Setelah
pahit hangat kopi membasahi kerongkongan, ia hisap rokok kreteknya dalam-dalam.
Lalu ia hembuskan asap panjang, berniat mengusir bayang-bayang kematian, tapi
justru asap rokok menarik dan melempar ia ke dalam kesadaran tentang kematian.
Lelaki itu bernama Sandilara.
Ia bukan anak raja, bukan anak ulama, bukan anak jendral
tentara, sekedar ingin berbicara. Tidak ia panggul senjata, bela diri tak ia
kuasai, bukan ahli wacana dan strategi, bukan orator pengumpul masa, bukan penguasa tajam pena, tetapi terlanjur basah
resah dan kepingin bicara.
Setiap melihat anak-anak berwajah lucu ia teramat senang
tetapi gelisah. Betapa gelisah karna terlanjur tahu kengerian-kengerian
kehidupan yang siap menangkap tubuh-tubuh rapuh mereka dengan kuku-kuku tajam
yang kotor. Dalam gelisah, ia tak bisa hanya diam karena tak pula ada bakat menjadi
petapa, sedang anugrah yang bernama kesadaran itu tak henti-henti menggatali
lelaku.
Lelaki itu memilih menjadi Sandilara
Ya, Sandilara, bukan sandiwara, karena sudah terlalu
banyak penebar wara yang warna-warni, penebar wacana yang merebak, hingga mengaburkan
antara informasi dan provokasi, apa itu jamu apa itu ciu, apa itu obat apa itu racun. Bukan pula sandibahagia, ia
memilih menjadi sandi dari lara, sebab percaya di dalam lara ia akan lebih
eling dan waspada. Di dalam lara pula ia temukan, kepekaan-kepekaan yang tajam,
persahabatan yang erat, dan kebulatan tekad yang padat.
Ia memilih lara, bukan lantaran menolak bahagia atau tak
mau lagi bersaing untuk mengejar bahagia, tetapi karena melihat lara teronggok
tak tergarap dan tak tersuarakan di negerinya. Lara harus dipentaskan Orang-orang harus diingatkan
bahwasanya lara sama pentingnya dengan bahagia. Bahwa lara adalah teknologi
nurani untuk mengendalikan keinginan-keinginan yang keterlaluan. Maka ia
percaya bahwasanya rasa laralah yang akan lahirkan gugahan-gugahan, berdiri di seberang ketidakadilan, menciptakan sistem yang lebih manusiawi. Ya, laralah yang akan
memulai, bukan rasa bahagia.
Nyatanya
mati seribu tumbuh satu, dari seribu akan selalu ada satu. Meski dalam
matematika satu lebih sedikit dari seribu. Tetapi secara nilai, satu manusia
sangat mungkin untuk lebih berarti dari sejuta manusia.
Sebab perjalanan yang nyatanya lebih berat dari segala
dugaan itu, dari segelintir orang kini kian tinggal segelintir orang yang menemani Sandilara. Meski
segelintir, tapi keras perjalanan telah memberi manusia-manusia itu bekas-bekas
luka pendewasa, membentuk otot-otot tanggung jawab, dan mengasah tajam pisau-pisau kesadaran dan
kesigapan. Harapnya begitu, meski ia tahu hukum alam, bahawasanya kemusnahan selalu bermula dari ketercerai-beraian dan apapun itu pasti akan musnah.
Suatu hari nanti ia akan kalah dan menyerah, tetapi untuk saat ini ia masih berhak untuk bernama Sandilara.
Angin yang
berhembuspun berusaha mengindar, karena tak mau mempercepat kering air mata
itu. Dan akan pula ia kabarkan pada utara, timur, barat, selatan, lelaki yang
menangis itu masih bernama Sandilara
4 November
2016
No comments:
Post a Comment