Gelombang
kebencian, saling serang opini, dan bertebaran prasangka, kami tetembangan. Racun
Jakarta sedang menyebar luas menjangkiti para muda, kami tetembangan. Racun
yang melumpuhkan tindakan tapi terfantasikan seakan sudah berbuat sesuatu
melalui jempol dan membagikan tulisan, kami tetembangan.
Kamis, 1 Desember 2016, Komunitas Tanggul Budaya
menggelar latihan perdana nembang. Lembaran fotokopian tulisan tangan berisi
Gambuh dan Sinom dari serat Jaka Lodhang, dibagikan dan dimulailah latihan.
Mbak Lestari ‘Cempluk’, yang telah bersedia untuk mengajari dan sudi
menjadwalkan seminggu sekali untuk memperkenalkan dan ndandani cengkok kami yang serampangan.
Adalah
upaya kami membangun tanggul kebudayaan dalam diri sedikit demi sedikit, meski
terbata..
Memang hanya segelintir orang, hanya belasan yang melibat
diri untuk belajar nembang macapat malam itu. Tidak lebih dari separo dari jumlah
undangan sms dan ajakan yang disebarkan. Tetapi justru akan mengagetkan kalau
yang mau ikut adalah banyak orang. Dan pula tidak akan kaget kalau nanti akan
ada banyak yang marah jika warisan leluhur ini diaku oleh negara lain (seperti
di beberapa kasus terakhir).
Soal hal semacam ini memang telah menjadi ironi yang
menjadi cemilan harian bangsa ini, ketika berbicara mengenai kebudayaan. Hal-hal
yang berkenaan dengan kebudayaan dan tradisi terudiksi keberadaannya di dalam
slogan, event, dan proker-proker. Padahal memiliki kebudayaan adalah mengenai
mempelajari, menggunakan, dan mengambil kearifannya. Pula bukan sekedar
mencomot nilai-nilai tradisi untuk ditempelkan dalam paket pertunjukannya.
Masih ada di desa-desa, latihan-latihan rutin semacam
ini, meski tidak banyak terekspos, mereka ada, bukan pula mengenai sebuah
pertunjukan, tetapi sebuah intensitas. Denyut kebudayaan semacam itulah yang
oleh Komunitas Tanggul Budaya coba geliatkan. Harapannya adalah untuk menjadi
sebuah wadah yang menjembatani generasi tua dan generasi muda untuk belajar
bersama menggali apa yang dimiliki oleh kebudayaan sendiri.
Sebuah
usaha: Tidak sekonyong-konyong merasa telah menjaga kebudayaan.
Ini tentang belajar, kami berproses, dan latihan nembang
ini adalah salah satu bentuk yang lahir dari kegelisahan yang telah
didiskusikan. Gayung bersambut ketika Mbak Lestari ‘Cempluk’ berkenan untuk
mengajari. Kami menikmati proses belajar itu, dan tulisan ini ingin
menyampaikan perihal itu.
Penyampaian ini adalah sebuah ajakan untuk kawan-kawan
yang ingin terlibar belajar nembang bersama.
Tetapi jika ada sebuah pertanyaan, ini untuk apa, akan tidak gampang kami
menjawab. Sebab ini tentang menjalani, tentang sebuah belajar menjaga
intensitas, tentang pencarian kembali cita rasa terhadap hasil kebudayaan sendiri.
Sedang tentang sebuah goal atau manfaat praktis, memang tidak dirumuskan dalam
penyelenggaraan latihan rutin ini.
Lalu ketika ada sebuah pertanyaan, kenapa kami mengajak
kawan-kawan untuk terlibat, dan akan terus mengajak. Jawabnya ialah karena
komunitas ini bernama Komunitas Tanggul Budaya. Kekuatan sebuah tanggul
kebudayaan tentunya akan bertambah ketika semakin banyak dan terbagi kesadaran pada
individu-individu untuk membentengi kebudayaan sendiri.
Nota bene: Kami Komunitas Tanggul Budaya mengundang siapa
saja yang berkenan.
Pojok Sejarah,
Surakarta, 2 Desember 2016
No comments:
Post a Comment