Wednesday, 19 June 2019

MBAH JAGA : SANG PERAWAT LUKA KAUM BUANGAN DAN KORBAN KEADAAN


           Tentang apa yang akan terjadi di hari depan, siapa yang bisa mengira. Setiap manusia lahir dari rahim ibu kandungnya, lalu tumbuh hingga balita dalam timangan, disertai harapan dan doa kedua orang tua, agar kelak hidupnya bisa lebih baik, memperoleh kemudahan dalam menghadapi setiap persoalan, menjadi orang yang berguna bagi masyarakat ketika sudah dewasa. Tetapi, senyatanya yang terjadi, harapan-harapan baik tersebut terkadang tidak tercapai, tidak semua orang yang telah didoakan dan diupayakan oleh orang tua, atau yang sudah dipersiapkan dan ditata alur hidupnya sejak usia dini, mampu meraih apa yang dirasa dan dianggap olehnya sebagai hidup yang lebih baik. Setiap manusia harus menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak terduga, begitu ia memasuki usia dewasa, belantara hidup yang penuh misteri, teka-teki nasib, dan serentetan permasalahan yang menyertainya, mau tidak mau harus dihadapi.

            Ketika negara justru menjadi hantu berbahaya bagi masyarakatnya, pada saat itulah ruang-ruang solidaritas kaum bawah terbentuk. Individu-individu yang merasa terancam dan terusik hajat pribadinya, akan mencari kawan senasib dan tempat-tempat yang mampu menerima, atau minimal tidak membuat mereka merasa terusik. Hal ini terjadi akibat tekanan keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan dan tumbuh kembang cita-cita yang sudah dirintis. Mereka akan berusaha mempertahankan nilai-nilai yang dianggap penting dan perlu, bahkan wajib untuk dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Sebab, sebuah kebijakan skala besar dari pemerintah, dan juga kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kendali untuk memberi pengaruh kepada masyarakat luas, akhirnya berdampak pula terhadap cara pandang, serta tata nilai pada suatu kelompok masyarakat, bahkan hingga kelas terbawah.

            Akibat dari pandangan yang sudah tertanam dan mengakar di kepala masyarakat umum, orang-orang yang memiliki jalan hidup dan cita-cita yang dirasa tidak sesuai dengan progam pembangunan, mereka tidak mendapat tempat untuk tumbuh, bakan di tanah tempat ia lahir dan seharusnya dapat mengembangkan diri sesuai jalan yang dipilihnya. Mereka merasa tersingkir, terasing, dan terbuang, hidup ditengah-tengah masyarakatnya sendiri.


Merawat Luka dan Menampung Duka Penghuni Kampung Kandangan

            Di kampung Kandangan, hiduplah seorang perempuan tua lanjut usia. Mbah Jaga, demikian orang-orang disekitar biasa memanggilnya. Hidup sebatang kara tanpa sanak keluarga, memiliki seekor anjing kesayangan yang ia beri nama Kliwon. Mbah Jaga, menjadi malaikat tak bersayap, bagi para pesakitan yang tersingkir hingga terpaksa harus tinggal di kampung Kandangan, antara lain; Pak Lakon, Den Setra, Kresna Gambar dan Landa Bajang. Masing-masing dari mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mengapa sampai harus menjadi penghuni kampung Kandangan. Bersama mereka, Mbah Jaga menghabiskan sisa usia, menjadi teman sekaligus dengan suka rela merawat para pesakitan tersebut. Ia memang bukan seorang juru kunci tempat gawat dan keramat, meski kampung Kandangan disebut sebagai papan pasetran (tempat terakhir menunggu dan menuju ajal), sebab rata-rata penduduk yang tergolong sebagai orang buangan, akhirnya menemui ajalnya di kampung ini.
 
Teater Sandilara. Pak Lakon & Mbah Jaga,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP

            Mbah jaga setia menyediakan telinga untuk mendengar keluhan, amarah, tangis dan impian masing-masing dari mereka. Bahkan dengan sabar melayani kebutuhan sehari-hari warga kampung Kandangan yang tinggal disekitarnya, terutama bagi mereka yang baru datang menghuni tempat ini, belum bisa menerima kenyataan hidup dan harus beradaptasi, belajar untuk menjalani kehidupan baru di kampung Kandangan yang jauh dan seakan terasing dari dunia luar. Menyiapkan makan dan minum, membantu mengangkat jemuran jika hujan turun, merawat yang sedang sakit, dan masih banyak hal yang dilakukan, yang mungkin dianggap sepele, dan tidak dinilai sebagai perbuatan besar.

            Sebagai seorang perempuan tua yang hidup sebatang kara, tidak ada lagi banyak pilihan selain menerima nasib. Tenaga dan kesempatan tidak lagi sama seperti dulu, ketika usia masih muda. Di hari tua yang masih mungkin dilakukan adalah menemukan sendiri peran hidup yang bisa ia mainkan, menyadari bagaimana hidup harus tetap bisa memiliki arti bagi orang lain, meski dalam keterbatasan serta tekanan sosial. Kampung Kandangan tentu menjadi bumi tempat Mbah Jaga berpijak, tanah tempat ia bernaung menghabiskan sisa usia, para penduduk yang tinggal di sana dan juga seisinya, merupakan bagian hidupnya yang tidak dapat terpisahkan. Sebagian besar permasalahan hidup penghuni Kampung Kandangan diketahui oleh Mbah Jaga. Bukan karena ia orang yang gemar bergunjing, tetapi kepadanya segala keluh kesah tercurah.

            Kekalahan atas pergulatan hidup yang memaksa Landa Bajang, Pak Lakon, Kresna Gambar, dan juga Den Setra akhirnya bertemu dengan Mbah Jaga di Kampung Kandangan. Mbah Jaga paham betul latar belakang masalah masing-masing dari mereka, ia juga tahu bagaimana harus menyikapi mereka yang tentunya memiliki watak dan pembawaan sifat yang berbeda-beda. Kendati demikian, Mbah Jaga tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan orang-orang buangan tersebut. Semua diterima dengan tangan terbuka, sebagai orang yang memiliki kesamaan nasib sebagai korban keadaan atas jalan hidup yang telah dipilih. Menurutnya, keterasingan, kekalahan, dan kemalangan nasib adalah hal yang biasa terjadi, luka dan derita hidup, setiap orang tidak sendirian mengalaminya, sesuatu yang wajar menimpa kepada siapa saja.

            Pada situasi dan kondisi seseorang sedang dalam keterpurukan hidup, harta yang paling bernilai adalah pertemanan. Ketika dilanda permasalahan kita tidak merasa sendirian, ada tempat berbagi dan bertukar pikiran, sekalipun tidak harus selalu berakhir dengan selesainya sebuah masalah yang dihadapi, setelah menceritakannya kepada teman, dan tidak selalu pula, seorang teman memberikan masukan yang berguna, mengingat kapasitas  setiap orang berbeda dalam memandang suatu jenis persoalan orang lain. Tetapi, dengan memiliki teman berbagi, beban perasaan dan pikiran bisa sedikit berkurang. Terlebih lagi hidup sebagai kaum buangan yang tinggal di suatu tempat yang terasing dari dunia luar, nyaris sangat terbatas akses untuk menemukan kawan-kawan yang cocok untuk berbagi, dan di Kampung Kandangan, Mbah Jaga memposisikan diri sebagai orang tua sekaligus teman bagi mereka yang merawat dan setia mendengar keluh kesah, ia tidak punya kepentingan pribadi, juga tidak diberi upah atas layanan dan jasa yang ia berikan.
             

Peran Hidup Sebagai Manusia Yang Memiliki Kebutuhan Untuk Memberi dan Menerima

            Setiap orang tentu memiliki kapasitas masing-masing dalam rangka mencukupi kebutuhan batiniah, disadari atau tidak, manusia sebagai makhluk sosial yang harus melibatkan orang lain untuk memenuhi hajat hidupnya, memberi dan menerima adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi, sebagai manusia yang hidup di jaman moderen ini, kita sering kali menganggap remeh orang lain yang tidak mampu membantu secara materi, seperti bantuan uang saat mengalami kesulitan ekonomi, memberi jalan menemukan lapangan pekerjaan, memuluskan jalan untuk meraih pangkat, kedudukan dan jabatan, baik di dunia pekerjaan maupun lingkungan sosial masyarakat. Intinya, seseorang akan kita anggap sebagai teman atau orang penting, ketika ia mampu memberikan hal-hal yang sifatnya praktis dan lahiriah.

            Mbah Jaga, ia tentu juga memiliki hasrat untuk memberi, mencurahkan kasih sayang dan perhatian kepada sesama, bahkan terhadap seekor anjing yang ia pelihara dan setia menemaninya, ia perlakukan sama selayaknya manusia atau orang-orang buangan yang tinggal di Kampung Kandangan. Barangkali Mbah Jaga sadar tentang peran hidupnya, bagaimana seharusnya memperlakukan dengan baik dan memberikan yang terbaik sesuai kemampuan agar tidak kehilangan arti dan peran hidup. Ya, memberi merupakan dorongan naluriah manusia sebagai makhluk sosial yang harus dicukupi dengan keterbatasan dan caranya sendiri-sendiri, salah satu bentuk tindakan untuk tetap memiliki arti ketika menjalani hidup dan berkumpul bersama orang lain, dengan memberi seseorang tahu nilai dan daya hidupnya, dan pada akhirnya ia menerima kesadaran serta esensi terpenting atas kedudukan dan posisi sosialnya di tengah masyarakat, merasa dirinya juga berharga meski bukan orang yang memiliki kekayaan, jabatan dan pangkat yang sering lebih dulu dilihat oelh sebagian besar masyarakat kita.

            Ada banyak di sekitar kita, orang-orang semacam Mbah Jaga, sering kita temui dalam wujud lain mungkin, entah kita sadar atau tidak, baik di lingkungan sekitar tempat kita tinggal, atau bisa jadi di lingkaran perkawanan kita sendiri. Seorang yang tampak seperti pengangguran tidak memiliki penghasilan, tidak jelas pekerjaan dan kegiatannya, tidak pernah tampil di depan ketika ada hajatan, tidak jarang mereka terlewatkan dari perhitungan kita, ketika sedang tertimpa kesusahan, terlebih lagi ketika sedang memperoleh suatu keberhasilan. Lenyap dari ingatan, tenggelam oleh orang-orang atau kawan lain yang kita rasa lebih memiliki peran. Sebab bagi kita, terkadang orang-orang semacam ini kita anggap hanya mampu melakukan hal-hal remeh, seperti menyediakan telinga, waktu untuk bertukar pikiran, menampung permasalahan, dan menemani masa-masa terpuruk, atau memang standar kebaikan di mata kita adalah soal hal-hal yang sifatnya praktis dan materialistis, soal dukungan moral dan tindakan sederhana yang dapat dilakukan orang lain, tidak lagi kita perlukan dan masuk dalam perhitungan, sebagai kebutuhan orang tersebut untuk memberi, berusaha memiliki arti dan peran dalam hidup kita.
           
            Namun, sebagaimana Mbah Jaga, orang-orang semacam ini, ia tidak peduli apakah perbuatannya terhadap orang lain akan dicatat terlebih dihargai oleh mereka yang sudah ia rawat, yang selalu dengan setia ia dengarkan segala keluh kesah hidupnya, apakah mereka akan melupakan, membalas dengan perbuatan buruk, menghina, dan banyak bentuk-bentuk timbal balik lainnya, orang-orang seperti Mbah Jaga adalah orang yang sadar, bahwa memberi dan menerima sesuai kapasitas diri adalah sebuah kebutuhan sebagai makhluk sosial.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             



Surakarta, Kamis Legi 20 Juni 2019



  

Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment