Saya
tidak membahas urusan benar-salah menyikapi dana anggaran, setiap kepala yang
setuju atau yang menolak pasti memiliki dalih sendiri mengenai program kerja
kesenian yang ditopang dana bantuan dari pemerintah maupun swasta. Sekali lagi,
urusan kakus dan kesejahteraan hidup bukan alasan yang perlu dibicarakan ketika
kita bicara soal dampak sosial masyarakat, terlalu klise, sebagaimana secara
kemanusiaan kita akan menganggap maklum tindakan seorang pencuri, pengemis,
atau juga pencopet karena alasan sulit mendapat uang untuk makan.
Barangkali
ada yang bertanya, “apa salahnya mengambil dana bantuan yang ditawarkan
pemerintah? Bukankah itu adalah hak kita sebagai warga negara? bukankah itu
juga uang rakyat? Berasalah dari pajak yang juga diperoleh dari masyarakat? Dan
bukankah itu juga kita gunakan untuk membiayai acara yang ditujukan bagi
masyarakat pula? Kalau itu bisa sekalian sebagai penghidupan di mana salahnya? toh
kita tidak maling”. Pernah saya menjumpai pendapat semacam ini, jadi sebelum
anda melanjutkan untuk membaca, jika anda juga memiliki pandangan yang sama
seperti kasus yang saya sebutkan di atas, maka ada baiknya tidak perlu anda lanjutkan
mendengar pembicaraan saya meskipun melalui tulisan.
Terlalu
luas dan terlalu tinggi kalau kita bicara soal kebudayaan hari depan, bagaimana
rentetan kasus-kasus di masa lalu yang akhirnya membentuk lingkungan
sosial-budaya di hari ini menjadi seperti sekarang, dan pastinya apa yang
terjadi dan dilakukan di hari ini perlahan-lahan akan membentuk hari depan
seperti apa. Ya, itu terlalu panjang dan lebar, meski sebenarnya penting, sebab
tumbuh-kembang kesenian tidak lepas dari cara pandang para pelakunya, angin
politik yang sedang berhembus, kebijakan pemerintah, dan banyak faktor non-seni
yang menjadi unsur-unsur kebudayaan dan berpengaruh pula pada kemasan dan
muatan sebuah kelompok seni yang sedang tumbuh pada masa tersebut.
Selera Pasar Di Pengaruhi Oleh Simbiosis Mutualisme Antara Pemodal dan
Seniman
Terkadang
saya ingin bertanya pada orang-orang yang selalu mengaku dirinya, kelompoknya atau
komunitasnya sebagai pejuang kebudayaan, atau yang tidak ambil pusing masalah
perbedaan pandangan semacam ini yang penting pementasannya berjalan lancar, persetan
terhadap fenomena sekitar, merasa lebih mementingkan estetika yang sifatnya
relatif dan cenderung ke selera pasar, atau mereka yang menganggap tidak perlu
membicarakan wacana. Ya, silakan, itu hak masing-masing, tapi kita bernapas pada
udara yang sama, seperti catatan dari seorang kawan yang menjadi sekutu dan
rekan bagi saya dalam satu kelompok, seperti ini bunyinya di akun facebook Idnas
Aral :
“Kesenian yang dekat dengan
kekuasaan dan modal sudah jamaknya lebih subur dari kesenian yang senantiasa
menjaga jarak dengan keduanya. Meski tidak sesubur tanaman yang ditunjang oleh
pupuk sintetis dan pestisida, tanaman organik selalu lebih sehat dan bergizi.
Dan
keduanya, sama-sama tidak bisa hidup tanpa udara yang bernama masyarakat.
Kau ingin subur atau bergizi
adalah hakmu. Tetapi menjaga udara dari polusi birokrasi dan industri adalah
kewajiban bersama. (Catatan Gumam, 27 Agustus 2018)
Kalimat
yang saya cetak tebal, kiranya merupakan sebuah perumpamaan tentang kesenian
yang hidup sebagaimana tumbuhan. Ya, tumbuhan sama seperti makhluk hidup
lainnya, membutuhkan udara untuk keberlangsungan hidupnya. Pada persoalan ini
adalah kesenian, bagaimana ia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat sebagai sasaran dan tujuan segala macam produk yang dihasilkan,
tentunya bukan hanya sebagai konsumen pasif, mereka (masyarakat) akan merasakan
dampak dan memberi timbal balik kepada para pelaku seni yang bersinggungan
dengannya, artinya begini masyarakat penikmat seni akan memenuhi kebutuhan
dirinya terhadap produk-produk kesenian, bisa jadi kebutuhan akan seni
tergolong kebutuhan abstrak, bisa pula kita katakan sebagai kebutuhan rohani.
Selera
tiap individu terhadap jenis kesenian apa yang dipilihnya dipengaruhi oleh
lingkungan sosial, pandangan hidup, ideologi, dan beberapa hal yang akhirnya berkaitan
dengan pembentukan selera. Masyarakat yang bertindak sebagai massa pasif, atau
yang hanya sebagai penikmat bukan sampai mengamati lebih dalam setiap karya seni
hingga bagaimana muatan-muatan wacana, isu-isu dan latar belakang kelompok-kelompok
kesenian yang pernah mereka saksikan. Penikmat seni golongan ini memiliki
jumlah paling besar, sehingga akan menarik minat para pemodal untuk membiayai
kelompok kesenian yang mau menuruti selera pasar tersebut.
Pada kasus
ini terjadi simbiosis mutualisme antara pemodal (baik itu pemerintah maupun
swasta) dengan para pelaku seni yang mau bekerjasama memenuhi keinginan mereka.
Pemodal sekaligus pemilik kepentingan dengan mengucurkan dana akhirnya
tertolong urusannya, misal soal sosialisasi politik, penggiringan selera massa untuk
niatan tertentu, atau yang paling umum soal dagang. Sementara para pelaku seni
juga diuntungkan dari kerjasama ini, baik dari segi kesejahteraan pribadi
maupun keberlangsungan operasional kelompoknya, maksudnya tidak perlu lagi
repot-repot mencari sumber pembiayaan untuk menghasilkan karya seni, pada skala
yang lebih besar untuk mengadakan acara, festival seni misalnya, atau perlombaan.
Parahnya
lagi, sering saya melihat acara-acara besar di kota ini yang hanya sebatas
perayaan, malah kadang tidak sambung antara wacana yang diangkat dengan yang
terjadi di lapangan. Bilangnya untuk memberi pengetahuan tentang kesenian kepada
warga kota, tapi ujung-ujungnya sekadar program kerja, begitu selesai dan sukses
diadakan (maksudnya banyak dihadiri penonton) besok sudah ganti kegiatan,
seperti itu seterusnya berulang-ulang, dan selalu mangatasnamakan masyarakat,
tapi tidak pernah ada kelanjutan karena memang tidak memiliki niatan untuk
benar-benar membina masyarakat. Golongan semacam ini terus tumbuh subur dengan
dukungan massa pasaran yang sudah terbentuk dan lumayan mapan sebab cara
pandang mereka dari waktu ke waktu sudah terpengaruh bentuk-bentuk tawaran semacam
itu.
Ketergantungan Si Fakir Wacana Miskin Pendirian Pada Pemilik Sumber
Modal
Keduanya
memiliki kepentingan yang sama, menuju masyarakat. Satu memiliki dana dan yang
satunya butuh dana, satu butuh dibantu keperluannya melalui sarana kesenian, yang
satunya butuh sokongan biaya untuk tetap eksis menyalurkan minatnya berpentas
atau tampil sebagai seniman dihadapan masyarakat luas. Akhirnya produktifitas
dan acara-acara yang menyedot perhatian massa pasaran tadi terbentuk. Ada individu
maupun kelompok yang memang berorientasi bisnis sejak awal berdiri, ada pula
yang awalnya memiliki cita-cita luhur dan mempunyai sikap kritis terhadap
berbagai permasalahan masyarakat menjadi luntur dan berbelok arah, meninggalkan
wacana dan arah tujuan kelompok kesenian seperti yang pernah mereka yakini. Alasan
mereka tidak lain dan tidak bukan bahwa orang harus realistis, seniman butuh
rokok, butuh makan, butuh ini, butuh itu, kalau tidak mana bisa berkesenian. Preeekkkk
Su!! Lagi-lagi kembali pada urusan kakus.
Kalau sudah
demikian cara berpikirnya, ya sudah, tidak perlu lagi ada tawar-menawar maupun
obrolan soal kesenian yang kritis dan memberi tawaran berpikir kepada
masyarakat, tidak perlu lagi menjalin kerjasama dengan orang-orang semacam ini,
terlebih lagi membicarakan masalah lingkungan sosial dan kesenian untuk hari
depan, sudah jelas mereka sekadar mencari uang atau eksistensi apapun dalihnya,
bagaimana mau kritis kalau pendirian para pelakunya sudah tumbang akibat
keadaan tanpa berusaha mencari jalan lain, bagaimana mau mengajak diskusi kalau
yang dituju arahnya berbeda, buang-buang waktu percuma, sebab mana mungkin
memiliki tawaran wacana jika waktunya sudah habis untuk menyusun program kerja
yang tidak pernah berkelanjutan. Perlahan-lahan dari waktu ke waktu para pelaku
seni yang menggantungkan keberlangsungan hidup pribadi dan kelompoknya pada
dana anggaran akan menjadi piaraan pemilik modal, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Saya tidak
asal tuduh, hanya memaparkan beberapa kejadian yang menurut saya terasa ganjil
tapi jamak dan mulai dimaklumi sebagian besar orang, rasanya tidak perlu saya
sebut satu per satu sebab terlalu banyak contoh nyata yang saya temui. Kelumpuhan
dan kemacetan yang terjadi akibat tidak ada dana. Ketergantungan pada pemodal itu
nyata terjadi bagi mereka yang tidak siap atau yang sekadar berkesenian dengan
motif bisnis. Buktinya banyak yang tidak akan mengadakan acara-acara berbau
kesenian jika tanpa membuat proposal, tidak jalan kegiatan kelompoknya jika
tidak kebagian jatah anggaran, tidak berangkat latihan jika tidak dibayar,
tidak melanjutkan wacana yang pernah diobrolkan tentang memberi pengetahuan atau
pelatihan seni kepada masyarakat jika tidak didanai pemerintah, dan jika
demikian, lalu di mana tanggung jawab moral kita sebagai pelaku seni? masyarakat
mana lagi yang akan kita dustai?
Surakarta, 23 September 2018
Joko
Lelur
Mantri
Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment