Saturday, 28 July 2018

APA SIH MACAPAT ITU?

     Menjadi pengamat memang menyenangkan. Selain dapat menikmati suatu tontonan bisa memberi komentar. Atau bisa juga merenungkan hasil pengamatan. Ya, boleh dibilang, merenung adalah hal yang cocok untuk mengisi waktu senggang dan saat-saat kesepian. Untung saja, akhir-akhir ini beberapa peristiwa yang terjadi tidak hanya lewat begitu saja. Ada yang masih menyangkut di kepala. Banyak pertanyaan dari diri sendiri yang muncul. Sampai saat tulisan ini mulai diketik, rasa-rasanya misteri yang menjadi pokok bahasan tulisan ini belum rampung termaknai dengan baik. Karena, dirasa membutuhkan sumber bacaan dan sumber lisan yang sangat banyak. Maka dari itu, tulisan ini sesungguhnya lebih condong untuk ‘mempertanyakan’.
     Selama hampir tujuh bulan tahun 2018 berjalan banyak peristiwa kesenian yang terjadi, mulai dari musik, rupa, sastra, teater, dan lainnya. Dengan tema yang beraneka ragam, seperti: tema budaya, tema anak-anak, dan tema-tema yang lain. Dari tema budaya sendiri menampilkan tajuk yang berbeda-beda, ada Kethoprak, Karawitan, Wayang Kulit, Wayang Orang, dan Macapat. Kepada Kethoprak, Karawitan, dan Wayang sedikit banyak saya dapat memahaminnya mengenai bentuk dan estetikanya. Berbeda halnya dengan Macapat, banyak ketidakmampuan saya untuk memahaminya.
     Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa sih Macapat itu? Apakah sesuatu yang mistis? Sesuatu yang sakral? Apakah Macapat diciptakan tiba-tiba langsung mempunyai kekuatan yang dahsyat? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai misteri ini. Akhirnya sedikit demi sedikit saya menyelidikinya. Dan berharap investigasi sederhana ini bisa menjadi bahan diskusi bersama.
     Pertama kali mendengar Macapat adalah saat duduk di bangku SD, guru saya memperkenalkan tembang Mijil.
Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumung kula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur
Saya tidak begitu memahami maknanya. Tetapi, sampai sekarang, baik syair maupun nadanya saya masih dapat mengingatnya. Beberapa Macapat seperti Durma, Pangkur, dan Pucung saya dapati saat SD. Struktur Macapat juga dikenalkan oleh guru SD saya.
     Saat SMP pemahaman tentang Macapat saya bertambah. Dikatakan oleh guru SMP saya bahwa, kesebelas Macapat mengandung filosofi siklus kehidupan. Setiap judul mempunyai makna sendiri-sendiri. Mulai dari bayi dalam kandungan, lahir, hidup, dan akhirnya mati. Wow, menarik sekali, meskipun sedikit menyeramkan. Memasuki SMA, pemahaman-pemahaman tentang Macapat tidak banyak berubah, hanya saja watak-watak Macapat turut diperkenalkan.
     Ketika menjalani masa-masa perkuliahan, saya tidak banyak bersinggungan dengan Macapat. Barulah saat memasuki tahun 2017 saya mulai mendengar, membaca, diperdengarkan, dan dibacakan kembali dengan Macapat oleh teman-teman saya, selain mendapatinya dalam peristiwa dan wacana pertunjukan tentunya. Kala itu, saya mulai mengenal jenis Macapat lain yang belum pernah saya pelajari sebelumnya. Selain itu, saya jadi tahu bahwa ada beraneka syair pada tiap-tiap judul, ada beraneka nada lagu pada tiap-tiap judul. Ada syair yang ketika dimaknai tidak terkait dengan filosofi siklus kehidupan seperti pemahaman saya waktu SMP. Dan ternyata, banyak sekali jumlah syair-syair Macapat dengan makna dan tujuan penulisan yang bervariasi.
        Mulai saat itu penasaran saya mengenai Macapat semakin menjadi-jadi. Sebenarnya apa sih Macapat itu? Secara umum, wujud Macapat berbentuk tulisan dan pembacaannya dapat dilagukan. Jadi, garis besarnya, Macapat mempunyai dua unsur, yaitu sastra dan musik. Mari kita ulas satu per satu.

Macapat sebagai Karya Sastra
     Layaknya karya sastra yang lain, Macapat mempunyai struktur khusus. Misalnya, pantun mempunyai aturan bersajak a-b-a-b, baris pertama dan kedua berisi sampiran, dan baris ketiga dan keempat berisi isi. Aturan pada Macapat menyangkut jenis huruf vokal pada tiap akhir baris yang disebut guru lagu, jumlah suku kata di setiap baris yang disebut guru wilangan, dan jumlah baris atau baris itu sendiri disebut gatra. Guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra setiap tembang Macapat berbeda, bait disebut dengan istilah pada. Macapat merupakan karya sastra yang pernah mengalami masa keemasan sekitar abad ke-18. Serat Jawa atau buku-buku kuno seperti Centhini, Wedhatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, Sri Karongron, dan sebagainya adalah karya sastra yang ditulis dalam bentuk Macapat. Pada penulisannya, mengandung sanepa, paribasan, wangsalan, purwakanthi, dan parikan. Selain itu, dapat juga berisi dongeng atau cerita sejarah atau babad. Pengungkapan babad berbentuk narasi. Kandungan isi Macapat yang terdapat pada serat dan babad sangat beraneka ragam. Seperti halnya Sri Karongron yang menceritakan sejarah Karawitan pada masa Paku Buwana X. Dalam hal ini, Macapat merupakan sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sumber informasi tulisan.
     Bahasa yang digunakan dalam penulisan Macapat pada umumnya adalah bahasa Jawa, seperti ngoko, krama, krama inggil, atau penggabungan ketiganya. Sebagai karya sastra, selain berfungsi sebagai penyampai pesan, penulisan Macapat pada umumnya juga mempertimbangkan keindahan atau estetika. Maka dari itu, banyak dijumpai menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sehubungan dengan adanya aturan atau kaidah guru lagu, guru wilangan, dan  guru gatra, maka penulisan Macapat harus disesuaikan. Ada beberapa trik untuk menulis Macapat, diantaranya: (1) Memilih atau mengganti kata-kata yang searti atau sinonim untuk mencapai guru lagu, dalam bahasa Jawa ada istilah dasanama, (2) Menambah suku kata pada kata tertentu, dalam Bahasa Jawa terdapat ater-ater dan seselan, menghilangkan suku kata tertentu, dan menggabungkan dua kata tertentu untuk mencapai guru wilangan. Wah, siapa saja kalau mau bisa loh menulis Macapat.
     Judul-judul Macapat diantaranya:
1.         Maskumambang
2.         Pucung
3.        Megatruh
4.        Gambuh
5.        Balabak
6.        Wirangron
7.        Mijil
8.        Kinanthi
9.        Durma
10.     Asmaradhana
11.      Jurudemung
12.      Pangkur
13.     Girisa
14.     Sinom
15.     Dhandhanggula
Balabak, Wirangron, Jurudemung, Girisa sudah jarang dikenal atau ditembangkan. Termasuk saya sendiri, masih belum terlalu mengenal mereka. Banyak juga penyebutan sekarang ini Macapat berjumlah 11. Untuk kebenaran yang pasti saya masih belum mengetahuinya.
     Dari kesebelas Macapat yang dikenal sekarang, dikatakan bahwa setiap judul mengandung filosofi siklus kehidupan. Namun, mengingat tata cara penulisan, urutan yang berbeda-beda, dan serat-serat yang pernah ditulis dalam bentuk Macapat, kandungan filosofi siklus kehidupan tersebut tidaklah mutlak. Atau malah tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan. Seperti contoh Pangkur pupuh 26 yang terdapat pada Sri Karongron berikut:
Sareng wus wanci jam sanga
Pra niyaga kasepuhan sumiwi
Wiraswara lawan badhut
Taledhek sampun pepak
Papan nyelak gangsa kang tinatu wau
Anyekel tabuh gya munya
Gendhing gedhe solan-salin.
Dibanding pendekatan filosofi siklus kehidupan, Pangkur yang berarti ‘mungkur’ atau pergi meninggalkan hawa nafsu dan angkara murka, Pangkur tersebut lebih mengacu pada penceritaan sejarah, dimana sifat cerita dan bentuk penceritaannya condong pada watak Pangkur: bergairah, gagah, perkasa. Sebelum menyinggung kajian musikal, bisa dibilang isi tulisan Macapat akan terasa lebih serasi apabila teks disesuaikan dengan watak Macapat yang bersangkutan.

Macapat sebagai Karya Musik
     Karena berbentuk tulisan, Macapat bisa disebut sebagai bahan bacaan. Namun, membaca Macapat tidak seperti membaca tulisan biasa pada umumnya, tetapi dibaca dengan menggunakan lagu atau dinadakan, bisa juga disebut ditembangkan. Macapat yang ditembangkan inilah yang dinamai Sekar Waosan. Dengan kata lain, aktivitas membaca serat atau babad yang ditembangkan disebut Sekar Waosan. Ketika Macapat berfungsi sebagai Sekar Waosan, selain terikat guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra, konsep penyajiannya memakai kaidah lagu winengku ing sastra. Artinya, kejelasan makna syair lebih diutamakan daripada keindahan nadanya. Nada hanya sebagai jembatan atau perantara untuk menyampaikan kandungan tulisan. Biasanya ditembangkan dengan lugu atau polos, tidak banyak menggunakan luk atau improvisasi nada. Dalam menembangkan Macapat sebagai Sekar Waosan, sangat mempertimbangkan teknik pernafasan dan teknik pemenggalan kata atau kalimat. Sehingga, makna dapat tersampaikan dengan baik.
     Pada paragraf ke-6 di atas, disebutkan bahwa banyak nada lagu yang berbeda pada tiap-tiap judul Macapat, inilah yang disebut dengan cengkok. Dalam hal ini cengkok yaitu susunan nada yang membentuk pola lagu. Cengkok disusun berdasarkan gaya perorangan, kelompok, atau daerah tertentu sehingga menciptakan suasana, nuansa, kesan dan rasa yang khas. Pemilihan pemakaian cengkok dapat disesuikan dengan teks Macapatnya. Dari 11 judul Macapat, berkembang menjadi 235 cengkok, yaitu:
1.         Maskumambang berkembang menjadi 11 cengkok, diantaranya:
a.         Maskumambang Dhadhapan Laras Pelog Pathet Nem
b.        Maskumambang Buminatan Laras Slendro Pathet Sanga
c.         Maskumambang Natakusuman Laras Pelog Pathet Barang
2.         Pucung berkembang menjadi 28 cengkok, diantaranya:
a.         Pucung Sumirat Laras Slendro Pathet Sanga
b.        Pucung Kagok Katonan Laras Slendro Pathet Manyura (Miring)
c.         Pucung Klenthung Laras Pelog Pathet Barang
3.        Megatruh berkembang menjadi 10 cengkok, diantaranya:
a.         Megatruh Tejamaya Laras Pelog Pathet Nem
b.        Megatruh Kocak Laras Pelog Pathet Nem
c.         Megatruh Gagatan Laras Pelog Pathet Barang
4.        Gambuh berkembang menjadi 21 cengkok, diantaranya:
a.         Gambuh Mangkubumen Laras Pelog Pathet Nem
b.        Gambuh Tunjungseta Laras Slendro Pathet Sanga
c.         Gambuh Gonjing Laras Slendro Pathet Manyura
5.        Mijil berkembang menjadi 27 cengkok, diantaranya:
a.         Mijil Gagatan Laras Slendro Pathet Sanga
b.        Mijil Maskentar Laras Pelog Pathet Nem
c.         Mijil Sulastri Laras Pelog Pathet Barang
6.        Kinanthi berkembang menjadi 29 cengkok, diantaranya:
a.         Kinanthi Amongjiwa Laras Slendro Pathet Sanga
b.        Kinanthi Sandhung Laras Pelog Pathet Nem
c.         Kinanthi Pangukir Laras Slendro Pathet Manyura
7.        Durma berkembang menjadi 22 cengkok, diantaranya:
a.         Durma Tinjomaya Laras Pelog Pathet Nem
b.        Durma Rangsang Laras Slendro Pathet Sanga
c.         Durma Linduran Laras Pelog Pathet Barang
8.        Asmaradhana berkembang menjadi 17 cengkok, diantaranya:
a.         Asmaradhana Mangkubumen Laras Slendro Pathet Sanga
b.        Asmaradhana Slobog Laras Pelog Pathet Nem
c.         Asmaradhana Jakalola Laras Pelog Pathet Barang
9.        Pangkur berkembang menjadi 15 cengkok, diantaranya:
a.         Pangkur Paripurna Laras Slendro Pathet Sanga
b.        Pangkur Dhudhakasmaran Laras Pelog Pathet Nem
c.         Pangkur Kembangtiba Laras Pelog Pathet Barang
10.     Sinom berkembang menjadi 26 cengkok, diantaranya:
a.         Sinom Kalulut (Parijatha) Laras Pelog Pathet Nem
b.        Sinom Pangrawit Laras Slendro Pathet Sanga
c.         Sinom Grandhel Lulut Laras Pelog Pathet Barang
11.      Dhandhanggula berkembang menjadi 29 cengkok, diantaranya:
a.         Dhandhanggula Panglejar Laras Pelog Pathet Nem
b.        Dhandhanggula Buminatan Laras Slendro Pathet Sanga
c.         Dhandhanggula Rugmikentir Laras Pelog Pathet Barang
     Seiring perkembangan jaman, cengkok-cengkok Macapat yang berfungsi sebagai Sekar Waosan dikembangkan ke dalam bentuk garap Karawitan yang berpacu dari Macapat itu sendiri. Macapat yang semula berfungsi sebagai Sekar Waosan, menjelma menjadi gendhing yang dalam penyajiannya menggunakan seperangkat gamelan baik slendro maupun pelog. Gendhing-gendhing yang tercipta kemudian digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Klenengan, pementasan Wayang, pementasan Kethoprak, dan lain-lain. Saat berfungsi sebagai bentuk sajian musikal bersama gamelan, nilai estetika musik lebih diutamakan. Sehingga konsep penyajiannya berubah menjadi sastra winengku ing lagu. Beberapa pengembangan garap Karawitan terhadap Macapat diantaranya:
1.         Pengembangan Macapat menjadi bentuk Ketawang
     Ketawang yang dibentuk dari Macapat selalu terdapat sindhenan dan atau gerongan yang berasal dari Macapat yang menjadi dasar dari pembentukannya. Lagu sindhenan dan gerongan dari Macapat inilah yang menunjukkan ciri khas dari Ketawang tersebut. Beberapa contohnya adalah:
a.         Ketawang Mijil Wigaringtyas yang dikembangkan dari cengkok Mijil Rencasih (Wigaringtyas)
b.        Ketawang Sinom Parijatha yang dikembangkan dari cengkok Sinom Kalulut (Parijatha)
c.         Ketawang Pangkur Dhudhakasmaran yang dikembangkan dari cengkok Pangkur Dhudhakasmaran
2.         Pengembangan Macapat menjadi bentuk Ladrang
     Sama halnya dengan Ketawang, pembentukan sindhenan dan gerongan pokok dan balungan ladrang juga mengacu pada alur lagu dari cengkok Macapat. Beberapa contohnya adalah:
a.         Ladrang Pangkur yang dikembangkan dari cengkok Pangkur Paripurna
b.        Ladrang Subasiti yang dikembangkan dari cengkok Dhandhanggula Subasiti
c.         Ladrang Asmaradhana yang dikembangkan dari cengkok Asmaradhana
3.        Pengembangan Macapat menjadi bentuk Palaran
4.        Pengembangan Macapat sebagai bawa dan andhegan gendhing
5.        dan lain-lain

     Setelah mengulas bentuk Macapat, akhirnya ditemukan sebuah benang merah, yaitu Macapat adalah suatu bentuk karya seni untuk mewadahi karya sastra. Dimana di dalamnya mengandung banyak sekali nasehat, cerita, dan beragam informasi. Judul-judul Macapat adalah nama-nama untuk mengategorisasikan struktur dan watak dari Macapat. Selain menjabat sebagai karya sastra, Macapat mendapatkan posisi yang penting dalam karya musik. Baik sebagai karya sastra ataupun sebagai karya musik, Macapat mempunyai peranan dan fungsi yang sangat banyak. Gambaran filosofi siklus kehidupan yang termaknai pada kesebelas judul Macapat hanyalah sedikit bagian yang kecil dari Macapat, ternyata di dalamnya banyak sekali terkandung estetika dan keragaman budaya. Inilah yang mungkin kurang banyak dipahami oleh pelaku seni (terutama anak muda) yang membawakan Macapat sebagai gagasan pertunjukan.
     Sangat disayangkan apabila Macapat hanya dipenggal judulnya saja. Padahal kalau saja kita mau mempelajarinya lebih lanjut, akan banyak sekali yang diperoleh. Akhirnya, ketahuan, sebenarnya apa sih Macapat itu? Apakah sesuatu yang mistis? Sesuatu yang sakral? Apakah Macapat diciptakan tiba-tiba langsung mempunyai kekuatan yang dahsyat? Hmmm...? Yah, kalau dibilang Macapat adalah sebuah karya seni yang mempunyai capaian yang luar biasa memang benar adanya. Terbukti bahwa nenek moyang kita telah merumuskan sesuatu yang bisa langgeng keberadaannya yaitu bentuk karya sastra yang dapat dilagukan. Sehingga, selain mudah diingat akan lebih menarik untuk dipelajari. Penuturan nasehat, cerita sejarah, dan lainnya akhirnya sampai pada kita. Kembali lagi, sangat disayangkan apabila kita hanya memenggal judulnya. Bagaimana dengan serat Centhini, Wedhatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, Sri Karongron, dan yang lainnya? Bagaimana dengan sanepa, paribasan, wangsalan, puurwakanthi, dan parikan? Bagaimana dengan guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra? Bagaimana dengan slendro dan pelog? Bagaimana dengan ke-235 cengkok yang masih dapat terlacak? Bagaimana dengan Ketawang, Ladrang, Palaran, dan lain-lainnya? Yang semuanya itu dapat dipelajari dan dapat dikenali lewat Macapat. Walaupun boleh-boleh saja dan sah-sah saja Macapat hanya dimaknai bagian judulnya saja. Tetapi saya rasa, apabila kita ingin mengenali, memperkenalkan, mempelajari, membelajarkan, memaknai, memberi pemaknaan, mewartakan, dan sebagainya baik melalui sanggar-sanggar, pendidikan formal, atau pertunjukan atau tontonan atau yang lainnya akan lebih mengasyikkan dengan cara membedah sastra ataupun bentuk musikal dari Macapat itu sendiri.
     Apabila kita terbiasa mengambil kulit tanpa tahu dalamnya, membaca sampul buku tanpa melihat isinya, memaknai Macapat hanya pada judulnya, lama-kelamaan, turun-temurun bisa saja suatu saat nanti yang tersisa Macapat hanyalah kesebelas judul itu tanpa ada kandungan apapun di dalamnya, sama halnya apabila kita terbiasa memainkan gamelan hanya diambil saron atau demungnya dan dicampur dengan musik yang lain, gamelan akan dikenali sebagai saron, dan saron sama dengan gamelan, bukan lagi saron adalah salah satu instrumen yang terdapat pada gamelan. Sangat disayangkan.
     Oh iya, tulisan ini bermula dari perenungan pribadi yang diobrolkan bersama teman yang kemudian disesuaikan dengan beberapa sumber bacaan, seperti: buku Macapat dan Santiswara yang ditulis oleh Darusuprapto, buku Macapat 1-2-3 yang dihimpun oleh Gunawan Sri Hastjarjo, buku Keberadaan Karawitan di Keraton Surakarta pada Masa Pemerintahan PB X yang ditulis oleh Rustopo, jurnal Tembang Macapat Dalam Pengembangan Bentuk Musikalnya yang ditulis oleh Darsono, dan makalah Macapat yang ditulis oleh Sugimin. Terimakasih telah membaca sampai akhir.

     Mari belajar!


Roh
Sabtu, 28 Juli 2018
   

1 comment:

  1. Makasih kak info nya, jujur saya juga orang yang ingin belajar lebih jauh tentang macapat

    ReplyDelete