Wednesday, 11 April 2018

Ci(n)tra Buta (idnas Aral)


Orang-orang menebar citra bahagia. Itu menjadi lebih penting, ketimbang berusaha bahagia. Citra-citra yang tertebar menebar teror bagi siapa saja untuk turut serta.

“Turut serta bahagia?”

“Tidak! Turut serta menebar citra bahagia.”

Tiap jiwa bergelora dadanya, malu untuk tidak nampak bahagia. Bahkan akan melakukan apa saja, mengeluarkan biaya, untuk nampak bahagia.

Ini masa dimana citra adalah utama. Kesombongan yang katanya nista, justru tampil sebagai lakon utama. Apa kata orang menjadi lebih penting ketimbang apa kata hatiku.

Orang-orang berbondong-bondong berangkat kerja tiap pagi, untuk gaji di genggaman jari.

“Jari memang luar biasa peranannya.”Menjadi wakil diri dalam manifestasi citra diri. Dengan jari-jari mereka membeli, menunjukkan keberhasilan berkonsumsi, lalu membagikan citra bahagia dalam kesenangan ekstasi. Kemudian bangga dalam waktu yang tak seberapa. Setelah tuntas habis bangga, buru-buru harus menggenggam gaji lagi, untuk belanja lagi.

“Ini aku, lihatlah ini aku, betapa bahagia aku, wahai dunia!”

Manusia banyak sekali jumlahnya.

“Tiap satu, ingin mengada. Dianggap ada. Berbuat apa saja; untuk diakui bahwasanya ada di dalam pergaulan antar manusia.”

Modernisasi menuntut kecepatan-percepatan. Maka ‘instan-isasi’ jadi jalan untuk lari. Pergaulan antar manusia direduksi menjadi perkenalan antar citra.

“Adanya aku adalah terlibatnya aku di dalam lingkaran trendi.”

Untuk masuk ke dalam lingkar itu, ada seperangkat syarat yang musti dibeli sebagai tiket masuk. Ada yang berkemampuan tunai, ada yang berkemampuan kredit.

“Sialan, dasarnya itu bukan esensi! Lingkaran trendi terus berubah-ubah.”

Orang-orang berlari kesana-kemari, dari trendi satu ke trendi yang baru. Tak jarang trendi lama menjadi trendi baru. Kerumunan satu ke kerumunan yang lain. Daur ulang sampah peradaban oleh mesin industri menjadi semacam perhiasan yang memabukkan.

“Dasarnya tangan-tangan itu pintar dagang.” Siksa iklan menjelma kitab suci, semacam peta semesta masa kini.

“Adakah kita lelah?” tanyaku.

“Hidup adalah perjuangan!” katamu.

Coretan penganggur, tgl lupa bulan lupa tahun 2017

No comments:

Post a Comment