Monday, 17 September 2018

INDIE ADALAH JALAN BUKAN BATU LONCATAN


Tentang pengertian kata “indie” rasanya tidak perlu saya terangkan, sebab saya angkuh dan merasa tidak perlu mengambil kutipan dari tulisan orang atau menengok kamus besar bahasa Indonesia sebagai penguat apa yang hendak saya sampaikan, sebagaimana kawan-kawan pada umumnya yang selalu lebih banyak kutipan dalam membuat tulisan, toh saya tidak sedang membuat esai untuk ajang kompetisi, atau berharap di sebut dan dikenal sebagai penulis. Tulisan hanyalah alat bagi saya, bukan tujuan akhir. Selain itu saya memang lebih banyak mendapat pengetahuan dari pengajaran lisan melalui banyak orang yang kebetulan berjumpa sepanjang hidup saya.

                Ya, tidak perlu, justru saya akan menghina anda jika kembali menjelaskan definisi kata “indie”, terlebih lagi bagi anda yang merasa menjalankan kegiatan, menjual produk, menawarkan karya, membentuk kelompok apapun itu dengan menyatakan sikap kemandirian. Saya kira anda sudah cukup paham dengan istilah “indie”, kalaupun ternyata tidak seperti pandangan saya, artinya kita berbeda pemahaman, dan mari berdebat, kalau tidak terima bilamana perlu gulat, adu jotos. Sebab saya sudah bosan dengan debat kusir, apalagi berdiskusi dengan para “kuda”, budak para “kusir” yang memegang kendali arah suatu tujuan dan gerakan terselubung. Berdiskusi dengan “kusir-nya” saja saya sudah muak, apalagi menanggapi komentar “kuda” yang tahunya hanya menjalankan perintah setelah mendapat arahan dan cambukan, tentunya setelah kenyang diberi makan oleh tuan majikan.



Tentang Kemandirian Dan Memilih Jalur

                Bicara soal kemandirian, siapa saja dari kita pastinya memiliki pengertian masing-masing, maksud saya bukan pengertian secara kebahasaan, melainkan pernyataan yang menjadi cermin atas apa yang dilakukan, dikerjakan, diupayakan secara nyata yang erat berkaitan dengan sikap kemandirian, bukan sebatas diskusi wacana dengan mengambil contoh-contoh laku hidup para tokoh yang hingga akhir hayatnya berhasil menjaga kemandirian dalam berkesenian. Kalau yang semacam ini sudah menjadi kegiatan lumrah dan standar bagi mahasiswa-mahasiswi semester normal yang sedang mendapat mata kuliah kutip mengutip, atau mereka yang gemar berdiskusi di forum pelatihan dan bercita-cita menjadi penulis. Ya, untuk laki-laki seperti saya menulis bukan untuk disebut sebagai penyair atau sastrawan, tapi menulis adalah jalan pedang, salah satu cara berbicara dengan orang-orang, baik yang sepemahaman, masa bodoh, dan yang berseberangan.

                Banyak diantara kita, khususnya mereka para perintis kegiatan bersama, usaha kecil-kecilan, group musik, anggota-anggota komunitas, pemula suatu pergerakan dari berbagai jenis yang menyebut dirinya sebagai “indie”, tapi tidak jarang diantara kita hanya menjadikan wadah-wadah yang sudah diupayakan melangkah di jalur indie tersebut sebagai batu loncatan, artinya mereka para pelaku atau individu-individu yang melibatkan diri dalam komunitas-komunitas tertentu sebatas iseng, mengisi waktu luang, pikinik, atau menunggu kesempatan yang lebih besar dari pihak lain datang memberinya tawaran untuk ikut, lalu individu tersebut biasanya akan meninggalkan komunitas atau perkumpulan yang berjalan di jaur indie yang pernah diikutinya, alasannya ingin dirinya berkembang, tidak peduli soal asas kesetiaan dan kebersamaan, persetan dengan menjunjung tinggi kepentingan dan arah pandang gerakan perkumpulan, kasus semacam ini sering terjadi dan akan saya bicarakan pada tulisan lain.

                Soal memilih jalur kemandirian bukan perkara mudah, untuk itu para pelakunya pasti mengerti dan harusnya paham, mandiri dalam hal apa saja? Dan mengapa harus mandiri? mengambil jarak dengan hal-hal atau pihak-pihak yang dirasa memiliki potensi melunturkan cita-cita kelompok yang sudah dirancang bersama. Mengingat kita hidup diantara keberagaman ideologi, wacana, dan cara pandang dalam menyikapi suatu fenomena, untuk itu saya yakin, mereka yang benar-benar dengan pikiran waras memilih berjalan di jalur indie akan memiliki batasan masing-masing, tidak lain sebagai upaya sekaligus realisasi wacana atas apa yang hendak mereka lakukan, lain halnya mereka yang hanya sekadar ikut-ikutan atau numpang tenar sambil menunggu jemputan dari pemodal besar.

                Saya mengerti, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain, tidak bisa menjalani hidup dan mencukupi segala kebutuhan seorang diri, tapi membahas persoalan “salah kaprah“ tentang pemaknaan dan pengertian indie sudah sejak sepuluh tahun lalu, ketika saya masih bersama kawan-kawan di komunitas Punk, dan saya rasa hingga saat ini pun masih terus saja terjadi, bagaimana indie dianggap sebagai genre musik, pelakunya merasa lebih kecil secara keproduksian karya maupun manajemen kelompok, dan banyak lagi anggapan-anggapan yang bagi saya dan kawan-kawan lain yang masih bertahan adalah sebuah kekeliruan.


Menganggap Jalur Indie Sebagai Batu Loncatan

                Bolehlah sebagai orang muda kita merasa perlu menentukan pilihan, ingin bagaimana, melakukan apa, memilih bersama siapa, dan tidak ada larangan kalau sekadar coba-coba, ikut-ikutan, sok-sokan menjadi mahasiswa yang kritis, merasa sebagai seniman yang peka jaman peka keadaan, tapi biarpun masih muda dengan api semangat yang menyala di dalam dada, pernahkah kita berpikir sebelum melakukan suatu tindakan atau menentukan pilihan? Tidak jarang kemadirian hanya sebagai trend, gaya-gayaan mumpung masih muda agar diterima dilingkungan pergaulan, yang lebih parah lagi bagi saya, adalah menganggap indie sebagai “ruang tunggu”.

                Maksudnya begini, sebatas pengetahuan saya, “orang-orang indie” biasanya menjalankan kegiatan secara berkelompok, lalu menjalin hubungan baik dengan kelompok lain meskipun bergerak pada kegiatan yang berbeda atau di bidang yang sama, tapi memiliki kesamaan jalur dalam berjalan, sesekali satu sama lain akan mengadakan suatu acara bersama, tanpa menjadikan kelompok atau pihak lain sebagai “bawahan” dan tidak jarang terbentuk sebuah komunitas yang terdiri dari kelompok-kelompok tersebut. Masalahnya, apa yang terjadi di lapangan, tidak sesederhana rencana dan wawasan yang sudah disusun dan diyakini sejak semula, mengingat banyak kepala yang akhirnya ikut terlibat dengan berbagai motif dan tujuan yang tidak dapat dipastikan sejak awal.

                Contohnya seperti ini, pada komunitas indie yang terdiri dari berbagai kelompok, ada satu atau dua kelompok yang ikut bergabung dengan tujuan hanya ingin melebarkan sayap, memperluas lingkaran massa, memperoleh konsumen baru, kenalan baru sebab bergabung dan ada bersama kelompok lain yang juga memiliki massa sendiri dalam sebuah komunitas. Tidak menutup kemungkinan juga akan didatangi, dilirik, atau ditawari oleh seorang “makelar” yang kebetulan tertarik pada mereka, disinilah biasanya akan terjadi pertentangan batin bagi yang sadar, memilih meninggalkan kawan-kawan di komunitas untuk memulai hidup baru yang lebih “cerah” secara prestis maupun materi bersama industri besar atau menolak demi mempertahankan dan menjaga keberadaanya “di bawah tanah”, agar tetap bebas berkarya, berpikir, dan berkegiatan tanpa disetir oleh pemodal untuk memproduksi barang-barang yang sekadar laku dijual di pasar.

                Ada juga kasus per individu, bagaimana seorang pemuda yang sedang mencari jati diri, menggabungkan diri kedalam suatu kelompok dengan dalih menambah pengalaman dan jam terbang, tapi sebenarnya hanya untuk batu pijakan, menunggu peluang terbukanya lowongan masuk atau berpindah ke kelompok lain yang menurutnya lebih menjanjikan bagi pribadinya, memang sah yang demikian, tapi bagi saya ada dampak hari depan bagi keberlangsungan kelompok-kelompok baru, laboratorium bersama lawan-kawan se-generasi yang sedang tumbuh. Jika semua hanya menjadi kutu loncat, rasanya tidak akan ada kelompok yang benar-benar berkelompok dapat berkembang di kota ini, tidak ada tawaran lain. Adanya hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan tawar-menawar dalam membuat program besar, lalu menjaring pemuda-pemudi yang tidak ingin repot mengurus kelompok bersama kawan-kawannya, ingin segera tenar secara individu dengan mengekor pada penyelengara yang sudah memiliki nama besar.

                Di sinilah yang saya maksud menganggap atau menjadikan indie sebagai batu loncatan untuk melompat ke industri mayor, apapun itu, entah musik, penulis, mungkin juga teater barangkali, tapi kurang tahu kalau yang ini. Indie dianggap sebagai tempat pemberhentian sementara, kumpulan orang-orang amatir, tidak berkembang, ajang promosi, dan bukan untuk tujuan yang harus di jaga bersama. Padahal indie adalah sebuah jalur, jalan tempuh seseorang atau suatu kelompok untuk menjalani segala apa yang menjadi cita-citanya, tidak peduli apakah suatu hari nanti akan laku keras atau bangkrut sekalipun. Rata-rata memang menolak pasar, membuat karya sesuai keinginan mereka, tanpa dibebani pesanan dari pemodal, sebab alat produksi, sumber daya manusia, strategi pemasaran, sasaran calon konsumen, maupun para pendukungnya adalah bukan dari orang –orang “atas tanah” atau orang kebanyakan, orang yang terbawa arus informasi, golongan mayoritas yang dirasa pasaran pula seleranya. Para pegiat indie tentunya memiliki keyakinan, bahwa akan tetap ada pendukungnya diantara milyaran masyarakat ini, biarpun berapa gelintir orang, dan tidak akan melebihi para pengikut atau konsumen industri mayor.

                Alangkah sempitnya pemahaman dari beberapa orang yang pernah saya temui, baik yang secara langsung bersinggungan maupun yang kebetulan tanpa sengaja tertangkap pengamatan saya. Ya, sekali lagi, setiap individu memang memiliki hak untuk melakukan apapun sesuai keinginan dan minatnya asalkan tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Hanya saja, kenyataan-kenyataan konyol yang menyertai setiap langkah, barangkali perlu untuk diungkapkan dan dicatat sebagai tawaran kepada mereka yang mempunyai pemahaman sama, yang berbeda bolehlah membuat tulisan tandingan, yang masa bodoh silakan tetap menjalankan kegiatan sesuka hati.



Surakarta, 17 September 2018


Joko Lelur
Mantri Carik di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment