Friday, 16 March 2018

UNTUK APA KAMU BERTEATER?



Bagaimana seseorang dapat melibatkan diri, memilih berkumpul, berkawan, menentukan jenis kegiatan, atau membentuk jaringan, mengumpulkan masa, mengadakan sosialisasi wacana dengan beraneka macam media (dalam hal ini pementasan teater) jika setiap individu yang terlibat belum selesai dengan urusan pribadinya, apa iya sebuah kelompok akan mungkin terbentuk? Terlebih lagi tidak ada imbalan materi, sebab memang bukan perkumpulan kongsi dagang, kerja sama antara beberapa orang untuk melakukan kegiatan perniagaan, atau ajang numpang tampang. Ya, pada tulisan ini yang hendak saya bicarakan adalah kesenian atau kelompok seni yang memiliki motif sebagai wadah penyaluran ide dan gagasan bersama.

            Melibatkan diri dalam kegiatan berkelompok (secara sadar dan waras) pastinya tidak lepas dari pemahaman terhadap arah tujuan bersama, rasanya itu lebih sulit dari pada bekerja secara individu, menyelesaikan sebuah pekerjaan tanpa perlu mempertimbangkan orang lain, maksudnya ikut andil dalam memikirkan keberlangsungan kelompok, bukan sebatas patuh “sendhika dawuh” tanpa disertai pemahaman terhadap tujuan yang lebih besar diluar urusan pemanggungan, biasanya mereka yang asal ikut terlibat kedalam sebuah kelompok, bisa jadi karena kelompok yang diikuti adalah kelompok yang cukup terkemuka, punya nama yang cukup mentereng, ibarat lampu yang menyala terang akan gampang mengundang laron-laron berdatangan, tapi lihatlah laron itu akan mati beberapa saat kemudian, atau bisa juga yang meminta bergabung adalah seorang yang memiliki “wibawa”, tokoh senior, ternama, memiliki riwayat panjang berkesenian, tentu mereka akan segan dan dengan cepat mendapat respon serta tanggapan baik dari orang–orang semacam ini.

Itu sudah biasa dan menjadi pengamatan tersendiri bagi kami, seperti kalimat candaan dari Joko Pitono ketika menanggapi fenomena semacam ini di lingkungannya, “Lamun ingsun ingkang paring dawuh marang sira, biyuh-biyuh ora bakal budhal ngadhep marang ngarsaningsun, nganti wis pirang-pirang candra ora mara seba, pada lali marang kewajibane ngreksa papan ingkang wus tau dirembug bareng ana sajroning pasamuan setaun kepungkur. Apa dumeh sira kabeh pada nyawang ingsun kaya bocah wingi sore? Ananging ingsun wani ngadheg jejeg ngugemi apa ingkang dadi paugeran, apa ingkang ingsun tau ucapake, apa ingkang dadi dalaning pakumpulan, apa ingkang dadi pranantaning bebrayan. Saiki sira kabeh pada tinggal glanggang colong playu”


Teater Sebagai Sarana Berkelompok dan Mengembangkan Gagasan Bersama 

Setiap kelompok kesenian, khususnya teater, para anggotanya tentu sadar untuk apa mengadakan pementasan, apa saja tujuannya dan bagaimana mengelola, mempersiapkan, memikirkan, mengatur, menyelesaikan urusan-urusan teknis keproduksian, menyasar calon penonton, mengedarkan tiket, dan merapikan apa saja yang sekiranya masih perlu dirapikan sebelum waktu pementasan tiba. Idealnya lagi setiap anggotanya terutama yang terlibat langsung dengan garapan naskah, semestinya mendayagunakan semaksimal mungkin kemampuan yang dimilikinya sesuai posisi dimana ia mendapat bagian untuk bekerja. 



            Sebuah naskah yang hendak dipentaskan pastinya memuat maksud, nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh penulisnya kepada mereka yang menjadi “sasaran” atas tawaran gagasan tersebut, cara penyampaiannya tentu saja melalui pementasan. Memahami secara individu teks-teks dialog yang sudah ditulis tadi bisa saja dengan membacanya seperti koran, tapi untuk urusan penggarapan tentu tidak sesederhana itu, hasil telaah pembacaan teks tadi bisa dibicarakan bersama rekan satu kelompok, mulai dari sutradara, pemain, tukang lampu, tukang musik, dan tukang-tukang lainnya. 

Setidaknya sebelum memulai proses penggarapan, naskah yang hendak dipentaskan tadi terlebih dahulu coba dipahami oleh semua yang terlibat pada lingkup internal kelompok. Barangkali cara tersebut bisa saja dilewatkan, melihat tersedianya waktu, apa tujuan pentas, dan “kapasitas otak” tiap anggotanya, maksud saya terkadang tidak semua anggota berminat membicarakan gagasan naskah, tidak mau berpikir berat, terima perintah saja akan dipekerjakan pada bagian mana. Biasanya disertai sikap patuh secara penuh, saya tertawa melihat kenyataan ini, dalam hati bertanya, sebenarnya ini “militan” apa “keledai”?

Ya, itu menjadi pilihan apakah wacana naskah perlu coba dipelajari bersama terlebih dahulu sebelum dipentaskan sebelum disampaikan kepada penonton, untuk menambah pandangan baru dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Pemahaman masing-masing anggota kelompok akan sebuah naskah kiranya dapat memperkaya obrolan internal, kelihatannya memang tidak ada gunanya, buang-buang waktu, tapi bagi saya itu lebih baik dari pada di luar latihan membicarakan urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan rencana pementasan, apalagi porsi pembicaraan lebih besar untuk persoalan yang bertentangan dengan pandangan kelompok, itu lebih parah lagi menurut saya, capek-capek latihan dapatnya hanya pentas dan senang-senang, kebanggaan semu.

Atau boleh juga andai dirasa memang sudah cukup dengan menggarap teks-teks yang tertulis pada kertas naskah, tanpa perlu ada upaya obrolan bersama antar teman satu kelompok dalam rangka memperluas pandangan dari isu yang terdapat pada naskah, lebih memilih urusan memperkuat teknis-teknis pemanggungan, mengejar secepatnya materi-materi yang ada dalam kelompok (yang sebenarnya terbatas dan masih relatif minim) agar pada saat pementasan dapat selamat dari “kecelakaan”, bukan berangkat dari apa yang dimiliki, menurut pengalaman kami biasanya proses semacam ini banyak tuntutan yang mengakibatkan para pelakunya stres. 

Bagaimana tidak stres, katakanlah materi-materi yang sebenarnya bisa dipelajari atau dilatih pada hari biasa (latihan rutin tanpa motif atau tujuan pentas) tidak pernah dilakukan, ketika akan pentas sibuknya setengah mati hingga mengalahkan jadwal-jadwal lain diluar teater, tetapi menginginkan atau berambisi pementasannya bagus (relatif juga sebenarnya tolak ukur bagus ini tapi sering jadi perdebatan dari berbagai segi yang biasanya tidak akan ada titik temu) maka hari-hari menuju pementasan akan menjadi hari yang sangat melelahkan, kasus semacam inilah yang saya namakan orang berkesenian seperti budak, katanya kesenian itu obat stres, kok malah jadi stres? Situ waras?

            Penyakit stres sering melanda jiwa para pelaku teater, seringnya teater kampus, entah apa penyebabnya, silakan dicari sendiri jawabannya. Alangkah sungguh menarik menjumpai kasus-kasus lucu yang sering kita jumpai didepan mata tapi mungkin tidak kita sadari. Tidak jarang dari kawan-kawan kita merasa mengadakan pementasan (teater) itu berat, lalu saya bertanya “kalau berat kenapa kamu memilih Teater sebagai kegiatanmu? Bukankah banyak kegiatan yang bisa dipilih selain Teater?”. Pasti ada saja alasan yang akan dikatakan, misalnya teater itu belajar hidup, gotong royong. Wah, hebat sekali pernyataan tersebut, mengutip dari mana kalimat ajaib itu, kelihatannya sederhana, tapi kenyataannya? Kok merasa berat? Kok stres? Kok ya masih ngeyel pentas? Siapa suruh kamu teater? Wow, kalian luar biasa!!

Naskah merupakan produk karya tulis yang tujuannya untuk diolah menjadi sebuah pertunjukan teater. Para penggarap atau para penyajinya adalah jembatan yang mempertemukan antara gagasan naskah dengan penonton. Sebuah logika sederhana terlepas dari urusan teknis pemanggungan, kadang terjadi kasus semacam ini, ada penonton yang menganggap pementasan sebuah kelompok sangat kurang dari kaidah-kaidah teater yang ada dikepalanya, tapi penonton tersebut mengerti gagasan naskah karena menyimak teks-teks yang didialogkan, maka bisa dikatakan wacana teks naskah sampai pada penonton, tapi secara “estetika” panggung kurang bisa dinikmati (sebenarnya ini relatif sifatnya). Sekarang yang menjadi pertanyaan dan rasanya harus segera disadari bagi para pelaku teater, terlebih untuk yang memiliki kelompok (bukan yang wira-wiri), jika pementasan dianggap sebagai jembatan penyampai gagasan naskah yang dipilih, menjadi wakil atas apa yang ingin disuarakan lewat pemntasan teater, apakah kita sudah merasa wacana itu penting bagi diri pribadi? Sudahkah kita paham dan dengan pikiran waras hendak menyuarakan sesuatu? Tapi apapun itu, sekali lagi pilihan ada pada diri masing-masing, ini negara bebas, dan teater bukan segalanya hanya sebatas wadah, pun demikian mari kita coba sedikit waras dalam menyikapi sebuah fenomena yang terpampang jelas didepan mata. Salam Antagonis!!


            Surakarta, 17 Maret 2018


Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment