Sunday, 23 September 2018

FAKIR WACANA DAN MISKIN PENDIRIAN DIPELIHARA OLEH ANGGARAN!!

             Bisa jadi itu hanya pendapat sinis dari golongan orang yang tidak mendapat jatah tempat untuk ikut berbisnis, seperti saya dan kawan-kawan yang sok-sokan mandiri dan menolak tawaran membuat proposal pengajuan dana kegiatan, baik kepada instansi pemerintahan maupun pihak swasta yang bersedia memberikan sponsor dengan syarat dan ketentuan berlaku. Rasanya di hari ini sudah menjadi kewajaran segala macam bentuk pengajuan dana bantuan operasional, baik untuk kegiatan seni maupun kegiatan lain yang sifatnya melibatkan partisipasi massa. Memang yang seperti  ini sudah dianggap sah dan tidak menyalahi hukum selama berjalan sesuai prosedur, tapi bukan masalah persaingan lahan bisnis tadi yang ingin saya persoalkan, itu urusan kakus dan dapur, hal paling mendasar bagi setiap insan ciptaan Tuhan, cara bagaimana orang bertahan hidup dan memilih atau menjadikan suatu kegiatan sehari-hari sebagai mata pencaharian, apapun cara yang dapat ditempuhnya termasuk mengais rejeki dari sisa dana anggaran pemerintah.


                Saya tidak membahas urusan benar-salah menyikapi dana anggaran, setiap kepala yang setuju atau yang menolak pasti memiliki dalih sendiri mengenai program kerja kesenian yang ditopang dana bantuan dari pemerintah maupun swasta. Sekali lagi, urusan kakus dan kesejahteraan hidup bukan alasan yang perlu dibicarakan ketika kita bicara soal dampak sosial masyarakat, terlalu klise, sebagaimana secara kemanusiaan kita akan menganggap maklum tindakan seorang pencuri, pengemis, atau juga pencopet karena alasan sulit mendapat uang untuk makan.

                Barangkali ada yang bertanya, “apa salahnya mengambil dana bantuan yang ditawarkan pemerintah? Bukankah itu adalah hak kita sebagai warga negara? bukankah itu juga uang rakyat? Berasalah dari pajak yang juga diperoleh dari masyarakat? Dan bukankah itu juga kita gunakan untuk membiayai acara yang ditujukan bagi masyarakat pula? Kalau itu bisa sekalian sebagai penghidupan di mana salahnya? toh kita tidak maling”. Pernah saya menjumpai pendapat semacam ini, jadi sebelum anda melanjutkan untuk membaca, jika anda juga memiliki pandangan yang sama seperti kasus yang saya sebutkan di atas, maka ada baiknya tidak perlu anda lanjutkan mendengar pembicaraan saya meskipun melalui tulisan.

                Terlalu luas dan terlalu tinggi kalau kita bicara soal kebudayaan hari depan, bagaimana rentetan kasus-kasus di masa lalu yang akhirnya membentuk lingkungan sosial-budaya di hari ini menjadi seperti sekarang, dan pastinya apa yang terjadi dan dilakukan di hari ini perlahan-lahan akan membentuk hari depan seperti apa. Ya, itu terlalu panjang dan lebar, meski sebenarnya penting, sebab tumbuh-kembang kesenian tidak lepas dari cara pandang para pelakunya, angin politik yang sedang berhembus, kebijakan pemerintah, dan banyak faktor non-seni yang menjadi unsur-unsur kebudayaan dan berpengaruh pula pada kemasan dan muatan sebuah kelompok seni yang sedang tumbuh pada masa tersebut.



Selera Pasar Di Pengaruhi Oleh Simbiosis Mutualisme Antara Pemodal dan Seniman

                Terkadang saya ingin bertanya pada orang-orang yang selalu mengaku dirinya, kelompoknya atau komunitasnya sebagai pejuang kebudayaan, atau yang tidak ambil pusing masalah perbedaan pandangan semacam ini yang penting pementasannya berjalan lancar, persetan terhadap fenomena sekitar, merasa lebih mementingkan estetika yang sifatnya relatif dan cenderung ke selera pasar, atau mereka yang menganggap tidak perlu membicarakan wacana. Ya, silakan, itu hak masing-masing, tapi kita bernapas pada udara yang sama, seperti catatan dari seorang kawan yang menjadi sekutu dan rekan bagi saya dalam satu kelompok, seperti ini bunyinya di akun facebook Idnas Aral :

“Kesenian yang dekat dengan kekuasaan dan modal sudah jamaknya lebih subur dari kesenian yang senantiasa menjaga jarak dengan keduanya. Meski tidak sesubur tanaman yang ditunjang oleh pupuk sintetis dan pestisida, tanaman organik selalu lebih sehat dan bergizi.
Dan keduanya, sama-sama tidak bisa hidup tanpa udara yang bernama masyarakat.
Kau ingin subur atau bergizi adalah hakmu. Tetapi menjaga udara dari polusi birokrasi dan industri adalah kewajiban bersama. (Catatan Gumam, 27 Agustus 2018)

                Kalimat yang saya cetak tebal, kiranya merupakan sebuah perumpamaan tentang kesenian yang hidup sebagaimana tumbuhan. Ya, tumbuhan sama seperti makhluk hidup lainnya, membutuhkan udara untuk keberlangsungan hidupnya. Pada persoalan ini adalah kesenian, bagaimana ia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai sasaran dan tujuan segala macam produk yang dihasilkan, tentunya bukan hanya sebagai konsumen pasif, mereka (masyarakat) akan merasakan dampak dan memberi timbal balik kepada para pelaku seni yang bersinggungan dengannya, artinya begini masyarakat penikmat seni akan memenuhi kebutuhan dirinya terhadap produk-produk kesenian, bisa jadi kebutuhan akan seni tergolong kebutuhan abstrak, bisa pula kita katakan sebagai kebutuhan rohani.

                Selera tiap individu terhadap jenis kesenian apa yang dipilihnya dipengaruhi oleh lingkungan sosial, pandangan hidup, ideologi, dan beberapa hal yang akhirnya berkaitan dengan pembentukan selera. Masyarakat yang bertindak sebagai massa pasif, atau yang hanya sebagai penikmat bukan sampai mengamati lebih dalam setiap karya seni hingga bagaimana muatan-muatan wacana, isu-isu dan latar belakang kelompok-kelompok kesenian yang pernah mereka saksikan. Penikmat seni golongan ini memiliki jumlah paling besar, sehingga akan menarik minat para pemodal untuk membiayai kelompok kesenian yang mau menuruti selera pasar tersebut.

                Pada kasus ini terjadi simbiosis mutualisme antara pemodal (baik itu pemerintah maupun swasta) dengan para pelaku seni yang mau bekerjasama memenuhi keinginan mereka. Pemodal sekaligus pemilik kepentingan dengan mengucurkan dana akhirnya tertolong urusannya, misal soal sosialisasi politik, penggiringan selera massa untuk niatan tertentu, atau yang paling umum soal dagang. Sementara para pelaku seni juga diuntungkan dari kerjasama ini, baik dari segi kesejahteraan pribadi maupun keberlangsungan operasional kelompoknya, maksudnya tidak perlu lagi repot-repot mencari sumber pembiayaan untuk menghasilkan karya seni, pada skala yang lebih besar untuk mengadakan acara, festival seni misalnya, atau perlombaan.

                Parahnya lagi, sering saya melihat acara-acara besar di kota ini yang hanya sebatas perayaan, malah kadang tidak sambung antara wacana yang diangkat dengan yang terjadi di lapangan. Bilangnya untuk memberi pengetahuan tentang kesenian kepada warga kota, tapi ujung-ujungnya sekadar program kerja, begitu selesai dan sukses diadakan (maksudnya banyak dihadiri penonton) besok sudah ganti kegiatan, seperti itu seterusnya berulang-ulang, dan selalu mangatasnamakan masyarakat, tapi tidak pernah ada kelanjutan karena memang tidak memiliki niatan untuk benar-benar membina masyarakat. Golongan semacam ini terus tumbuh subur dengan dukungan massa pasaran yang sudah terbentuk dan lumayan mapan sebab cara pandang mereka dari waktu ke waktu sudah terpengaruh bentuk-bentuk tawaran semacam itu.



Ketergantungan Si Fakir Wacana Miskin Pendirian Pada Pemilik Sumber Modal

                Keduanya memiliki kepentingan yang sama, menuju masyarakat. Satu memiliki dana dan yang satunya butuh dana, satu butuh dibantu keperluannya melalui sarana kesenian, yang satunya butuh sokongan biaya untuk tetap eksis menyalurkan minatnya berpentas atau tampil sebagai seniman dihadapan masyarakat luas. Akhirnya produktifitas dan acara-acara yang menyedot perhatian massa pasaran tadi terbentuk. Ada individu maupun kelompok yang memang berorientasi bisnis sejak awal berdiri, ada pula yang awalnya memiliki cita-cita luhur dan mempunyai sikap kritis terhadap berbagai permasalahan masyarakat menjadi luntur dan berbelok arah, meninggalkan wacana dan arah tujuan kelompok kesenian seperti yang pernah mereka yakini. Alasan mereka tidak lain dan tidak bukan bahwa orang harus realistis, seniman butuh rokok, butuh makan, butuh ini, butuh itu, kalau tidak mana bisa berkesenian. Preeekkkk Su!! Lagi-lagi kembali pada urusan kakus.

                Kalau sudah demikian cara berpikirnya, ya sudah, tidak perlu lagi ada tawar-menawar maupun obrolan soal kesenian yang kritis dan memberi tawaran berpikir kepada masyarakat, tidak perlu lagi menjalin kerjasama dengan orang-orang semacam ini, terlebih lagi membicarakan masalah lingkungan sosial dan kesenian untuk hari depan, sudah jelas mereka sekadar mencari uang atau eksistensi apapun dalihnya, bagaimana mau kritis kalau pendirian para pelakunya sudah tumbang akibat keadaan tanpa berusaha mencari jalan lain, bagaimana mau mengajak diskusi kalau yang dituju arahnya berbeda, buang-buang waktu percuma, sebab mana mungkin memiliki tawaran wacana jika waktunya sudah habis untuk menyusun program kerja yang tidak pernah berkelanjutan. Perlahan-lahan dari waktu ke waktu para pelaku seni yang menggantungkan keberlangsungan hidup pribadi dan kelompoknya pada dana anggaran akan menjadi piaraan pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung.

                Saya tidak asal tuduh, hanya memaparkan beberapa kejadian yang menurut saya terasa ganjil tapi jamak dan mulai dimaklumi sebagian besar orang, rasanya tidak perlu saya sebut satu per satu sebab terlalu banyak contoh nyata yang saya temui. Kelumpuhan dan kemacetan yang terjadi akibat tidak ada dana. Ketergantungan pada pemodal itu nyata terjadi bagi mereka yang tidak siap atau yang sekadar berkesenian dengan motif bisnis. Buktinya banyak yang tidak akan mengadakan acara-acara berbau kesenian jika tanpa membuat proposal, tidak jalan kegiatan kelompoknya jika tidak kebagian jatah anggaran, tidak berangkat latihan jika tidak dibayar, tidak melanjutkan wacana yang pernah diobrolkan tentang memberi pengetahuan atau pelatihan seni kepada masyarakat jika tidak didanai pemerintah, dan jika demikian, lalu di mana tanggung jawab moral kita sebagai pelaku seni? masyarakat mana lagi yang akan kita dustai?



Surakarta, 23 September 2018



Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment