Tentang pengertian kata “indie” rasanya tidak perlu saya terangkan, sebab
saya angkuh dan merasa tidak perlu mengambil kutipan dari tulisan orang atau
menengok kamus besar bahasa Indonesia sebagai penguat apa yang hendak saya
sampaikan, sebagaimana kawan-kawan pada umumnya yang selalu lebih banyak
kutipan dalam membuat tulisan, toh saya tidak sedang membuat esai untuk ajang
kompetisi, atau berharap di sebut dan dikenal sebagai penulis. Tulisan hanyalah
alat bagi saya, bukan tujuan akhir. Selain itu saya memang lebih banyak
mendapat pengetahuan dari pengajaran lisan melalui banyak orang yang kebetulan
berjumpa sepanjang hidup saya.
Ya, tidak perlu, justru
saya akan menghina anda jika kembali menjelaskan definisi kata “indie”,
terlebih lagi bagi anda yang merasa menjalankan kegiatan, menjual produk,
menawarkan karya, membentuk kelompok apapun itu dengan menyatakan sikap
kemandirian. Saya kira anda sudah cukup paham dengan istilah “indie”, kalaupun
ternyata tidak seperti pandangan saya, artinya kita berbeda pemahaman, dan mari
berdebat, kalau tidak terima bilamana perlu gulat, adu jotos. Sebab saya sudah
bosan dengan debat kusir, apalagi berdiskusi dengan para “kuda”, budak para
“kusir” yang memegang kendali arah suatu tujuan dan gerakan terselubung.
Berdiskusi dengan “kusir-nya” saja saya sudah muak, apalagi menanggapi komentar
“kuda” yang tahunya hanya menjalankan perintah setelah mendapat arahan dan
cambukan, tentunya setelah kenyang diberi makan oleh tuan majikan.
Tentang Kemandirian Dan Memilih
Jalur
Bicara soal
kemandirian, siapa saja dari kita pastinya memiliki pengertian masing-masing,
maksud saya bukan pengertian secara kebahasaan, melainkan pernyataan yang
menjadi cermin atas apa yang dilakukan, dikerjakan, diupayakan secara nyata
yang erat berkaitan dengan sikap kemandirian, bukan sebatas diskusi wacana
dengan mengambil contoh-contoh laku hidup para tokoh yang hingga akhir hayatnya
berhasil menjaga kemandirian dalam berkesenian. Kalau yang semacam ini sudah menjadi
kegiatan lumrah dan standar bagi mahasiswa-mahasiswi semester normal yang
sedang mendapat mata kuliah kutip mengutip, atau mereka yang gemar berdiskusi
di forum pelatihan dan bercita-cita menjadi penulis. Ya, untuk laki-laki
seperti saya menulis bukan untuk disebut sebagai penyair atau sastrawan, tapi
menulis adalah jalan pedang, salah satu cara berbicara dengan orang-orang, baik
yang sepemahaman, masa bodoh, dan yang berseberangan.
Banyak diantara
kita, khususnya mereka para perintis kegiatan bersama, usaha kecil-kecilan,
group musik, anggota-anggota komunitas, pemula suatu pergerakan dari berbagai
jenis yang menyebut dirinya sebagai “indie”, tapi tidak jarang diantara kita
hanya menjadikan wadah-wadah yang sudah diupayakan melangkah di jalur indie
tersebut sebagai batu loncatan, artinya mereka para pelaku atau
individu-individu yang melibatkan diri dalam komunitas-komunitas tertentu
sebatas iseng, mengisi waktu luang, pikinik, atau menunggu kesempatan yang
lebih besar dari pihak lain datang memberinya tawaran untuk ikut, lalu individu
tersebut biasanya akan meninggalkan komunitas atau perkumpulan yang berjalan di
jaur indie yang pernah diikutinya, alasannya ingin dirinya berkembang, tidak
peduli soal asas kesetiaan dan kebersamaan, persetan dengan menjunjung tinggi
kepentingan dan arah pandang gerakan perkumpulan, kasus semacam ini sering
terjadi dan akan saya bicarakan pada tulisan lain.
Soal memilih jalur
kemandirian bukan perkara mudah, untuk itu para pelakunya pasti mengerti dan
harusnya paham, mandiri dalam hal apa saja? Dan mengapa harus mandiri?
mengambil jarak dengan hal-hal atau pihak-pihak yang dirasa memiliki potensi
melunturkan cita-cita kelompok yang sudah dirancang bersama. Mengingat kita
hidup diantara keberagaman ideologi, wacana, dan cara pandang dalam menyikapi
suatu fenomena, untuk itu saya yakin, mereka yang benar-benar dengan pikiran
waras memilih berjalan di jalur indie akan memiliki batasan masing-masing,
tidak lain sebagai upaya sekaligus realisasi wacana atas apa yang hendak mereka
lakukan, lain halnya mereka yang hanya sekadar ikut-ikutan atau numpang tenar sambil
menunggu jemputan dari pemodal besar.
Saya mengerti, bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain, tidak bisa
menjalani hidup dan mencukupi segala kebutuhan seorang diri, tapi membahas persoalan
“salah kaprah“ tentang pemaknaan dan pengertian indie sudah sejak sepuluh tahun
lalu, ketika saya masih bersama kawan-kawan di komunitas Punk, dan saya rasa hingga
saat ini pun masih terus saja terjadi, bagaimana indie dianggap sebagai genre
musik, pelakunya merasa lebih kecil secara keproduksian karya maupun manajemen
kelompok, dan banyak lagi anggapan-anggapan yang bagi saya dan kawan-kawan lain
yang masih bertahan adalah sebuah kekeliruan.
Menganggap Jalur Indie Sebagai
Batu Loncatan
Bolehlah sebagai
orang muda kita merasa perlu menentukan pilihan, ingin bagaimana, melakukan
apa, memilih bersama siapa, dan tidak ada larangan kalau sekadar coba-coba, ikut-ikutan,
sok-sokan menjadi mahasiswa yang kritis, merasa sebagai seniman yang peka jaman
peka keadaan, tapi biarpun masih muda dengan api semangat yang menyala di dalam
dada, pernahkah kita berpikir sebelum melakukan suatu tindakan atau menentukan
pilihan? Tidak jarang kemadirian hanya sebagai trend, gaya-gayaan mumpung masih
muda agar diterima dilingkungan pergaulan, yang lebih parah lagi bagi saya,
adalah menganggap indie sebagai “ruang tunggu”.
Maksudnya begini,
sebatas pengetahuan saya, “orang-orang indie” biasanya menjalankan kegiatan
secara berkelompok, lalu menjalin hubungan baik dengan kelompok lain meskipun
bergerak pada kegiatan yang berbeda atau di bidang yang sama, tapi memiliki
kesamaan jalur dalam berjalan, sesekali satu sama lain akan mengadakan suatu
acara bersama, tanpa menjadikan kelompok atau pihak lain sebagai “bawahan” dan
tidak jarang terbentuk sebuah komunitas yang terdiri dari kelompok-kelompok
tersebut. Masalahnya, apa yang terjadi di lapangan, tidak sesederhana rencana
dan wawasan yang sudah disusun dan diyakini sejak semula, mengingat banyak
kepala yang akhirnya ikut terlibat dengan berbagai motif dan tujuan yang tidak
dapat dipastikan sejak awal.
Contohnya seperti
ini, pada komunitas indie yang terdiri dari berbagai kelompok, ada satu atau
dua kelompok yang ikut bergabung dengan tujuan hanya ingin melebarkan sayap,
memperluas lingkaran massa, memperoleh konsumen baru, kenalan baru sebab
bergabung dan ada bersama kelompok lain yang juga memiliki massa sendiri dalam
sebuah komunitas. Tidak menutup kemungkinan juga akan didatangi, dilirik, atau
ditawari oleh seorang “makelar” yang kebetulan tertarik pada mereka, disinilah biasanya
akan terjadi pertentangan batin bagi yang sadar, memilih meninggalkan
kawan-kawan di komunitas untuk memulai hidup baru yang lebih “cerah” secara
prestis maupun materi bersama industri besar atau menolak demi mempertahankan
dan menjaga keberadaanya “di bawah tanah”, agar tetap bebas berkarya, berpikir,
dan berkegiatan tanpa disetir oleh pemodal untuk memproduksi barang-barang yang
sekadar laku dijual di pasar.
Ada juga kasus per
individu, bagaimana seorang pemuda yang sedang mencari jati diri, menggabungkan
diri kedalam suatu kelompok dengan dalih menambah pengalaman dan jam terbang,
tapi sebenarnya hanya untuk batu pijakan, menunggu peluang terbukanya lowongan
masuk atau berpindah ke kelompok lain yang menurutnya lebih menjanjikan bagi
pribadinya, memang sah yang demikian, tapi bagi saya ada dampak hari depan bagi
keberlangsungan kelompok-kelompok baru, laboratorium bersama lawan-kawan
se-generasi yang sedang tumbuh. Jika semua hanya menjadi kutu loncat, rasanya
tidak akan ada kelompok yang benar-benar berkelompok dapat berkembang di kota
ini, tidak ada tawaran lain. Adanya hanya orang-orang tertentu yang memiliki
kemampuan tawar-menawar dalam membuat program besar, lalu menjaring
pemuda-pemudi yang tidak ingin repot mengurus kelompok bersama kawan-kawannya,
ingin segera tenar secara individu dengan mengekor pada penyelengara yang sudah
memiliki nama besar.
Di sinilah yang saya
maksud menganggap atau menjadikan indie sebagai batu loncatan untuk melompat ke
industri mayor, apapun itu, entah musik, penulis, mungkin juga teater
barangkali, tapi kurang tahu kalau yang ini. Indie dianggap sebagai tempat pemberhentian
sementara, kumpulan orang-orang amatir, tidak berkembang, ajang promosi, dan
bukan untuk tujuan yang harus di jaga bersama. Padahal indie adalah sebuah
jalur, jalan tempuh seseorang atau suatu kelompok untuk menjalani segala apa
yang menjadi cita-citanya, tidak peduli apakah suatu hari nanti akan laku keras
atau bangkrut sekalipun. Rata-rata memang menolak pasar, membuat karya sesuai
keinginan mereka, tanpa dibebani pesanan dari pemodal, sebab alat produksi,
sumber daya manusia, strategi pemasaran, sasaran calon konsumen, maupun para
pendukungnya adalah bukan dari orang –orang “atas tanah” atau orang kebanyakan,
orang yang terbawa arus informasi, golongan mayoritas yang dirasa pasaran pula
seleranya. Para pegiat indie tentunya memiliki keyakinan, bahwa akan tetap ada
pendukungnya diantara milyaran masyarakat ini, biarpun berapa gelintir orang, dan
tidak akan melebihi para pengikut atau konsumen industri mayor.
Alangkah sempitnya
pemahaman dari beberapa orang yang pernah saya temui, baik yang secara langsung
bersinggungan maupun yang kebetulan tanpa sengaja tertangkap pengamatan saya. Ya,
sekali lagi, setiap individu memang memiliki hak untuk melakukan apapun sesuai
keinginan dan minatnya asalkan tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Hanya
saja, kenyataan-kenyataan konyol yang menyertai setiap langkah, barangkali
perlu untuk diungkapkan dan dicatat sebagai tawaran kepada mereka yang
mempunyai pemahaman sama, yang berbeda bolehlah membuat tulisan tandingan, yang
masa bodoh silakan tetap menjalankan kegiatan sesuka hati.
Surakarta,
17 September 2018
Joko Lelur
Mantri Carik di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment