk mencapai sebuah posisi
untuk mampu beli, beli, tumbas, dan jajan lalu berbangga! Sebuah penjajahan
mutakhir, dimana si terjajah menjadi bebas, aktif, dan bangga untuk menyongsong
keterjajahannya. Semua itu didapat dari keberhasilan modal membentuk sikap
cengeng di dalam diri kita.
Ketika
ke-‘cengeng’-an itu dibawa dalam berkarya.
Kau
hanya akan membuat karya yang cengeng untuk pemuas candu masyarakat terhadap
kecengengannya. Karyamu yang bagus adalah menjadi semacam ‘mario teguh’ yang
laris di dalam tatanan yang ‘dibentuk’ oleh pemilik kepentingan. Tidak menjadi
penyibak justru menjadi bagian dari kabut. Pilihan estetik romantik semacam itu
sudah dikembang biakkan sejak jaman balai pustakanya Belanda kawan. Terus
bergulir sebagai sejarah yang ‘syah’ dengan berbagai rupa. Lalu bertumbuh
kembang dalam diriku, dalam dirimu, dan menjadi perkembangan diri yang dianggap
‘syah’ atau wajar saja. Dari kewajaran itu kau pun menjadi manusia wajar yang
membuat karya.
Itu
pilihan! Bukan tentang salah dan benar tetapi kelompokku pun memiliki pilihan.
Kami harus menanggalkan kecengengan dan ketakutan sebelum berkarya. Sebab
kecengengengan dan ketakutan tidak hanya menjauhkan diri dari mara bahaya
tetapi juga akan menjauhkan diri dari kebenaran. Contohnya kenyataan bahwa
penonton tidak meninggalkan teater. Tetapi ada kepentingan yang menjauhkan
mereka. Kami telah menjumpai itu! Perjumpaan itu tidak akan kami jumpai, jika
kami hanya cengeng lalu membuat karya tentang penonton yang meninggalkan
teater. Oiya, kecengengan dan kesedihan itu berbeda. Cengeng ialah perasaan
yang tidak pada tempatnya.
Tidak
ada yang abadi selain kebaikan.
Tetapi
beruntung masih ada kebaikan-kebaikan dari pendahulu yang meninggalkan
tanda-tanda jaman dalam karya. Karya yang berdasarkan kesejatian menjadi pisau
yang abadi lalu berjumpa untuk generasi penerus. Dari pisau leluhur itu aku
dijumpakan dengan orang-orang yang memiliki kegelisahan yang sama. Tak terduga
dan tersebar di mana-mana. Tak banyak jumlahnya, tetapi ada.
Kami
sama-sama koyak moyak dalam pergulatan masing-masing. Untuk itulah dibutuhkan
kelompok, tempat pulang, tempat menguatkan, ruang eksistensi yang berdikari.
Sebuah laboratorium diri, yang disusun dari kesadaraan sejarah.
Akhir
kata!
Semua
memiliki dasar, dari situ dibentuklah sikap. Jika memang sudah menjadi sikap
yang memiliki dasar, apa yang harus ditakutkan? Kenapa harus cengeng? Sungguh
benar aku berduka atas perisitiwa kepergian. Tapi aku berbahagia, kami
berbahagia di dalam duka ini. Dan duka tidak boleh sia-sia sebab ia tidak sama
dengan kecengengan!
Sebab
jika nanti pada akhirnya Sandilara-lah yang akan meninggalkan atau mati. Kami
ingin berbangga, dengan berkata:
“Telah
mati ia sebab apa yang diyakininya!”
NB:
menghaturkan duka. menghaturkan maaf. menghaturkan terima kasih.
Griya Duhkita, 10 juni 2017
Idnas Aral
No comments:
Post a Comment