Tentang
apa yang akan terjadi di hari depan, siapa yang bisa mengira. Setiap manusia
lahir dari rahim ibu kandungnya, lalu tumbuh hingga balita dalam timangan,
disertai harapan dan doa kedua orang tua, agar kelak hidupnya bisa lebih baik,
memperoleh kemudahan dalam menghadapi setiap persoalan, menjadi orang yang
berguna bagi masyarakat ketika sudah dewasa. Tetapi, senyatanya yang terjadi,
harapan-harapan baik tersebut terkadang tidak tercapai, tidak semua orang yang
telah didoakan dan diupayakan oleh orang tua, atau yang sudah dipersiapkan dan
ditata alur hidupnya sejak usia dini, mampu meraih apa yang dirasa dan dianggap
olehnya sebagai hidup yang lebih baik. Setiap manusia harus menghadapi kenyataan-kenyataan
yang tidak terduga, begitu ia memasuki usia dewasa, belantara hidup yang penuh
misteri, teka-teki nasib, dan serentetan permasalahan yang menyertainya, mau
tidak mau harus dihadapi.
Ketika negara justru menjadi hantu
berbahaya bagi masyarakatnya, pada saat itulah ruang-ruang solidaritas kaum
bawah terbentuk. Individu-individu yang merasa terancam dan terusik hajat
pribadinya, akan mencari kawan senasib dan tempat-tempat yang mampu menerima,
atau minimal tidak membuat mereka merasa terusik. Hal ini terjadi akibat
tekanan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan dan tumbuh kembang cita-cita
yang sudah dirintis. Mereka akan berusaha mempertahankan nilai-nilai yang
dianggap penting dan perlu, bahkan wajib untuk dipertahankan hingga titik darah
penghabisan. Sebab, sebuah kebijakan skala besar dari pemerintah, dan juga
kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kendali untuk memberi pengaruh kepada
masyarakat luas, akhirnya berdampak pula terhadap cara pandang, serta tata
nilai pada suatu kelompok masyarakat, bahkan hingga kelas terbawah.
Akibat dari pandangan yang sudah tertanam
dan mengakar di kepala masyarakat umum, orang-orang yang memiliki jalan hidup
dan cita-cita yang dirasa tidak sesuai dengan progam pembangunan, mereka tidak
mendapat tempat untuk tumbuh, bakan di tanah tempat ia lahir dan seharusnya
dapat mengembangkan diri sesuai jalan yang dipilihnya. Mereka merasa
tersingkir, terasing, dan terbuang, hidup ditengah-tengah masyarakatnya
sendiri.
Merawat Luka dan Menampung Duka
Penghuni Kampung Kandangan
Di kampung Kandangan, hiduplah seorang
perempuan tua lanjut usia. Mbah Jaga, demikian orang-orang disekitar biasa
memanggilnya. Hidup sebatang kara tanpa sanak keluarga, memiliki seekor anjing
kesayangan yang ia beri nama Kliwon. Mbah Jaga, menjadi malaikat tak bersayap,
bagi para pesakitan yang tersingkir hingga terpaksa harus tinggal di kampung
Kandangan, antara lain; Pak Lakon, Den Setra, Kresna Gambar dan Landa Bajang.
Masing-masing dari mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mengapa
sampai harus menjadi penghuni kampung Kandangan. Bersama mereka, Mbah Jaga
menghabiskan sisa usia, menjadi teman sekaligus dengan suka rela merawat para
pesakitan tersebut. Ia memang bukan seorang juru kunci tempat gawat dan keramat,
meski kampung Kandangan disebut sebagai papan
pasetran (tempat terakhir menunggu dan menuju ajal), sebab rata-rata
penduduk yang tergolong sebagai orang buangan, akhirnya menemui ajalnya di
kampung ini.
Mbah jaga setia menyediakan telinga
untuk mendengar keluhan, amarah, tangis dan impian masing-masing dari mereka. Bahkan
dengan sabar melayani kebutuhan sehari-hari warga kampung Kandangan yang
tinggal disekitarnya, terutama bagi mereka yang baru datang menghuni tempat
ini, belum bisa menerima kenyataan hidup dan harus beradaptasi, belajar untuk
menjalani kehidupan baru di kampung Kandangan yang jauh dan seakan terasing
dari dunia luar. Menyiapkan makan dan minum, membantu mengangkat jemuran jika
hujan turun, merawat yang sedang sakit, dan masih banyak hal yang dilakukan, yang
mungkin dianggap sepele, dan tidak dinilai sebagai perbuatan besar.
Sebagai seorang perempuan tua yang
hidup sebatang kara, tidak ada lagi banyak pilihan selain menerima nasib. Tenaga
dan kesempatan tidak lagi sama seperti dulu, ketika usia masih muda. Di hari
tua yang masih mungkin dilakukan adalah menemukan sendiri peran hidup yang bisa
ia mainkan, menyadari bagaimana hidup harus tetap bisa memiliki arti bagi orang
lain, meski dalam keterbatasan serta tekanan sosial. Kampung Kandangan tentu
menjadi bumi tempat Mbah Jaga berpijak, tanah tempat ia bernaung menghabiskan
sisa usia, para penduduk yang tinggal di sana dan juga seisinya, merupakan
bagian hidupnya yang tidak dapat terpisahkan. Sebagian besar permasalahan hidup
penghuni Kampung Kandangan diketahui oleh Mbah Jaga. Bukan karena ia orang yang
gemar bergunjing, tetapi kepadanya segala keluh kesah tercurah.
Kekalahan atas pergulatan hidup yang
memaksa Landa Bajang, Pak Lakon, Kresna Gambar, dan juga Den Setra akhirnya
bertemu dengan Mbah Jaga di Kampung Kandangan. Mbah Jaga paham betul latar belakang
masalah masing-masing dari mereka, ia juga tahu bagaimana harus menyikapi
mereka yang tentunya memiliki watak dan pembawaan sifat yang berbeda-beda.
Kendati demikian, Mbah Jaga tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan orang-orang
buangan tersebut. Semua diterima dengan tangan terbuka, sebagai orang yang
memiliki kesamaan nasib sebagai korban keadaan atas jalan hidup yang telah dipilih.
Menurutnya, keterasingan, kekalahan, dan kemalangan nasib adalah hal yang biasa
terjadi, luka dan derita hidup, setiap orang tidak sendirian mengalaminya,
sesuatu yang wajar menimpa kepada siapa saja.
Pada situasi dan kondisi seseorang sedang
dalam keterpurukan hidup, harta yang paling bernilai adalah pertemanan. Ketika
dilanda permasalahan kita tidak merasa sendirian, ada tempat berbagi dan
bertukar pikiran, sekalipun tidak harus selalu berakhir dengan selesainya
sebuah masalah yang dihadapi, setelah menceritakannya kepada teman, dan tidak
selalu pula, seorang teman memberikan masukan yang berguna, mengingat kapasitas
setiap orang berbeda dalam memandang
suatu jenis persoalan orang lain. Tetapi, dengan memiliki teman berbagi, beban
perasaan dan pikiran bisa sedikit berkurang. Terlebih lagi hidup sebagai kaum
buangan yang tinggal di suatu tempat yang terasing dari dunia luar, nyaris
sangat terbatas akses untuk menemukan kawan-kawan yang cocok untuk berbagi, dan
di Kampung Kandangan, Mbah Jaga memposisikan diri sebagai orang tua sekaligus
teman bagi mereka yang merawat dan setia mendengar keluh kesah, ia tidak punya
kepentingan pribadi, juga tidak diberi upah atas layanan dan jasa yang ia
berikan.
Peran Hidup Sebagai Manusia Yang
Memiliki Kebutuhan Untuk Memberi dan Menerima
Setiap orang tentu memiliki
kapasitas masing-masing dalam rangka mencukupi kebutuhan batiniah, disadari
atau tidak, manusia sebagai makhluk sosial yang harus melibatkan orang lain
untuk memenuhi hajat hidupnya, memberi dan menerima adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Tetapi, sebagai manusia yang hidup di jaman moderen
ini, kita sering kali menganggap remeh orang lain yang tidak mampu membantu
secara materi, seperti bantuan uang saat mengalami kesulitan ekonomi, memberi
jalan menemukan lapangan pekerjaan, memuluskan jalan untuk meraih pangkat,
kedudukan dan jabatan, baik di dunia pekerjaan maupun lingkungan sosial
masyarakat. Intinya, seseorang akan kita anggap sebagai teman atau orang
penting, ketika ia mampu memberikan hal-hal yang sifatnya praktis dan lahiriah.
Mbah Jaga, ia tentu juga memiliki
hasrat untuk memberi, mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada sesama, bahkan
terhadap seekor anjing yang ia pelihara dan setia menemaninya, ia perlakukan
sama selayaknya manusia atau orang-orang buangan yang tinggal di Kampung
Kandangan. Barangkali Mbah Jaga sadar tentang peran hidupnya, bagaimana
seharusnya memperlakukan dengan baik dan memberikan yang terbaik sesuai kemampuan
agar tidak kehilangan arti dan peran hidup. Ya, memberi merupakan dorongan
naluriah manusia sebagai makhluk sosial yang harus dicukupi dengan keterbatasan
dan caranya sendiri-sendiri, salah satu bentuk tindakan untuk tetap memiliki
arti ketika menjalani hidup dan berkumpul bersama orang lain, dengan memberi seseorang
tahu nilai dan daya hidupnya, dan pada akhirnya ia menerima kesadaran serta
esensi terpenting atas kedudukan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat,
merasa dirinya juga berharga meski bukan orang yang memiliki kekayaan, jabatan
dan pangkat yang sering lebih dulu dilihat oelh sebagian besar masyarakat kita.
Ada banyak di sekitar kita, orang-orang
semacam Mbah Jaga, sering kita temui dalam wujud lain mungkin, entah kita sadar
atau tidak, baik di lingkungan sekitar tempat kita tinggal, atau bisa jadi di lingkaran
perkawanan kita sendiri. Seorang yang tampak seperti pengangguran tidak
memiliki penghasilan, tidak jelas pekerjaan dan kegiatannya, tidak pernah
tampil di depan ketika ada hajatan, tidak jarang mereka terlewatkan dari
perhitungan kita, ketika sedang tertimpa kesusahan, terlebih lagi ketika sedang
memperoleh suatu keberhasilan. Lenyap dari ingatan, tenggelam oleh orang-orang
atau kawan lain yang kita rasa lebih memiliki peran. Sebab bagi kita, terkadang
orang-orang semacam ini kita anggap hanya mampu melakukan hal-hal remeh,
seperti menyediakan telinga, waktu untuk bertukar pikiran, menampung permasalahan,
dan menemani masa-masa terpuruk, atau memang standar kebaikan di mata kita
adalah soal hal-hal yang sifatnya praktis dan materialistis, soal dukungan
moral dan tindakan sederhana yang dapat dilakukan orang lain, tidak lagi kita
perlukan dan masuk dalam perhitungan, sebagai kebutuhan orang tersebut untuk
memberi, berusaha memiliki arti dan peran dalam hidup kita.
Namun, sebagaimana Mbah Jaga,
orang-orang semacam ini, ia tidak peduli apakah perbuatannya terhadap
orang lain akan dicatat terlebih dihargai oleh mereka yang sudah ia rawat, yang
selalu dengan setia ia dengarkan segala keluh kesah hidupnya, apakah mereka
akan melupakan, membalas dengan perbuatan buruk, menghina, dan banyak bentuk-bentuk
timbal balik lainnya, orang-orang seperti Mbah Jaga adalah orang yang sadar,
bahwa memberi dan menerima sesuai kapasitas diri adalah sebuah kebutuhan
sebagai makhluk sosial.
*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya
Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di
sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, Kamis Legi 20 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment