Sebagai seorang muda yang masih
memiliki banyak waktu untuk mengembangkan diri, pernahkah terlintas dipikiran
kita untuk membaca kembali atau mencari tahu, hal apa saja yang sebenarnya menjadi
kegemaran, minat, dan tentunya mengukur kapasitas diri. Sudah jamak lumrahnya
dalam memulai kita akan mencari kawan baru atau kenalan untuk dapat
menjalankannya bersama. Di antara sekian banyak orang pastinya tidak semua
memiliki cara pandang sesuai dengan apa yang kita mau, tapi paling tidak tentu
ada beberapa yang dapat dijadikan sebagai rekan satu kelompok, dan sekali lagi
dapat dipastikan, jumlahnya tentu tidak akan melebihi banyaknya anggota di
lingkungan yang sudah memiliki nama besar sebagai penyelenggara acara.
Rata-rata
dari mereka yang memutuskan diri untuk memilih jalur indie bukanlah “manusia
pasaran”, artinya mereka tidak memiliki pandangan dan pola pikir seperti
orang-orang umum, mulai dari selera musik, buku bacaan, acara yang dihadiri,
komunitas yang dipilihnya sebagai lingkungan pergaulan dan tidak sekadar
berkunjung atau “mencicipi masakan” yang tersaji, tapi memang disadari sebagai
kebutuhan mengapa merasa perlu menggabungkan diri pada kelompok tertentu.
Kemudian seseorang tersebut akan mulai berproses mengembangkan dirinya dengan
dukungan rekan-rekan yang lain, pastinya tidak sekadar menjalani rutinitas
teknis berkesenian, kepenulisan, atau kegiatan apa yang ada pada kelompok atau
komunitas itu, tapi akan terjadi pula tukar pikiran antar teman, perdebatan
wacana, perbincangan soal isu-isu sosial di lingkungan sekitar, dan masih
banyak lagi kegiatan non-teknis yang akhirnya membentuk pandangan baru dan pola
pikir pribadi dari seseorang tersebut. Akhirnya di dalam ia berkarya, baik secara
pribadi maupun kolektif, apa yang ia peroleh dari lingkungannya tadi akan
tercermin pada karya-karya yang dihasilkan.
Hal
ini dapat dikatakan sebagai kekuatan, menimbulkan dampak baik bagi
produktifitas pribadinya maupun kelompoknya, memberi sumbangan besar bagi
keberlangsungan suatu kelompok dan komunitas, tidak hanya pada kuantitas karya,
mampu memproduksi berapa karya dalam setahun misalnya, tapi soal muatan cita-cita
dan wacana bersama yang pernah diobrolkan antar teman dalam suatu kelompok
indie terwadahi dalam karyanya. Sebab bukan komunitas atau kelompok (indie)
namanya, jika tidak memiliki tawaran pemikiran yang berbeda, kalau hanya
seragam seperti orang-orang kebanyakan rasanya tidak perlu repot-repot memilih
jalur mandiri, cukup menggabungkan diri mengikuti tempat-tempat yang sudah
“jadi”, yang biasanya lebih gampang menarik massa, atau terkesan mudah diterima
masyarakat segala macam tawarannya apapun itu, dengan kata lain lebih laku
keras di pasaran.
Ya,
wajar saja, sebab isi kepala para konsumen telah terpengaruh industri mayor,
sehingga anggapan mereka soal karya yang baik adalah berdasarkan atas apa yang disukai
oleh orang-orang kebanyakan, yang dibentuk, diproduksi, dan dipromosikan oleh
industri besar tersebut, selera pasar yang didukung oleh kaum-kaum instan tadi
akhirnya selalu gampang menyedot massa bila dibanding dengan produk-produk
indie yang tentunya akan memilih konsumennya sendiri, konsumen yang juga
menolak bentuk-bentuk penyeragaman selera yang tanpa disertai muatan wacana dan
pemikiran tersebut, yang asal laku, asal senang, asal-asalan tidak masalah,
sebab sudah dapat dipastikan produknya laku karena telah berhasil menancapkan
pengaruhnya ke dalam pikiran masayarakat kebanyakan dengan berbagai cara.
Membangun Dan Menjaga Keberlangsungan Laboratorium
Menurut
saya, hal pertama yang perlu diperhatikan ketika hendak membangun suatu
perkumpulan adalah sumber daya manusianya, mengingat ini merupakan kerja
kolektif yang berlandaskan visi dan misi tertentu, maka sudah seharusnya
memastikan setiap kepala yang terlibat, apakah mereka kutu loncat atau benar-benar
memahami arah tujuan bersama. Sepele memang, tapi biasanya menjadi malapetaka
di kemudian hari. Seiring berjalannya waktu, satu per satu tumbang meninggalkan
cita-cita yang sudah disusun, tidak lain akibat gagal paham mengenai jalur
indie.
Kebanyakan
dari orang-orang yang pernah menggabungkan diri ke dalam komunitas indie tidak
mengerti, semata berkawan dengan kelompok lain hanya untuk “berbisnis” atau
menentukan standar harga barang yang di produksi, harapan mereka sebatas
menjaga kestabilan harga jual dengan mengajak golongan yang dirasa satu
pemahaman untuk sama-sama memikirkan kondisi pasar indie, tapi kebanyakan lupa
pada nilai-nilai dan wacana yang perlu diangkat bersama sebagai tawaran pemikiran,
perlawanan terhadap keseragaman, kritik sosial, dan pastinya pemahaman yang
diyakini bersama untuk diberikan kepada masyarakat luas.
Mengapa
menjaga laboratorium kelompok menjadi persoalan penting bagi para pegiat indie
sebelum memasarkan dan mencari sekutu? Ya, itu perlu, ruang lingkup paling
kecil adalah kelompok, jika pada titik ini arah tujuan masing-masing individu
masih rancu, maksudnya hal-hal mendasar yang menjadi garis besar tidak dipahami
rasanya mustahil, tidak mungkin tercipta sebuah laboratorium untuk
merealisasikan semua rencana ketika kelompok itu berdiri. Jika urusan ini
selesai angin segar akan berhembus, tidak repot lagi memikirkan urusan
menyamakan persepsi, mengadakan rapat besar, setiap individu yang memutuskan
diri untuk bergabung memiliki kesadaran untuk mencermati hal-hal kecil dan
penting. Setelah itu organisme kelompok akan terbentuk secara otomatis,
struktur kerja formal tidak perlu dijalankan seperti orang umum, namanya juga
indie, kalau masih repot seperti orang kebanyakan apa gunanya memilih jalur
ini. Ya, persoalan-persoalan teknis yang sering menyita waktu dapat teratasi
dengan mencari jalan lain.
Apabila
urusan-urusan kecil dalam menjalankan kelompok masih belum selesai, mustahil para
anggotanya bisa memikirkan karya, mengingat lingkungan ideal setiap kelompok
pasti berbeda-beda, tergantung bagaimana orang-orangnya. Laboratorium merupakan
tempat mencari, meramu, merumuskan, mencoba, menguji, mengevaluasi,
membicarakan dan banyak hal yang berkaitan dengan penggarapan karya kelompok. Selain
itu kekuatan kelompok akan terbentuk dan tumbuh dengan baik pada laboratorium
yang terjaga “kebersihan” dan “steril dari kuman yang mengancam”, ganguan dari
luar tidak akan menggoyahkan pendirian, sebab masing-masing saling menguatkan, gangguan
dari dalam yang dibawa dari luar lingkungan oleh seorang anggota dapat dideteksi
dengan cepat, gelagat busuk dapat tercium seiring wawasan dan pemahaman setiap
individu terhadap cita-cita bersama semakin meningkat.
Kebudayaan Instan Dan Seragam Di Kalangan Pemuda
Dua
hal yang saya kira menjadi “musuh” kaum indie, bahkan pada beberapa kasus
menjadi faktor atau alasan bagi orang-orang yang memilih jalur “bawah tanah”
yaitu budaya instan dan seragam. Jaman sekarang segala hal dibuat praktis,
mulai dari transportasi, perdagangan, transfer uang, dan banyak lagi. Segala
yang instan dan seragam itu tidak sehat, yang satu cepat saji yang satunya
pembunuhan jati diri. Jika kita mau jujur dan merenung, meskipun masih berusia
muda, pastinya memiliki kegemaran, selera seni, bentuk ekspresi, minat kegiatan
yang berbeda-beda. Tapi kita sering menipu diri hanya demi diterima oleh
lingkungan pergaulan, mulai dari cara berpakaian, kegiatan yang diikuti,
kelompok seni yang dituju, film, bahkan gaya bicara. Awalnya tidak nyaman, tapi
lama kelamaan jadi terbiasa dan mati sudah daya pilihnya, tidak mampu mengenali
dan memutuskan apa yang menjadi kehendak pribadinya, golongan semacam ini
jumlahnya selalu lebih besar, digiring untuk memilik selera yang seragam tanpa
mereka sadari.
Setelah
habis kepercayaan diri, maka orang itu akan bingung memenuhi kebutuhan “unjuk
diri”, akhirnya kesana kemari jadi pengekor orang atau kelompok lain, bisa jadi
gejala semacam ini sudah terjadi secara perlahan tanpa disadari, sehingga
mereka selalu menjadi “mangsa pasar”, baik sebagai konsumen produk yang
ditawarkan, maupun menjadi pendukung program kerja. Orang yang sudah lenyap
rasa percaya dirinya kehilangan arah dan tujuan, gagal mengenali minatnya
sendiri dan sudah dapat dipastikan ia tidak pula memiliki daya untuk membangun
kelompok, di kepalanya hanya ada perhitungan untung-rugi materi, cenderung
memilih “jalan pintas” yang instan, yang penting baginya tercukupi kebutuhan
eksistensi diri, memburu pengakuan semu.
Akhirnya
banyak dari kawan-kawan kita yang sebenarnya memiliki kemampuan dibidangnya,
andai saja ia tidak lekas menyerah dalam berkelompok, tapi nyatanya mereka lebih
memilih menjadi “budak” acara-acara besar, jadi alas kaki kepentingan orang
lain yang tidak mereka mengerti kemana akan menuju, yang penting tidak perlu repot
seperti mengelola kelompok mandiri, gampang untuk bergabung dan tugasnya
ringan, selain itu merasa lebih berbobot dan terpandang sebab acaranya berskala
besar. Ya, tidak akan sadar, sebab standar dikepalanya adalah standar “pasaran”
yang besar yang bagus, pikirannya yang seragam sudah buntu mencerna tawaran
wacana dari kawan sendiri yang menerimanya dengan persamaan kedudukan untuk
tumbuh dan berkembang bersama dalam satu wadah yang harus dijaga dan dibagun
bersama pula.
Jika
para pegiat indie kuat dalam mempertahankan pendirian kelompoknya
masing-masing, hari depan yang dicita-citakan sedikit demi sedikit akan
terwujud, generasi mendatang akan memiliki tawaran lain tidak hanya menelan
produk-produk industri mayor, apapun itu. Tapi rasanya memang tidak mudah,
bagaimana mau memberi tawaran apabila kaum indie sendiri masih
setengah-setengah dalam melangkah di jalurnya, atau malah sekadar numpang
nampang menjadikan komunitas indie sebagai ajang promosi dan batu loncatan agar
namanya terkenal, bukan berkawan sebab sama-sama paham, bahwa ada sesuatu yang
perlu untuk diperjuangkan bersama melalui jalur yang sama, melawan segala yang
instan dan seragam sebab itu tidak sehat.
Surakarta, 23 September 2018
Joko
Lelur
Mantri
Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment