Monday, 12 December 2016

Pabrik, ada katarsis disana.

21 Mei, kami (Teater Sandilara) mulai kembali berpentas, mengakrabkan diri dengan panggung, setelah beberapa bulan kami latihan dengan naskah ‘Mlarat’. Setelah hampir satu tahun kami tidak berpentas lagi. Pabrik, Sukoharjo, yang saat itu menjadi tempat kami berpentas. Kami punya kenangan yang tidak akan dilupakan dengan Desa Pabrik. Karena secara tidak langsunglah Desa Pabrik adalah awal mula kami, adalah salah satu yang secara tidak langsung turut menjadi saksi atas kelahiran kami. Kerna pada tanggal 23 Desember 2013, tiga tahun yang lalu kami kali pertama berpentas, menetapkan diri sebagai kelompok tetaer, bersepakat bersama bahwa Sandilara adalah Teater, karena ‘kecelakaan’ yang terjadi yang disebabkan oleh permintaan Desa Pabrik kepada Idham Ardi untuk berpentas disana. 

Sebelum berpentas, seperti biasa, dari pagi hingga petang kami mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan pelengkap, ada yang memsak untuk konsumsi, usung-usung gamelan, mempersiapkan tata lampu, tata pannggung dan lain sebagainya. Hingga pada malam hari, kami menempati posisi masing-masing dari tanggungjawab kami, para pemain memulai makeup, Mas Bei memimpin kelompok karawitan ‘kurawa’ mencoba notasi-notasi sebagai pengiring pementasan, dan untuk menarik perhatian warga sekitar, bahwa pementasan akan segera dimulai, sembari Mas Bei mendengar tabuhan-tabuhan para pengrawit, Mas Bei mempersiapkan kemenyan, sebuah ubo rampe khusus yang selalu dipakai Mas Bei dalam mempersiapkan gamelannya. 

Jam setengah 8, kami telah siap untuk berpentas, pemain telah pada posisi masing-masing. Suara gamelan dari kelompok karawitan ‘kurawa’ terus memenuhi suasana di tempat kami berpentas, para warga sudah mulai duduk bersiap akan menikmati sajian dari kami, ada pula beberapa yang yang baru datang, satu persatu. Malam itu pementasan tidak hanya dari kami, namun ada ‘Teater Dalan Cilik’ , anak-anak dari desa Pabrik yang dipimin oleh Idam. Mereka, ‘Teater Dalan Cilik’ telah kali kedua berpentas, melakonkan pementasan yang sama, setelah sebelumnya di Desa Mojo Gedang, Karangayar, di kediaman Mbah Paiman dalam tajuk Gerilya Budaya oleh Tanggul Budaya. Dan malam itu, mereka memulai mengawali pementasan sebelum kami, mereka tampil lebih awal daripada kami. Mereka yang berumur rata-rata kurang dari 15 tahun, yang masih kanak-kanak, melakonkan pementasan dengan lepas, meski sedikit demam panggung, tapi mereka menyajikan pementasannya dengan apik, khas kanak-kanak yang malu-malu, tapi menarik. Mereka mencoba menyampaikan tentang hilangnya lahan bermain mereka kini, sempitnya tanah lapang untuk mereka melakukan permainan secara bersama, karena tanah lapang telah diganti dengan rumah-rumah, pabrik-pabrik dan bangunan-bagunan lainnya. Memang kini masa kanak-kanak semakin lama semakin dipersingkat, lahan bermain degantikan dengan alat bermain yang canggih, telepon pintar, yang secara tidak sadar menghilangkan masa berkelompok bagi anak-anak, tidak hanya di perkotaan, daerah pinggiran kota pun semakin lama semakin terkena arus kemajuan zaman yang bergerak mundur. 

Usai pementasan dari Teater Dalan Cilik. Maka saatnya kami untuk naik panggung, mempertanggungjawabkan apa yang telah kami mulai sejak awal latihan, menyampaikan apa yang ingin kami sampaikan lewat naskah ‘Mlarat’ karya dan sutradara Idnas Aral. Para pemain telah siap pada posisi masing-masing. Adegan pertama dimulai, Lindri sebagi Marni mulai dengan dialog ‘Mlaaaaraaaaaaaaaat’ , lalu disambut oleh Ajima sebagai Bagong dengan  “Enek opo to Mar, ngopo kursine ?”. Dan selanjutnya adegan demi adegan terlewati. Mlarat, adalah sebuah usaha dari kami untuk menggambarkan sebuah kemlaratan dari sebuah keluarga miskin, yang mempunyai seorang anak, anak tersebut karena kebiasaan judi nya menggadaikan motor milik temannya, dan karena kalah maka Anak dari keluarga Bagong dan Marni si Samsul tidak dapat membayar motor temannya yang telah digadaikannya, dan mau tidak mau, Bagong lah yang harus bertanggungjawab melunasi hutangnya, karena tanggungjawab nya sebagai kepala keluarga dan seorang Bapak. Samsul yang kelewat manja, dahulunya pernah di belikan motor namun juga raib karena judi, dan motor itu di dapat dari hasil menjual tanah keluarga Pak Bagong. Kami ingin mencoba mewartakan tentang kejadian yang memang banyak terjadi, bahwa untuk mengikuti perkembangan zaman, tuntutan pendidikan bahkan gengsi, tanah-tanah pertanian harus rela di jual, entah dalam skla besar atau beberapa ratus meter saja. Dan akibatnya banyak, tanah-tanah yang seharusnya dapat menjadi sumber produktifitas, malah raib, hilang produktifitasnya dengan banyak cara, tanah yang semestinya menjadi lanah bermain anak-anak hilang karena dijual. Begitulah Mlarat, kemlaratan, menghempit, menjepit, hingga Bagong merelakan dirinya kembali menjadi seorang maling demi sebuah rasa tanggungjawab, yang akhirnya Bagong tertangkap, di bakar hidup-hidup oleh masyarakat, dihakimi tanpa ada sempat untuk membela, begitulah nasib yang mlarat di Negara ini, tak punya nilai tawar barang sedikit saja, sedang sang pemilik modal, dapat melenggang di kursi empuk, meski telah mencuri demi alasan ketamakan, meski telah terbuki, toh bisa lari ke negara tetangga yang jelas akan melindungi. 

Gambaran singkat mengenai naskah Mlarat. Pementasan usai malam itu, yang tentu banyak evaluasi yang harus kami benahi untuk perjalanan pementasan kami berikutnya. Namun, ada yang menarik, ada yang tidak terduga seperti biasa. Pementasan usai, penonton bertepuk tangan. Dan sambil meninggalkan tempat duduknya, ada seorang Ibu yang berucap “Ah lumayan, isoh di-nggo sinau nang omah, ben karo anak-anak iki do ngerti” yang artinnya kurang lebih, ‘”ah lumayan, bisa untuk bahan pelajaran dirumah, dan agar anak-anak yang menonton ini juga faham”. Ada seorang peonton yang menyataan dengan spontan, tidak terduga, bahwa apa yang kami sampaikan akan digunakan sebagai bahan belajar, belajar untuk menyikapi dan memahami keadaan. Kami cukup kaget, bahwasanya apa yang kami sajikan dapat tersampaikan dan diterima sebagai sebuah bahan pemikiran. Bahwa benar itu yang ingin kami capai, tapi itu hanya sebatas ingin, dan ketika ada kata spontan tersebut, kami bahagia dan lega. Karena awal kami memutuskan berpentas di kampung adalah karena kami sumpek dengan gedung pertunjukan resmi, karena kami menganggap tidak ada lagi pertunjukan yang menampakan keadaan yang nyata, keadaan yang sebenarnya, meski toh kami juga belum benar-benar dapat mepertunjukkannya, namun kami terus berusaha dan mencari, berusaha ngudari benang-benang kusut yang ada dikepala kami, mengolahnya dalam sebuah bentuk laku, mewujudkannya dengan pertunjukan teater karena itu yang kami yakini dapat menjadi sebuah jembatan antara wacana di kepala dan penyampaiannya kepada khalayak luas. 

Begitulan pementasan Mlarat kali pertama, yang kami pentaskan di tempat yang bersejarah bagi kami, di Desa Pabrik, tempat awal kami berpentas, mula kami meyakini akan terus berpentas di desa-desa hingga berakhir apa yang kami yakini. Mlarat di Pabrik, menemukan katarsisnya, pensucian yang semoga di alami oleh yang menyaksikan, menjadi saksi atas niat dan usaha kami untuk tidak lekas bunuh diri dengan segera.



2016-12-10
Slamet Bedun

No comments:

Post a Comment