Bagaimana seseorang dapat
melibatkan diri, memilih berkumpul, berkawan, menentukan jenis kegiatan, atau
membentuk jaringan, mengumpulkan masa, mengadakan sosialisasi wacana dengan
beraneka macam media (dalam hal ini pementasan teater) jika setiap individu
yang terlibat belum selesai dengan urusan pribadinya, apa iya sebuah kelompok
akan mungkin terbentuk? Terlebih lagi tidak ada imbalan materi, sebab memang
bukan perkumpulan kongsi dagang, kerja sama antara beberapa orang untuk melakukan
kegiatan perniagaan, atau ajang numpang tampang. Ya, pada tulisan ini yang
hendak saya bicarakan adalah kesenian atau kelompok seni yang memiliki motif
sebagai wadah penyaluran ide dan gagasan bersama.
Melibatkan
diri dalam kegiatan berkelompok (secara sadar dan waras) pastinya tidak lepas
dari pemahaman terhadap arah tujuan bersama, rasanya itu lebih sulit dari pada
bekerja secara individu, menyelesaikan sebuah pekerjaan tanpa perlu
mempertimbangkan orang lain, maksudnya ikut andil dalam memikirkan
keberlangsungan kelompok, bukan sebatas patuh “sendhika dawuh” tanpa disertai pemahaman terhadap tujuan yang
lebih besar diluar urusan pemanggungan, biasanya mereka yang asal ikut terlibat
kedalam sebuah kelompok, bisa jadi karena kelompok yang diikuti adalah kelompok
yang cukup terkemuka, punya nama yang cukup mentereng, ibarat lampu yang
menyala terang akan gampang mengundang laron-laron berdatangan, tapi lihatlah
laron itu akan mati beberapa saat kemudian, atau bisa juga yang meminta
bergabung adalah seorang yang memiliki “wibawa”, tokoh senior, ternama,
memiliki riwayat panjang berkesenian, tentu mereka akan segan dan dengan cepat
mendapat respon serta tanggapan baik dari orang–orang semacam ini.
Itu sudah biasa dan
menjadi pengamatan tersendiri bagi kami, seperti kalimat candaan dari Joko
Pitono ketika menanggapi fenomena semacam ini di lingkungannya, “Lamun ingsun ingkang paring dawuh marang
sira, biyuh-biyuh ora bakal budhal
ngadhep marang ngarsaningsun, nganti wis pirang-pirang candra ora mara seba, pada
lali marang kewajibane ngreksa papan ingkang wus tau dirembug bareng ana
sajroning pasamuan setaun kepungkur. Apa dumeh sira kabeh pada nyawang ingsun
kaya bocah wingi sore? Ananging ingsun wani ngadheg jejeg ngugemi apa ingkang
dadi paugeran, apa ingkang ingsun tau ucapake, apa ingkang dadi dalaning
pakumpulan, apa ingkang dadi pranantaning bebrayan. Saiki sira kabeh pada
tinggal glanggang colong playu”
Teater Sebagai Sarana Berkelompok dan Mengembangkan Gagasan Bersama
Setiap kelompok kesenian,
khususnya teater, para anggotanya tentu sadar untuk apa mengadakan pementasan,
apa saja tujuannya dan bagaimana mengelola, mempersiapkan, memikirkan,
mengatur, menyelesaikan urusan-urusan teknis keproduksian, menyasar calon
penonton, mengedarkan tiket, dan merapikan apa saja yang sekiranya masih perlu
dirapikan sebelum waktu pementasan tiba. Idealnya lagi setiap anggotanya
terutama yang terlibat langsung dengan garapan naskah, semestinya
mendayagunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimilikinya sesuai posisi
dimana ia mendapat bagian untuk bekerja.
Sebuah
naskah yang hendak dipentaskan pastinya memuat maksud, nilai-nilai yang hendak
disampaikan oleh penulisnya kepada mereka yang menjadi “sasaran” atas tawaran
gagasan tersebut, cara penyampaiannya tentu saja melalui pementasan. Memahami
secara individu teks-teks dialog yang sudah ditulis tadi bisa saja dengan
membacanya seperti koran, tapi untuk urusan penggarapan tentu tidak sesederhana
itu, hasil telaah pembacaan teks tadi bisa dibicarakan bersama rekan satu
kelompok, mulai dari sutradara, pemain, tukang lampu, tukang musik, dan
tukang-tukang lainnya.
Setidaknya sebelum
memulai proses penggarapan, naskah yang hendak dipentaskan tadi terlebih dahulu
coba dipahami oleh semua yang terlibat pada lingkup internal kelompok.
Barangkali cara tersebut bisa saja dilewatkan, melihat tersedianya waktu, apa
tujuan pentas, dan “kapasitas otak” tiap anggotanya, maksud saya terkadang
tidak semua anggota berminat membicarakan gagasan naskah, tidak mau berpikir berat,
terima perintah saja akan dipekerjakan pada bagian mana. Biasanya disertai
sikap patuh secara penuh, saya tertawa melihat kenyataan ini, dalam hati
bertanya, sebenarnya ini “militan” apa “keledai”?
Ya, itu menjadi pilihan
apakah wacana naskah perlu coba dipelajari bersama terlebih dahulu sebelum
dipentaskan sebelum disampaikan kepada penonton, untuk menambah pandangan baru
dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Pemahaman masing-masing anggota kelompok
akan sebuah naskah kiranya dapat memperkaya obrolan internal, kelihatannya
memang tidak ada gunanya, buang-buang waktu, tapi bagi saya itu lebih baik dari
pada di luar latihan membicarakan urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan
rencana pementasan, apalagi porsi pembicaraan lebih besar untuk persoalan yang
bertentangan dengan pandangan kelompok, itu lebih parah lagi menurut saya,
capek-capek latihan dapatnya hanya pentas dan senang-senang, kebanggaan semu.
Atau boleh juga andai
dirasa memang sudah cukup dengan menggarap teks-teks yang tertulis pada kertas
naskah, tanpa perlu ada upaya obrolan bersama antar teman satu kelompok dalam
rangka memperluas pandangan dari isu yang terdapat pada naskah, lebih memilih
urusan memperkuat teknis-teknis pemanggungan, mengejar secepatnya materi-materi
yang ada dalam kelompok (yang sebenarnya terbatas dan masih relatif minim) agar
pada saat pementasan dapat selamat dari “kecelakaan”, bukan berangkat dari apa
yang dimiliki, menurut pengalaman kami biasanya proses semacam ini banyak
tuntutan yang mengakibatkan para pelakunya stres.
Bagaimana tidak stres,
katakanlah materi-materi yang sebenarnya bisa dipelajari atau dilatih pada hari
biasa (latihan rutin tanpa motif atau tujuan pentas) tidak pernah dilakukan,
ketika akan pentas sibuknya setengah mati hingga mengalahkan jadwal-jadwal lain
diluar teater, tetapi menginginkan atau berambisi pementasannya bagus (relatif
juga sebenarnya tolak ukur bagus ini tapi sering jadi perdebatan dari berbagai
segi yang biasanya tidak akan ada titik temu) maka hari-hari menuju pementasan akan
menjadi hari yang sangat melelahkan, kasus semacam inilah yang saya namakan
orang berkesenian seperti budak, katanya kesenian itu obat stres, kok malah
jadi stres? Situ waras?
Penyakit stres sering melanda jiwa
para pelaku teater, seringnya teater kampus, entah apa penyebabnya, silakan
dicari sendiri jawabannya. Alangkah sungguh menarik menjumpai kasus-kasus lucu
yang sering kita jumpai didepan mata tapi mungkin tidak kita sadari. Tidak jarang
dari kawan-kawan kita merasa mengadakan pementasan (teater) itu berat, lalu
saya bertanya “kalau berat kenapa kamu memilih
Teater sebagai kegiatanmu? Bukankah banyak kegiatan yang bisa dipilih selain
Teater?”. Pasti ada saja alasan yang akan dikatakan, misalnya teater itu
belajar hidup, gotong royong. Wah, hebat sekali pernyataan tersebut, mengutip
dari mana kalimat ajaib itu, kelihatannya sederhana, tapi kenyataannya? Kok merasa
berat? Kok stres? Kok ya masih ngeyel pentas?
Siapa suruh kamu teater? Wow, kalian luar biasa!!
Naskah merupakan produk
karya tulis yang tujuannya untuk diolah menjadi sebuah pertunjukan teater. Para
penggarap atau para penyajinya adalah jembatan yang mempertemukan antara
gagasan naskah dengan penonton. Sebuah logika sederhana terlepas dari urusan
teknis pemanggungan, kadang terjadi kasus semacam ini, ada penonton yang menganggap
pementasan sebuah kelompok sangat kurang dari kaidah-kaidah teater yang ada
dikepalanya, tapi penonton tersebut mengerti gagasan naskah karena menyimak
teks-teks yang didialogkan, maka bisa dikatakan wacana teks naskah sampai pada
penonton, tapi secara “estetika” panggung kurang bisa dinikmati (sebenarnya ini
relatif sifatnya). Sekarang yang menjadi pertanyaan dan rasanya harus segera disadari
bagi para pelaku teater, terlebih untuk yang memiliki kelompok (bukan yang wira-wiri), jika pementasan dianggap sebagai jembatan penyampai gagasan
naskah yang dipilih, menjadi wakil atas apa yang ingin disuarakan lewat pemntasan teater,
apakah kita sudah merasa wacana itu penting bagi diri pribadi? Sudahkah kita
paham dan dengan pikiran waras hendak menyuarakan sesuatu? Tapi apapun itu,
sekali lagi pilihan ada pada diri masing-masing, ini negara bebas, dan teater
bukan segalanya hanya sebatas wadah, pun demikian mari kita coba sedikit waras
dalam menyikapi sebuah fenomena yang terpampang jelas didepan mata. Salam
Antagonis!!
Surakarta, 17 Maret 2018
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment