Thursday, 24 November 2016

Surat Terbuka untuk Kawan yang Wartawan (Idnas Aral)

"Kidung Balik Sangkan Paran" oleh Lawu Warta

Sebab kita sudah berkawan cukup lama dan sebab ini adalah surat terbuka, tentunya aku sisihkan perasaan ewuh pekewuh pergaulan. Tanpa keterbukaan tidak ada perkawanan dan tanda adanya surat ini tidak akan ada yang tercatat, dan peristiwa yang lewat, hanya akan menjadi sesuatu yang lewat, begitu saja.


Tempo waktu, ketika terlibat dalam suatu acara 40 hari Joko “Bibit” Santoso, telah kukirimi kau sebuah press rilis dan undangan untuk meliput. Pula telah kusebar ke media-media massa yang lain, konten acara kami, kebudayaan. Kami memang perlu perananan media massa untuk sebuah gerakan kebudayaan. Ada keyakinan para pencari berita akan datang pada acara itu.

Keyakinan itu bukan lantaran, aku memiliki kemampuan “lobiying” sebagaimana biasa digunakan para organisator event, tetapi sebab ini mengenai sosok yang tidak sembarangan, ini mengenai kualitas! realitas! intensitas! Serta lahir dia di Solo, besar dia di Solo, Berkarya dia di Solo.

Melalui Pesan dari WA, saya terima kabar begini:

jek// sori banget, nang ***** berita budaya rapayu.//......dadi ki tak omongi sik ben ora diarep-arep.

Aplikasi WhatsApp atau WA yang baru saja saya instal- sebab kebutuhan menghubungi para wartawan- itu yang berbicara padaku, jadi saya mengurungkan niat untuk membalasnya dengan: lha po koranmu kui restoran cepat saji ta bro kok urusan e gur payu opo ra payu. Aku urungkan sebab itu sebuah chatingan tidak ada frekuensi satu ruang, tidak ada nada suara, sangat terbatas dan penuh reduksi kemesraan. Akupun cukup membalas: Ok! Rapapa bro!

"Pertanyaanku pada Generasi Pecundang" oleh Reakses
Dan malam itu berjalan tanpa ada peliputan oleh media massa, sepengetahuanku. Jadi memang berita tentang kebudayaan itu memang tak laku, tentu mereka telah lebih tahu. Tetapi jikalau itu event dari pemkot yang berlabel kebudayaan tentulah pasti mereka liput. Lalu masyararakat luas yang membaca, “o even kebudayaan i yang megah seperti ini.” Dan masyarakat yang sebenarnya berpotensi untuk membuat pristiwa kebudayaannya sendiri menjadi minder untuk membuat peristiwa budayanya sendiri, sebab tidak ada dana besar sebagaimana even kota. Dan merekapun berduyun-duyun untuk selfie dan ber-hastag.

Sung Boga Raga Jiwa karya Eri Aryani

Itulah yang selalu dilawan Pak Bibit semasa hidupnya, ia membuat gerakan gerilya budaya, ialah untuk membangkitkan semangat berkesenian di kampung-kampung dalam kesederhanaan. Agar potensi-potensi, kekuatan-kekuatan kebudayaan yang memang secara esensial dimiliki masyarakat tidak hilang. Istilah Gerilya adalah istilah perang, secara kebudayaan kita memang sedang berperang atau lebih tepatnya diserang, dan sebelum kita berhenti menjadi konsumen dari kebudayaan luar yang masuk melalu televisi dll, perang belum selesai.

Kebudayaan memang bukan mengenai jualan, bukan tentang laku tidak laku, kebudayaan adalah mengenai daya tahan suatu bangsa, mengenai masa depan suatu bangsa, dan payu ora payu adalah mengenai barang dagangan.

Malam itu berjalan cukup khidmat, orang-orang dari berbagai lapisan, generasi, profesi, wilayah hadir, melibat sebagai satu kesatuan, dan memang itulah kebudayaan, itulah peristiwa kebudayaan, dari masyarakat untuk masyarakat, bukan bermula dari perincian anggaran dana untuk goal atau offside. Baru kali itu kutemui seniman tua-muda kumpul satu level: dalam segala artian, Bahkan kujumpai salah satu aktor kawakan dari Teater Sahita, Mbak Cempluk sempat membantu isah-isah. Sampai acara selesai dan ditutup dengan doa dari Eyang Lawu Warta yang membuat merinding bahkan menangis para yang hadir.

penampilan Teater Delik
Yang sudah memang berlalu sudah tapi jangan biarlah sudah, sebab bisa-bisa kita lupa sejarah. Dan surat terbuka ini kuakhiri tanpa penutupan, biar benar-benar terbuka tanpa penutup.


NB: Surat ini saya tulis kala telah turun tekanan darahku yang sempat meninggi dan demam tinggi yang sudi turun dan tentunya ditulis dengan rasa cinta yang teramat.
Ibu-ibu Teater Sangir
Jaga Malam oleh Zenit
Lurung Kala Bendhu oleh Teater Warung
Syukuran kelahiran sapi milik teater Ruang
Maju Tak Gentar oleh Sangir 'Anak-anak'

No comments:

Post a Comment