Mendengar
cerita orang-orang tua dan mengetahui dari berbagai sumber soal kehidupan
masyarakat sekitar di masa orde baru, Orang-orang yang dianggap berpotensi
menimbulkan ancaman bagi negara disingkirkan, diasingkan, dan tidak jarang
dihabisi nyawanya. Bagaimana sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat di
masa itu, menyaksikan mayat tergeletak di pinggir jalan, di sudut kampung, atau
di tempat keramaian yang biasa digunakan untuk aktivitas. Bukan tanpa alasan,
tindakan represif pemerintah semacam itu adalah untuk menunjukkan kepada
masyarakat, bahwa negara tidak main-main kepada siapa saja yang mencoba
mengganggu roda pemerintahan.
Preman
kampung dan para pelaku kriminal kelas rendah tidak luput dari operasi
pembantaian, tanpa proses peradilan, tanpa ditimbang besar kecilnya kesalahan,
tanpa kenal siapa yang melakukan eksekusi mati tersebut, tanpa tahu siapa yang
memberi perintah untuk melakukannya. Jika itu benar negara yang melakukan, artinya
demi pembangunan, nyawa rakyatnya adalah ongkos untuk membayarnya, lalu apa
gunanya pemerintah? Tetapi jika itu dilakukan seorang teroris atau agen
kepentingan yang menjual jasa pelenyapan nyawa, apa alasan dibalik tindakan
tersebut? Ada kepentingan apa yang menjadi dasar? Siapa yang memesan jasa? Dan,
di mana perlindungan negara terhadap rakyatnya? Mengapa pemerintah diam saja?
Landa Bajang, salah seorang
preman, residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, menghuni kampung
Kandangan guna mencari suaka, berlindung dari kejaran aparat bersenjata yang
setiap saat siap menyergapnya. Prapti, istri Landa Bajang pada waktu-waktu
tertentu rutin mengunjunginya. Mereka harus terpisah karena keadaan dan pilihan
hidup Landa Bajang. Pekerjaan di dunia hitam memang penuh resiko, nyawa yang
menjadi taruhan, ancaman keselamatan mengintai setiap saat. Terpisah ruang dan
waktu, akhirnya menimbulkan konflik antara Landa Bajang dan istrinya. Konflik mulai
muncul karena masing-masing dari mereka memiliki pandangan dan keyakinan hidup
yang tidak lagi sejalan.
|
Buronan Yang
Lari Dari Kenyataan
Menjadi
seorang preman pastinya memiliki alasan dan latar belakang tersendiri, secara
umum kita tahu, motif ekonomi yang menjadi latar belakang mengapa seseorang
masuk ke dunia hitam. Sama halnya Landa Bajang, ia menganggap dunia resmi dan
pekerjaan yang sah di mata hukum, tidak lebih bersih dari pada para pelaku
kriminal yang selalu mendapat cap negatif, bahkan ketika sudah tidak lagi
menjadi preman. Pandangan sinis masyarakat tidak semudah itu hilang, terkadang
hal inilah yang membuat para pelaku memutuskan untuk tetap bertahan di dunia
hitam.
Landa
Bajang melihat ketidakadilan, baik yang dilakukan masyarakat sekitarnya maupun
negara. Ayahnya seorang pejuang, bekas tentara yang ikut berperang pada masa
kemerdekaan. Setelah negara ini berdiri, tata kelola kebijakan negara dan
pembangunan bangsa dimulai. Ayah Landa Bajang terlupakan dari sejarah,
jasa-jasanya tidak tercatat dalam daftar orang-orang yang ikut andil mengusir
penjajah, di hari tua ia terpaksa bekerja kepada orang lain untuk menyambung
hidup, menjual jasa keamanan sebagai penjaga gudang Nyah Bawang. Bagi Landa
Bajang, hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan sosial, tiada beda ketika
dijajah orang asing, justru sekarang bangsa sendiri yang menjajah. Negara
menutup mata dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat
kecil, tidak terkecuali para bekas pejuang kemerdekaan. Landa Bajang menganggap
lebih baik menjadi seorang preman, secara terang-terangan berada diposisi salah,
dari pada menjadi seorang yang bergelut di dunia resmi tetapi melakukan
cara-cara curang dan lebih hina dari seorang penjahat.
Prapti,
istri Landa Bajang, akhirnya memutuskan untuk berpisah, tidak bisa lagi
mendampingi Landa Bajang, ia menginginkan kehidupan normal dan menjalin
hubungan dengan Genjik, salah seorang mantan preman, rekan Landa Bajang.
Penghianatan istri dan kawannya tersebut menimbulakan kebencian teramat
mendalam terhadap keadaan. Di kampung Kandangan ia merasa semua hal yang ia
miliki telah hilang, semua yang ia anggap berharga tidak ada artinya lagi, hanya
di tempat ini, di kampung Kandangan, jiwa raganya menanti putusan takdir,
menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya sebagai seorang buronan yang
diintai kematian.
*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya
Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di
sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019
Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara
No comments:
Post a Comment