Saya laporkan liputan singkat sebagai
syarat “magang” di koran Medan Prihatin, yang rencananya akan terbit setiap
tidak tenggelam. Berita remeh perihal persiapan pentas teater “amatir” yang
menganggap bahwa “kemaki” adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda, bukan
tanpa alasan, sebab istilah idealisme, militan, gerilyawan, rasanya terlalu
berat untuk kami sandang, pemuda di jaman
now, para teaterawan yang selalu tangi awan. Semoga diposting di Pojok
Sejarah, tulisandilara.blogspot.com.
Menjelang pementasan
Teater Sandilara yang jatuh pada hari jumat dan sabtu, rutinitas nabuh gamelan yang
selama ini sudah berjalan dengan baik setiap kamis malam tidak diliburkan. Beberapa
teman di luar Teater Sandilara mengira bahwa H –1 di sanggar Kenthoet –
Roedjito, Teater Ruang, pasti digunakan untuk persiapan pentas pikir mereka. Ya,
hal itu dibenarkan oleh Joko Pitono, selaku direktur utama di Keluarga
Karawitan Kurawa saat kami temui di kantor berita “Medan Prihatin”, “memang tempat sudah di tata sehari sebelum
pementasan, tapi bukan berarti nabuh gamelan libur, kalau teman-teman
menginginkan datang untuk latihan silakan tetap jalan, hanya mungkin letak penataan
gamelan berubah, sebab sudah dipersiapkan untuk pementasan esok harinya”. Pada
malam jumat nanti gladi bersih bisa
diadakan sebelum waktu latihan rutin, setelah para Kurawa selesai melakukan cek
sound.
Keterangan
senada juga diungkapkan Idnas Aral, pemain monolog “Cahaya Dan Sampah”, kebetulan
berada pada satu kantor di Kios Pasar bubrah Panggungrejo, Jebres, Surakarta, “kalau malam jumat nanti teman-teman yang
datang jumlahnya cukup, rutinitas nabuh gamelan tetap jalan, tidak berubah
seperti biasanya. Pentas itukan urusan kelompok kami, nabuh gamelan kepentingan
bersama, jangan sampai mengganggu apa yang sudah di bangun dan selama ini berjalan
dengan baik, jadwal gladi bersih bisa diatur agar tidak bertabrakan”. Pentas
memang penting tapi keperluan bersama dalam satu tempat kalau tidak begitu
mendesak jangan ditinggalkan, seperti itu kira-kira pesan dari beliau.
Demikian
laporan dari kami, hasil “sidang isbat” Teater Sandilara di kios Pasar Bubrah,
Panggungrejo, Jebres, Surakarta. Semoga dapat memberi informasi kepada
teman-teman yang lain. Pesan saya, mari menulis selagi ada waktu, dibaca atau
tidak dibaca orang-orang di hari ini bukan masalah, setidaknya ada usaha
pendokumentasian peristiwa di sekitar, di lingkungan pergaulan sendiri, kelak bisa sebagai kenang-kenangan untuk
anak cucu, biarpun isinya
urusan-urusan yang berada di pojokkan
jaman yang seringkali luput dari perhatian.
Surakarta, 21 Maret 2018
Mike Tingil
Berkesenian dengan motif mencari cewek
Mendaftar wartawan di Koran Medan Prihatin
No comments:
Post a Comment