Thursday, 27 June 2019

LANDA BAJANG : TUMBAL PEMBANGUNAN ORDE BARU


                Mendengar cerita orang-orang tua dan mengetahui dari berbagai sumber soal kehidupan masyarakat sekitar di masa orde baru, Orang-orang yang dianggap berpotensi menimbulkan ancaman bagi negara disingkirkan, diasingkan, dan tidak jarang dihabisi nyawanya. Bagaimana sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat di masa itu, menyaksikan mayat tergeletak di pinggir jalan, di sudut kampung, atau di tempat keramaian yang biasa digunakan untuk aktivitas. Bukan tanpa alasan, tindakan represif pemerintah semacam itu adalah untuk menunjukkan kepada masyarakat, bahwa negara tidak main-main kepada siapa saja yang mencoba mengganggu roda pemerintahan.

                Preman kampung dan para pelaku kriminal kelas rendah tidak luput dari operasi pembantaian, tanpa proses peradilan, tanpa ditimbang besar kecilnya kesalahan, tanpa kenal siapa yang melakukan eksekusi mati tersebut, tanpa tahu siapa yang memberi perintah untuk melakukannya. Jika itu benar negara yang melakukan, artinya demi pembangunan, nyawa rakyatnya adalah ongkos untuk membayarnya, lalu apa gunanya pemerintah? Tetapi jika itu dilakukan seorang teroris atau agen kepentingan yang menjual jasa pelenyapan nyawa, apa alasan dibalik tindakan tersebut? Ada kepentingan apa yang menjadi dasar? Siapa yang memesan jasa? Dan, di mana perlindungan negara terhadap rakyatnya? Mengapa pemerintah diam saja?

                Landa Bajang, salah seorang preman, residivis kambuhan yang keluar masuk penjara, menghuni kampung Kandangan guna mencari suaka, berlindung dari kejaran aparat bersenjata yang setiap saat siap menyergapnya. Prapti, istri Landa Bajang pada waktu-waktu tertentu rutin mengunjunginya. Mereka harus terpisah karena keadaan dan pilihan hidup Landa Bajang. Pekerjaan di dunia hitam memang penuh resiko, nyawa yang menjadi taruhan, ancaman keselamatan mengintai setiap saat. Terpisah ruang dan waktu, akhirnya menimbulkan konflik antara Landa Bajang dan istrinya. Konflik mulai muncul karena masing-masing dari mereka memiliki pandangan dan keyakinan hidup yang tidak lagi sejalan.

Teater Sandilara. Landa Bajang,
dalam sebuah adegan naskah DOM karya Bambang Widoyo SP



Buronan Yang Lari Dari Kenyataan

                Menjadi seorang preman pastinya memiliki alasan dan latar belakang tersendiri, secara umum kita tahu, motif ekonomi yang menjadi latar belakang mengapa seseorang masuk ke dunia hitam. Sama halnya Landa Bajang, ia menganggap dunia resmi dan pekerjaan yang sah di mata hukum, tidak lebih bersih dari pada para pelaku kriminal yang selalu mendapat cap negatif, bahkan ketika sudah tidak lagi menjadi preman. Pandangan sinis masyarakat tidak semudah itu hilang, terkadang hal inilah yang membuat para pelaku memutuskan untuk tetap bertahan di dunia hitam.

                Landa Bajang melihat ketidakadilan, baik yang dilakukan masyarakat sekitarnya maupun negara. Ayahnya seorang pejuang, bekas tentara yang ikut berperang pada masa kemerdekaan. Setelah negara ini berdiri, tata kelola kebijakan negara dan pembangunan bangsa dimulai. Ayah Landa Bajang terlupakan dari sejarah, jasa-jasanya tidak tercatat dalam daftar orang-orang yang ikut andil mengusir penjajah, di hari tua ia terpaksa bekerja kepada orang lain untuk menyambung hidup, menjual jasa keamanan sebagai penjaga gudang Nyah Bawang. Bagi Landa Bajang, hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan sosial, tiada beda ketika dijajah orang asing, justru sekarang bangsa sendiri yang menjajah. Negara menutup mata dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat kecil, tidak terkecuali para bekas pejuang kemerdekaan. Landa Bajang menganggap lebih baik menjadi seorang preman, secara terang-terangan berada diposisi salah, dari pada menjadi seorang yang bergelut di dunia resmi tetapi melakukan cara-cara curang dan lebih hina dari seorang penjahat.

                Prapti, istri Landa Bajang, akhirnya memutuskan untuk berpisah, tidak bisa lagi mendampingi Landa Bajang, ia menginginkan kehidupan normal dan menjalin hubungan dengan Genjik, salah seorang mantan preman, rekan Landa Bajang. Penghianatan istri dan kawannya tersebut menimbulakan kebencian teramat mendalam terhadap keadaan. Di kampung Kandangan ia merasa semua hal yang ia miliki telah hilang, semua yang ia anggap berharga tidak ada artinya lagi, hanya di tempat ini, di kampung Kandangan, jiwa raganya menanti putusan takdir, menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya sebagai seorang buronan yang diintai kematian.




*ditulis dalam rangka pementasan Teater Sandilara, naskah “DOM” karya Bambang Widoyo SP yang akan dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Juni 2019, di sanggar Teater Tesa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
             


Surakarta, Kamis Pon 27 Juni 2019






Joko Lelur
Mantri Carik Di Teater Sandilara

No comments:

Post a Comment