Tuesday, 7 August 2018

Lelaki itu bernama Sandilara. (Idnas Aral)


Setelah pahit hangat kopi membasahi kerongkongan, ia hisap rokok kreteknya dalam-dalam. Lalu ia hembuskan asap panjang, berniat mengusir bayang-bayang kematian, tapi justru asap rokok menarik dan melempar ia ke dalam kesadaran tentang kematian.


Lelaki itu bernama Sandilara.

Ia bukan anak raja, bukan anak ulama, bukan anak jendral tentara, sekedar ingin berbicara. Tidak ia panggul senjata, bela diri tak ia kuasai, bukan ahli wacana dan strategi, bukan orator pengumpul masa,  bukan penguasa tajam pena, tetapi terlanjur basah resah dan kepingin bicara.

Setiap melihat anak-anak berwajah lucu ia teramat senang tetapi gelisah. Betapa gelisah karna terlanjur tahu kengerian-kengerian kehidupan yang siap menangkap tubuh-tubuh rapuh mereka dengan kuku-kuku tajam yang kotor. Dalam gelisah, ia tak bisa hanya diam karena tak pula ada bakat menjadi petapa, sedang anugrah yang bernama kesadaran itu tak henti-henti menggatali lelaku.

Lelaki itu memilih menjadi Sandilara

Ya, Sandilara, bukan sandiwara, karena sudah terlalu banyak penebar wara yang warna-warni, penebar wacana yang merebak, hingga mengaburkan antara informasi dan provokasi, apa itu jamu apa itu ciu, apa itu obat apa itu racun. Bukan pula sandibahagia, ia memilih menjadi sandi dari lara, sebab percaya di dalam lara ia akan lebih eling dan waspada. Di dalam lara pula ia temukan, kepekaan-kepekaan yang tajam, persahabatan yang erat, dan kebulatan tekad yang padat.

Ia memilih lara, bukan lantaran menolak bahagia atau tak mau lagi bersaing untuk mengejar bahagia, tetapi karena melihat lara teronggok tak tergarap dan tak tersuarakan di negerinya. Lara harus dipentaskan Orang-orang harus diingatkan bahwasanya lara sama pentingnya dengan bahagia. Bahwa lara adalah teknologi nurani untuk mengendalikan keinginan-keinginan yang keterlaluan. Maka ia percaya bahwasanya rasa laralah yang akan lahirkan gugahan-gugahan, berdiri di seberang ketidakadilan, menciptakan sistem yang lebih manusiawi. Ya, laralah yang akan memulai, bukan rasa bahagia. 

Nyatanya mati seribu tumbuh satu, dari seribu akan selalu ada satu. Meski dalam matematika satu lebih sedikit dari seribu. Tetapi secara nilai, satu manusia sangat mungkin untuk lebih berarti dari sejuta manusia.

Sebab perjalanan yang nyatanya lebih berat dari segala dugaan itu, dari segelintir orang kini kian tinggal segelintir orang yang menemani Sandilara. Meski segelintir, tapi keras perjalanan telah memberi manusia-manusia itu bekas-bekas luka pendewasa, membentuk otot-otot tanggung jawab,  dan mengasah tajam pisau-pisau kesadaran dan kesigapan. Harapnya begitu, meski ia tahu hukum alam, bahawasanya kemusnahan selalu bermula dari ketercerai-beraian dan apapun itu pasti akan musnah.

Suatu hari nanti ia akan kalah dan menyerah, tetapi untuk saat ini ia masih berhak untuk bernama Sandilara. 

Angin yang berhembuspun berusaha mengindar, karena tak mau mempercepat kering air mata itu. Dan akan pula ia kabarkan pada utara, timur, barat, selatan, lelaki yang menangis itu masih bernama Sandilara

4 November 2016

No comments:

Post a Comment