|
Kresna
Gambar, seorang duda yang menekuni profesi sebagai tukang gambar. Bercerai
dengan istrinya yang tidak bisa menerima keadaan hidup seorang seniman. Serba
kekurangan dan sangat jauh dari kata mewah, sebab jasa lukis atau gambar tangan
mulai jarang diminati, hanya kalangan tertentu yang mau dan mampu menghargai
karya seni, baik secara moral maupun material. Kresna Gambar nasibnya juga
tidak ubahnya seperti Pak Lakon, Den Setra, dan juga Landa Bajang, menjadi
orang kalah yang digilas kenyataan. Terpaksa menghuni kampung Kandangan, tidak
ada lagi rumah yang bisa ia gunakan sebagai tempat pulang. Sehari-hari Kresna
Gambar menjalani hidup dengan menggambar dan menjual hasil karyanya. Pagi
keluar kampung mencari tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang, barangkali
ada yang berkenan membeli apa yang telah ia tawarkan.
Perubahan
jaman serta kecanggihan teknologi sedikit banyak berpengaruh terhadap
penghasilan Kresna Gambar. Sebelum poster cetakan pabrik membanjiri lapak-lapak
pedagang kaki lima, orang yang memiliki keahlian menggambar sangat dibutuhkan
jasanya. Gambar tokoh pewayangan dan lain sebagainya hanya dapat diperoleh dari
seorang tukang gambar. Meski demikian yang terjadi, Kresna Gambar tidak putus
harapan dan meninggalkan profesi yang ia cintai, bagi dirinya, menggambar
adalah laku hidup, tugasnya sebagai hamba Tuhan, bukan semata profesi yang
mulai sepi dan ditinggalkan konsumen.
Kresna
Gambar menemukan dirinya di dunia seni lukis, soal rejeki dan besar kecilnya
penghasilan adalah urusan Tuhan. Berada di kampung Kandangan setelah tersingkir
dari kehidupan sebelumnya membuat Kresna Gambar semakin yakin tentang pilihan
hidup. Nilai kemanusiaan tidak dapat dibeli, kepekaan sosial, sikap kritis, dan
akibat yang akan terjadi karena jalan yang ditempuhnya sangat ia sadari. Tidak
ada kekecewaan di hatinya atas apa yang telah terjadi. Kebebasan berpikir dan
kemerdekaan dalam berkarya adalah hal yang paling utama, bukan semata mengerjakan
barang pesanan untuk meraih pendapatan sebanyak-banyaknya, meskipun ia sendiri
harus hidup dan berada pada posisi sulit secara ekonomi di jaman sekarang,
tetapi Kresna Gambar paham soal laku dan peran hidupnya lewat dunia gambar.
Antara Hobi,
Profesi, dan Rejeki
Ada
harga mahal yang harus dibayar seseorang atas jalan hidup yang dipilihnya.
Kehilangan, keterasingan, dan cap sosial harus siap dihadapi oleh mereka yang
berani memilih jalan lain, jalan yang tidak ditempuh masyarakat umum, mulai
dari cara pandang, profesi yang ditekuni, hingga besar kecilnya pendapatan
sering menjadi faktor yang memunculkan opini di tengah masyarakat. Golongan
minoritas atau orang yang keluar dari padangan umum, biasanya akan terkucil dan
mengalami tekanan sosial. Sadar tidak sadar, opini dan ujaran yang terlontar di
tengah hidup bermasyarakat, yang mungkin itu dianggap sederhana ketika disampaikan
dimuka umum, bisa jadi, dalam kadar tertentu hal itu mempengaruhi atau
menyinggung orang lain. Meski baik buruk suatu pendapat atau obrolan sifatnya
relatif juga. Maksudnya, soal kesenian, sering kali masyarakat kita menganggap
tidak ada manfaatnya menggeluti bidang ini, kesejahteraan hidup yang diperoleh tidak
sebanding dengan apa yang dikorbankan,
terkadang malah dibandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan
secara materi.
Kresna
Gambar mengerti perbedaan antara, hobi, profesi dan rejeki. Ketiga hal tersebut
sebenarnya tidak terpisahkan, saling terkait dan saling memberi pengaruh sebab
akibat. Tugas manusia adalah menjalani hidup sebaik-baiknya dengan mengenali
potensi diri serta menjaga kecintaan terhadap sesuatu yang diyakininya. Hobi
yang terus-menerus ditekuni, entah karena bakat atau minat, lambat laun bisa
membuat seseorang menjadikannya sebagai profesi, yang tentu derajatnya lain
dengan hobi yang hanya dilandasi rasa senang dan sebagai kegiatan sambilan
untuk mengisi waktu luang. Pada tahap profesi, ketahanan dan kecintaan
seseorang juga akan mengalami ujian, terlebih lagi ketika di hadapkan dengan
peruntungan dan rejeki atas apa yang dipilihnya sebagai profesi. Goncangan
keyakinan akan terjadi ketika hidup bersama masyarakat umum, bagaimana
masyarakat sering melakukan kekejaman dan teror terhadap orang-orang yang
memiliki cara pandang berbeda. Sebab standar kesejahteraan dan di kepala mereka
adalah soal kekayaan, pangkat dan jabatan, sementara kesenian bukan alat untuk meraih hal-hal tersebut, kecuali
mereka yang mau dan memang sengaja menjadikan kesenian sebagai proyek pengucur
dana anggaran, seperti yang marak terjadi di jaman sekarang.
Orang-orang
seperti Kresna Gambar tidak peduli, apakah jaman baru dan masyarakatnya dengan
segala fenomena kehancuran di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
akan menggilas habis keyakinan dan rejekinya. Mereka yang sadar bahwa kesenian
adalah soal nurani dan jalan hidup yang dipilih, sama sekali tidak akan
terpengaruh, semudah itu menyerah dan menggantungkan nasib pada seleksi calon pegawai
negeri sipil, atau secepat itu menempatkan diri sebagai jongos perusahaan,
hanya karena khawatir besok tidak bisa makan, tidak bisa membeli barang-barang mewah
keluaran terbaru, tidak memiliki tempat tinggal, tidak bisa tampil sempurna di
acara kondangan, tidak bisa mengadakan hajatan besar-besaran, dan banyak hal
yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok sebagai sarana hidup manusia, tetapi
mampu membuat kebanyakan orang gampang meninggalkan kesenian, atau kegiatan
lain yang pernah dipilihnya sendiri, dan mungkin tidak disertai dengan
kesadaran sejak awal mula.
*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya
Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di
sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment